BERBEDA dengan sistem tahun lalu, tahun ini para dosen
PTN harus siap menerima, mengajar, serta mendidik mahasiswa yang minimal 50
persen masuk lewat jalur bebas tes, yaitu seleksi nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNM PTN). Syaratnya adalah nilai ujian nasional (unas) dan rapor
SMA serta prestasi khusus di bidang akademik atau olahraga dan seni. Mereka ini
bahkan bebas biaya pendaftaran karena ditanggung pemerintah.
Tahun lalu PTN harus menerima minimal 60 persen
mahasiswa melalui jalur tes. Sebaliknya, tahun ini maksimal sisanya 50 persen
harus masuk lewat seleksi bersama masuk PTN (SBM PTN) dan seleksi mandiri di
PTN.
Tentu saja itu membawa konsekuensi baru bagi PTN. Yang
paling dikhawatirkan tentu saja kualitas mahasiswa yang diterima tanpa tes itu.
Dengan minimal 50 persen mahasiswa baru harus diterima lewat jalur tanpa tes,
kita harus siap menerima akibat dari penjaminan mutu di SMA dan penyelenggaraan
unas. Kami para dosen PTN mengharapkan adanya jaminan mutu yang memadai untuk
evaluasi siswa SMA dan pelaksanaan unas. Jika syarat kualitas tersebut tidak
terpenuhi, PTN yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sistem penerimaan
mahasiswa baru tersebut benar-benar menjadi pertaruhan bagi PTN.
Selama ini penyelanggaraan uanas selalu menyisakan
cerita kurang sedap. Baik berupa adanya soal bocor, guru memberi siswa akses
menyontek, maupun diknas memberikan target kepada sekolah. Cerita tersebut
tentu saja membuat kita para dosen di PTN merasa ciut nyali, bisakah mutu
mahasiswa yang masuk lewat jalur tanpa tes itu dijamin?
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dalam
hal ini berani bertaruh bahwa langkah mengintegrasikan unas dan SNM PTN harus
dimulai. Bahwa di sana sini masih terjadi kekurangan dalam pelaksanaan UN harus
diakui. Yang terpenting, dengan aturan ini, pelaksanaan unas harus diperbaiki
sehingga nilai unas bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan memang
mewakili kemampuan siswa. Jika pelaksanaan unas sudah bagus, berikutnya adalah
kualitas nilai evaluasi yang diberikan sekolah di rapor.
Nilai rapor selama ini menjadi wewenang guru kelas.
Guru harus cukup objektif memberikan nilai dan ada standar yang jelas untuk
pemberian nilai ini. Sering kita dengar sekolah merekayasa nilai rapor karena
akan menjadi pertimbangan masuk PTN. Nilai-nilai cenderung akan ditinggikan.
Hal ini tentu memprihatinkan kami yang akan mendidik mereka di tahap
berikutnya.
Kepercayaan diknas dengan aturan baru hendaknya
disikapi secara tepat oleh guru dan kepala sekolah di SMA. Biarkan murid
mendapat nilai yang wajar sehingga nilai tersebut memang mewakili kemampuannya.
Untuk menjaga objektivitas, PTN juga akan
mempertimbangkan kualitas sekolah. Artinya, nilai 8 dari satu SMA tidak
bernilai sama dengan 8 dari sekolah lain. Pemerintah punya ukuran tersendiri
mengenai kualitas SMA. Ada bobot tersendiri mengenai asal sekolah. Bobot
tersebut akan didasarkan kepada sejarah atau rekam jejak sekolah itu dalam unas
maupun SNM PTN sebelumnya.
Bagaimana siswa dari sekolah yang belum punya
reputasi? Jika siswa-siswa pintar berasal dari sekolah yang belum punya sejarah
bagus di uans maupun SNM PTN, bagaimana nasibnya? Siswa tersebut mungkin akan
sulit masuk PTN lewat jalur SNM PTN. Mereka harus membuktikan kemampuannya
lewat SBM PTN. Mereka harus mengikuti tes. Saya kira itu jalan tengah yang
bagus dari pemerintah. Yang penting tetap dijaga agar jalur tes tetap ada.
Jadi, bibit unggul dari sekolah yang ''tidak unggul'' tetap punya peluang masuk
PTN.
Dari sistem baru penerimaan mahasiswa itu yang penting
harus disadari adalah peran sekolah dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama menjaga kejujuran dan objektivitas dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah maupun unas. Jangan berpikir sempit dan jangka pendek
untuk hanya mementingkan anak didik di sekolahnya tanpa menghiraukan kualitas
hasil pendidikan secara keseluruhan.
Bagaimanapun, anak-anak itu yang nanti memegang masa
depan bangsa. Kejujuran tersebut yang akan menghasilkan kondisi ''memang yang
berkualitaslah yang pantas masuk PN lewat jalur tanpa tes''. Ketidakjujuran,
selain akan menyusahkan PTN penerima, bakal menyusahkan para siswa sendiri.
Jangan sampai para siswa harus menanggung beban berat karena sejatinya mereka
tidak pantas masuk di suatu jurusan di PTN.
Budi
Santosa ;
Guru Besar
dan Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
JAWA POS,
13 Februari 2013
Artikel Terkait:
JAWA POS
- Anies Baswedan Jawab Pro Kontra Kurikulum 2013
- Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”
- Membenahi Calon Guru
- Menyemangati Start Kurikulum 2013
- PTN Masih Bermoral
- PTN Jer Basuki Wani Pira
- Soal Ijazah Doktor Diteken Sendiri
- Pancasila, Trauma tapi Rindu
- Unas, Gejala Sekolahisme Kronis
- Mundur-Tak Mundur Mendikbud
- Curhat Unas Siswa SMA
- Momentum Mengevaluasi Unas
- Akal Tak Sehat Tunda Unas
- Bisnis Kecemasan Unas
- Unas Tiba, Bergembiralah
- Menagih Janji Intelektual
- Murid Hamil dan Solusi Sekolah Pasutri
- Reka Duga Anggaran Kurikulum 2013
- Gejala Inden Sekolah dan Best Process
- Marifat Budi Pekerti Ki Hadjar
- Aneh, Unas di Tengah Jalan
- Kurikulum Baru tanpa Galau
- Spirit Internasional tanpa RSBI
- Menimbang Studi di Malaysia
Guru
- VIP-kan Guru-guru Kita!
- Hegemoni Politik Guru
- Konvensi (Setelah) Penghapusan UN
- Demoralisasi Pendidikan Lewat UN
- Saatnya Perubahan Paradigmatik Guru
- Kurikulum 2013 : Gaduh atau Heboh Sastra?
- Menajuk Kurikulum 3.1
- Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia
- Yang Dinanti Guru
- Cerobohnya Pendidik Kami
- Membenahi Calon Guru
- Guru Masih Terbelit dengan Persoalan
- Guru Terbaik
- Guru Berkarakter Laut
- Guru dan Mutu Pendidikan
- Sarmili dan Guru Inspiratif
- Guru Generasi Baru
- Memaknai Kebebasan Guru
- Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
- Guru di Negeri Nihil Pemimpin
- Guru Bukan Profesi Sampah
- Wajah Guru dalam Tarikan Kepentingan (Survei Pendidikan)
- Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita
- Silabi Bukan Robotisasi Guru (Dua Perkara Kurikulum 2013 bag 2)
- Saatnya Guru Bersuara Lantang
Budi Santosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi