Tampilkan postingan dengan label portofolio. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label portofolio. Tampilkan semua postingan

Implementasi Pendidikan


Meskipun di tingkat fondasi dan filosofi terdapat persoalan, berbagai anomali pendidikan kita kebanyakan bersumber dari ranah politik pendidikan. Problemnya: implementasi.  Kasus dikabulkannya beberapa gugatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta ditolaknya kasasi pemerintah tentang ujian nasional oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa pada tingkat pelaksanaan, pendidikan kita memang bermasalah.

Mengakali Pendidikan
 Sejak Reformasi, ada beberapa ketetap- an yang secara normatif tepat dan seyo- gianya membuat pendidikan nasional semakin baik.

 Pertama, konstitusi mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Kemudian, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas bahwa dana minimal 20 persen itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

 Ketentuan itu diimplementasikan pada 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional, serta sesudah frasa ”selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Sejak gaji guru jadi bagian anggaran minimal 20 persen yang disalurkan sebagai dana alokasi umum, di atas kertas anggaran pendidikan secara nasional dan per daerah melonjak tajam. Namun, dibandingkan dengan sebelumnya, besarnya anggaran itu sebenarnya tak jauh berbeda persentasenya.

 Sebagai ilustrasi, anggaran pendidikan 2013 berjumlah Rp 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan Kementerian Agama dan 18 kementerian/lembaga lain yang, jika dikeluarkan bersama gaji guru, jadi hanya 9,8 persen dari APBN. Sementara itu, belanja pendidikan 1973 (ketika harga minyak mentah naik) Rp 436 miliar (9 persen); 2006 Rp 44,11 triliun (10,1 persen); dan 2007 Rp 53,07 triliun (10,5 persen). Jadi, kata ”memprioritaskan” minimal 20 persen pada implementasinya kurang bermakna, apalagi sering kali kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pula pertanggungjawabannya.

 Kedua, tentang definisi pendidikan. UU No 20/2003 mendefinisikan ”pendidikan” sebagai ”usaha sadar dan terencana mewu- judkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...” Artinya, pembelajaran berpusat pada sis- wa dan siswa aktif. Ayat ini menuntut perubahan pendekatan dan metode pembelajaran.

 Meski Presiden Susilo Bambang Yudho- yono saat membuka Temu Nasional 2009 meminta menteri mengubah metodologi belajar-mengajar, hingga sejauh ini tak ada upaya serius dan sistematik yang dilakukan. Alih-alih, menteri mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen dan kurang strategis bagi perbaikan mutu, sementara metode pembelajaran dibiarkan berlangsung bak ritual kuno.

 Ketiga, RSBI. Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 mengharuskan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Spirit pasal ini adalah peningkatan mutu agar pendidikan kita setara atau melebihi kualitas pendidikan terbaik di negara-negara maju. Dalam hal ini pemerintah mengacu pada negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan.

 Implementasinya adalah RSBI sebagian besar berbiaya tinggi. Asumsinya dipinjam dari adagium dunia dagang, ”kalau mau berkualitas, harus berani membayar mahal”. Karena itu, terjadilah komersialisasi, diskriminasi (pengastaan), dan liberalisasi dalam pendidikan, sementara kualitas tetap tak jelas. Akhirnya MK membatalkan Pasal 50 Ayat (3) yang jadi dasar RSBI dan sekolah mahal itu harus diubah menjadi sekolah reguler.

 Keempat, ujian nasional. Dalam Pasal 57 dan 58 UU No 20/2003 dinyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik. Sementara itu, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri.

 Implementasinya, pemerintah setiap tahun sejak 2004 menyelenggarakan ujian nasional untuk pemetaan dan pengenda- lian mutu dengan mengevaluasi hasil belajar murid dan berimplikasi pada ketidaklulusan. Atas desakan DPR, tahun 2005 dengan terburu-buru pemerintah membuat Peraturan Pemerintah No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai payung hukum ujian nasional.

 Meskipun demikian, ujian nasional tetap dianggap melanggar undang-undang, prinsip-prinsip pedagogi, dan berdampak buruk bagi pendidikan dan pengajaran sehingga pemerintah digugat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.

 Namun, dengan berkelit bahwa pemerintah terus menyelenggarakan tujuan nasional hingga sekarang, bahkan mulai 2013 dijadikan salah satu komponen menentukan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur undangan.

 Kelima, profesionalisme guru dan dosen. Menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, profesionalitas guru dan dosen berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan martabat dan peran guru atau dosen (Pasal 4 dan 5).

 Untuk itu, undang-undang itu memberi landasan kuantitatif berupa kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.  Implementasinya yang paling marak adalah sertifikasi portofolio, yaitu penilaian berbagai dokumen guru atau dosen (dalam jabatan). Ketika program separuh jalan, tanpa persiapan matang, tiba-tiba pemerintah menggelar uji kompetensi awal dilanjutkan dengan uji kompetensi guru yang katanya untuk pemetaan.

Hanya Perbaikan Ekonomi Guru
 Setelah lebih dari lima tahun berlangsung, hasil riset Bank Dunia menunjukkan, sertifikasi portofolio berdampak positif hanya pada perbaikan ekonomi guru dan peningkatan minat menjadi guru. Adapun kinerja guru dan prestasi belajar murid, tak ada efek perbaikan signifikan.
 Kebijakan profesionalisme guru yang seharusnya mengubah peran dan substansi lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam menyiapkan calon guru hingga sejauh ini belum dilakukan. Sementara itu, program pendidikan profesi guru baru mulai diujicobakan tahun ini.

 Tampaknya berbagai implementasi pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengakali pendidikan bukan upaya memformulasikan kebijakan agar efektif dan memajukan. Pengelolaan pendidikan seperti bermain istana pasir atau tari poco- poco (istilah Megawati Soekarnoputri), sibuk bangun-runtuh, maju-mundur, walhasil tetap di situ.

 Untuk mengurangi semangat arbitrer dalam implementasi barangkali diperlukan institusi brain trust, pemikir, sekaligus pengawas pendidikan tepercaya. Ini semakin penting bila mengingat alokasi terbesar APBN dan APBD ada pada bidang pendidikan.

Mohammad Abduhzen ; 
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 06 Maret 2013

Selengkapnya.. »»  

Mendiagnosis Pendidikan di Tanah Air


HASIL the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat.

Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Dalam TIMSS kali ini, Indonesia tidak mengikutsertakan siswa kelas empat. Sementara itu, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Namun, rata-rata dan peringkat saja tidak cukup. Banyak informasi berharga dapat digali dari hasil TIMSS dan PIRLS untuk membantu mendiagnosis kondisi pendidikan di Tanah Air.

Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa. Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar).

PIRLS, yang diselenggarakan lima tahun sekali, didesain untuk menilai kemampuan siswa dalam membaca teks-teks baik yang bersifat rekreatif maupun informatif. Proses pemahaman atas teks yang dibaca dimulai dari yang terendah, yaitu mencari dan menemukan informasi yang telah dinyatakan secara eksplisit, hingga yang tertinggi, yaitu mengintegrasikan gagasan dan informasi dari beragam teks untuk menjelaskan dan menyampaikan pemikiran.

Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400), intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625).

Terjadi Penurunan

Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapai advanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan.

Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian.

Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.

Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.

Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Meskipun ada tren kenaikan, secara rata-rata, posisi siswa-siswa Indonesia tetap berada di peringkat bawah karena siswa-siswa di negara-negara lain pun mengalami peningkatan dalam membaca.

Faktor Berkontribusi

Laporan TIMSS dan PIRLS 2011 menyebutkan sikap positif terhadap matematika, sains, dan membaca, ketersediaan fasilitas pem belajaran di rumah misalnya buku-buku, pengenalan dini terhadap angka, fenomena alam, dan kegiatan membaca dengan cara menyenangkan seperti melalui permainan dan aktivitas keseharian, gizi dan tidur yang cukup, berkorelasi positif dengan pencapaian siswa. Fasilitas sekolah yang memadai, sekolah yang aman dan tidak memiliki banyak masalah terkait dengan disiplin, guru-guru dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi, lebih berpengalaman, dan merasa puas dengan profesi yang mereka jalani juga berkorelasi positif dengan pencapaian siswa.

Kajian TIMSS dan PIRLS 2011 juga semakin menegaskan temuan berbagai riset skala internasional yang pernah dilakukan sebelumnya tentang keterkaitan yang erat antara kondisi sosial-ekonomi dan pencapaian siswa. Siswa dengan orangtua berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi cenderung memiliki pencapaian yang tinggi pula. Sekolah dengan mayoritas siswa berasal dari kalangan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi memiliki pencapaian lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan sekolah dengan mayoritas siswa dari kalangan dengan tingkat sosial-ekonomi lebih rendah.

Permasalahan-permasalahan di dunia ini yang makin kompleks dari hari ke hari atau bahkan belum dikenal sebelumnya membutuhkan generasi yang mampu mencari, menggunakan, dan menginterpretasi informasi dan mengambil keputusan dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalah. Banjir informasi sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga menuntut generasi yang mampu memilah dan memilih informasi yang relevan, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hingga saat ini, sebagian besar siswa kita baru mencapai kemampuan-kemampuan berpikir tingkat rendah. Konsekuensinya, bila kondisi itu tidak segera diintervensi secara tepat, ke depan kita akan memiliki generasi yang gagap dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan masa depan.

Bila ditinjau dari aspek persekolahan, perlu dipastikan bahwa materi-materi yang diajarkan sekolah telah sesuai dengan kebutuhankebutuhan masyarakat di masa kini dan masa depan. Pengembangan penalaran sepatutnya menjadi prioritas dalam pembelajaran. Misalnya, ketika belajar matematika, siswa perlu dilatih untuk mampu menjelaskan alasan-alasan di balik langkah-langkah yang dia tempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah, termasuk mengaitkan dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam pelajaran sains, rasa ingin tahu siswa perlu dipupuk, misalnya dengan melakukan pengamatan-pengamatan ataupun kajian pustaka dan menyusun hasilnya dalam bentuk laporan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa perlu diperkenalkan dengan beragam bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik ilmiah maupun populer, dan dilatih pula untuk menuliskan, misalnya tanggapan ataupun penilaian kritis atas bacaannya.

Penilaian yang dilakukan terhadap siswa selayaknya juga semakin difokuskan pada tujuan assessment for learning ataupun assessment as learning, dengan penilaian ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran ataupun sebagai pembelajaran itu sendiri. Selama ini, penilaian yang dilakukan masih cenderung didominasi kerangka assessment of learning, yaitu untuk menilai hasil belajar siswa. Penilaian dengan model pilihan ganda sebaiknya diminimalkan. Soal-soal pilihan ganda memang dapat didesain untuk mengukur higher-order thinking, tetapi dengan penilaian benar atau salah, guru tidak dapat melihat proses-proses berpikir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Penilaian model esai, kinerja (performance), ataupun portofolio tampaknya lebih akomodatif dalam memberi ruang pada assessment for learning ataupun assessment as learning, yang dipandang ahli-ahli di bidang penilaian pendidikan sebagai assessment yang dapat membekali siswa dengan pengalaman berharga sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Elin Driana ;  
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013

Selengkapnya.. »»