Tampilkan postingan dengan label Elin Driana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Elin Driana. Tampilkan semua postingan

Mendiagnosis Pendidikan di Tanah Air


HASIL the Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang diselenggarakan the International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat.

Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan ratarata 406. Dalam TIMSS kali ini, Indonesia tidak mengikutsertakan siswa kelas empat. Sementara itu, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Namun, rata-rata dan peringkat saja tidak cukup. Banyak informasi berharga dapat digali dari hasil TIMSS dan PIRLS untuk membantu mendiagnosis kondisi pendidikan di Tanah Air.

Tingkat Penalaran TIMSS, yang diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi ajar (konten) dan proses berpikir siswa. Assessment kelas delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan), dan reasoning (bernalar).

PIRLS, yang diselenggarakan lima tahun sekali, didesain untuk menilai kemampuan siswa dalam membaca teks-teks baik yang bersifat rekreatif maupun informatif. Proses pemahaman atas teks yang dibaca dimulai dari yang terendah, yaitu mencari dan menemukan informasi yang telah dinyatakan secara eksplisit, hingga yang tertinggi, yaitu mengintegrasikan gagasan dan informasi dari beragam teks untuk menjelaskan dan menyampaikan pemikiran.

Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low international benchmark (400), intermediate benchmark (475), high international benchmark (550), dan advanced international benchmark (625).

Terjadi Penurunan

Hasil TIMSS 2011 untuk matematika menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang mencapai advanced international benchmark, 2% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian, 57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil mencapai low international benchmark, yang menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang telah biasa digunakan.

Tingkat pencapaian tertinggi, yaitu advanced international benchmark, antara lain, meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan beberapa tahapan penyelesaian.

Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 3% siswa mencapai high international benchmark (turun dari 4% di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46% siswa belum berhasil mencapai kategori terendah tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.

Advanced international benchmark, antara lain, menggambarkan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan kompleks di bidang sains serta mengombinasikan informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.

Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang mencapai advanced international benchmark, 4% mencapai high international benchmark (naik dari 2% di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Meskipun ada tren kenaikan, secara rata-rata, posisi siswa-siswa Indonesia tetap berada di peringkat bawah karena siswa-siswa di negara-negara lain pun mengalami peningkatan dalam membaca.

Faktor Berkontribusi

Laporan TIMSS dan PIRLS 2011 menyebutkan sikap positif terhadap matematika, sains, dan membaca, ketersediaan fasilitas pem belajaran di rumah misalnya buku-buku, pengenalan dini terhadap angka, fenomena alam, dan kegiatan membaca dengan cara menyenangkan seperti melalui permainan dan aktivitas keseharian, gizi dan tidur yang cukup, berkorelasi positif dengan pencapaian siswa. Fasilitas sekolah yang memadai, sekolah yang aman dan tidak memiliki banyak masalah terkait dengan disiplin, guru-guru dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi, lebih berpengalaman, dan merasa puas dengan profesi yang mereka jalani juga berkorelasi positif dengan pencapaian siswa.

Kajian TIMSS dan PIRLS 2011 juga semakin menegaskan temuan berbagai riset skala internasional yang pernah dilakukan sebelumnya tentang keterkaitan yang erat antara kondisi sosial-ekonomi dan pencapaian siswa. Siswa dengan orangtua berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi cenderung memiliki pencapaian yang tinggi pula. Sekolah dengan mayoritas siswa berasal dari kalangan dengan tingkat sosial ekonomi lebih tinggi memiliki pencapaian lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan sekolah dengan mayoritas siswa dari kalangan dengan tingkat sosial-ekonomi lebih rendah.

Permasalahan-permasalahan di dunia ini yang makin kompleks dari hari ke hari atau bahkan belum dikenal sebelumnya membutuhkan generasi yang mampu mencari, menggunakan, dan menginterpretasi informasi dan mengambil keputusan dari berbagai sumber untuk menyelesaikan masalah. Banjir informasi sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga menuntut generasi yang mampu memilah dan memilih informasi yang relevan, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hingga saat ini, sebagian besar siswa kita baru mencapai kemampuan-kemampuan berpikir tingkat rendah. Konsekuensinya, bila kondisi itu tidak segera diintervensi secara tepat, ke depan kita akan memiliki generasi yang gagap dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan masa depan.

Bila ditinjau dari aspek persekolahan, perlu dipastikan bahwa materi-materi yang diajarkan sekolah telah sesuai dengan kebutuhankebutuhan masyarakat di masa kini dan masa depan. Pengembangan penalaran sepatutnya menjadi prioritas dalam pembelajaran. Misalnya, ketika belajar matematika, siswa perlu dilatih untuk mampu menjelaskan alasan-alasan di balik langkah-langkah yang dia tempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah, termasuk mengaitkan dengan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam pelajaran sains, rasa ingin tahu siswa perlu dipupuk, misalnya dengan melakukan pengamatan-pengamatan ataupun kajian pustaka dan menyusun hasilnya dalam bentuk laporan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Untuk meningkatkan kemampuan membaca, siswa perlu diperkenalkan dengan beragam bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik ilmiah maupun populer, dan dilatih pula untuk menuliskan, misalnya tanggapan ataupun penilaian kritis atas bacaannya.

Penilaian yang dilakukan terhadap siswa selayaknya juga semakin difokuskan pada tujuan assessment for learning ataupun assessment as learning, dengan penilaian ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran ataupun sebagai pembelajaran itu sendiri. Selama ini, penilaian yang dilakukan masih cenderung didominasi kerangka assessment of learning, yaitu untuk menilai hasil belajar siswa. Penilaian dengan model pilihan ganda sebaiknya diminimalkan. Soal-soal pilihan ganda memang dapat didesain untuk mengukur higher-order thinking, tetapi dengan penilaian benar atau salah, guru tidak dapat melihat proses-proses berpikir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Penilaian model esai, kinerja (performance), ataupun portofolio tampaknya lebih akomodatif dalam memberi ruang pada assessment for learning ataupun assessment as learning, yang dipandang ahli-ahli di bidang penilaian pendidikan sebagai assessment yang dapat membekali siswa dengan pengalaman berharga sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Elin Driana ;  
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013

Selengkapnya.. »»  

Mutu Pendidikan Tanpa RSBI


Keputusan MK yang membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional, payung hukum RSBI/SBI, ternyata menimbulkan reaksi beragam. Wali Kota Surabaya, misalnya, menyatakan akan mempertahankan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) karena merupakan salah satu ikon Surabaya. Beberapa orangtua pun kecewa atas penghapusan RSBI karena berharap anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu melalui RSBI. Beberapa kepala sekolah RSBI/SBI menyayangkan keputusan MK karena mereka memandang RSBI sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan (Kompas.com, 9/1/2013). Pemerintah ataupun keterangan ahli dan saksi yang diajukan pemerintah selama persidangan juga menegaskan bahwa RSBI merupakan upaya memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan meningkatkan daya saing di era globalisasi.
Keputusan MK juga tak bulat. Hakim Achmad Sodiki berpendapat berbeda. Menurut dia, pembatalan Pasal 50 Ayat (3) akan ”berdampak kerugian pada upaya mencerdaskan bangsa”. Intinya, RSBI/SBI merupakan proyek percontohan dengan investasi dari APBN dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dan mencegah semakin melebarnya jurang perbedaan mutu pendidikan di Tanah Air.

Peningkatan Mutu
Saya sangat sepakat dengan pendapat hakim Achmad Sodiki bahwa sekolah yang bermutu tinggi adalah ”idaman setiap keluarga yang mempunyai anak” (Putusan Nomor 5/PUU-X/2012, hal 199). Namun, RSBI/SBI bukanlah langkah yang tepat untuk mewujudkan impian tersebut.
Pasal 5 Ayat (1) UU Sisdiknas secara tegas menyebutkan: ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan dan program-program yang diambil pemerintah semestinya difokuskan pada upaya memberikan layanan pendidikan bermutu bagi setiap warga negara, bukan hanya kepada siswa dengan klasifikasi tertentu.
Keberadaan RSBI/SBI jelas-jelas bertentangan dengan semangat pasal tersebut. Kalaupun dianggap sebagai proyek percontohan, semestinya RSBI menerima siswa dengan berbagai latar belakang, termasuk kemampuan akademisnya. Bagaimana masyarakat bisa melihat nilai tambah RSBI apabila siswa yang diterima adalah bibit-bibit unggul dan sekolah yang menjadi cikal bakal RSBI sudah merupakan sekolah unggulan?
Pemilahan mutu layanan pendidikan yang diterima peserta didik juga diperparah oleh peraturan pemerintah (PP) yang kontradiktif dengan semangat Pasal 5 Ayat (1). Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan, antara lain, bahwa hasil ujian nasional (UN) digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Konsekuensinya, kualitas layanan pendidikan yang diterima siswa bergantung pada nilai UN.
Kondisi ini sangat berlawanan dengan kecenderungan di negara-negara maju yang makin mengarah pada upaya penyediaan layanan pendidikan bermutu bagi seluruh peserta didik, sebagaimana dilansir the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2010). Ekonomi berbasis pengetahuan yang jadi tulang punggung pembangunan sebuah bangsa di era ini menuntut kesiapan insan-insan terdidik sebagai penggerak utamanya. Karena itu, penyediaan layanan pendidikan bermutu kepada setiap warga negara tidak dapat ditawar lagi.

Kesenjangan Mutu
Laporan OECD juga mengungkapkan, kelas/sekolah yang homogen dari sisi kemampuan akademis siswa tidak berkaitan dengan peningkatan prestasi siswa. Pengondisian kelas/sekolah yang homogen justru berkaitan erat dengan variasi pencapaian prestasi akademis yang semakin lebar. Yang lebih mengkhawatirkan, kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi siswa semakin nyata terlihat di negara-negara yang melakukan seleksi masuk sekolah berdasarkan prestasi akademis sejak jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Untuk konteks Indonesia, tentu bukan hal mudah bagi sekolah-sekolah yang selama ini menerima anak-anak dengan nilai UN yang lebih rendah untuk bisa bersaing dengan sekolah yang menerima anak-anak bernilai UN lebih tinggi. Ironisnya, dana yang lebih besar justru diberikan kepada RSBI. Begitu pula pelatihan-pelatihan yang lebih intensif bagi guru-gurunya.
Laporan OECD di atas juga menjelaskan, Shanghai, China—yang siswa-siswanya menunjukkan pencapaian luar biasa dalam PISA—telah berupaya keras untuk menghilangkan label-label sekolah unggulan yang sebelumnya merupakan fenomena umum di China. Seleksi siswa ke jenjang yang lebih tinggi (telah dimulai untuk SD dan SMP) didasarkan pada tempat tinggal siswa.
Guna mengurangi kesenjangan mutu, berbagai langkah penguatan sekolah yang selama ini dianggap kurang bermutu pun dilakukan; antara lain, pertama, merenovasi gedung-gedung sekolah agar kondisi fisiknya lebih mendukung proses belajar. Kedua, menggelontorkan dana yang lebih besar ke sekolah-sekolah itu agar dapat meningkatkan kualitas fasilitas pendidikan yang dibutuhkan, seperti laboratorium, perpustakaan, dan peningkatan gaji guru. Ketiga, mentransfer guru-guru berpengalaman dari kota ke desa dan sebaliknya. Dengan langkah ini diharapkan guru berpengalaman dari kota dapat membagi pengalamannya di desa, sementara guru dari desa dapat belajar dari guru di kota dan saat kembali dapat mengembangkan sekolahnya masing-masing.
Pembatalan RSBI sama sekali bukan penjegalan terhadap upaya meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air. Sebaliknya, penghapusan RSBI adalah momentum bagi bangsa ini untuk kembali pada semangat penyediaan layanan pendidikan bermutu bagi semua warga. Antara lain memfokuskan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan sesuai PP No 19/2005.
Para pengambil kebijakan di Kemdikbud sepatutnya lebih sering blusukan ke sekolah-sekolah untuk mengetahui kondisi di lapangan, termasuk manajemen sekolah, pembelajaran, dan evaluasi yang dilakukan. Di samping itu, PP No 19/2005, khususnya terkait penggunaan UN untuk penentuan kelulusan dan seleksi siswa, selayaknya direvisi karena kontraproduktif terhadap upaya penyediaan pendidikan bermutu bagi semua warga Negara

Elin Driana ; 
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum
KOMPAS,  11 Januari 2013



Selengkapnya.. »»  

Gawat Darurat Pendidikan


Hasil Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang baru saja dipublikasikan, semakin menegaskan kondisi gawat darurat dunia pendidikan di Tanah Air.

Nilai rata-rata matematika siswa kelas VIII (kali ini Indonesia tidak mengikutkan siswa kelas IV) hanya 386 dan menempati urutan ke-38 dari 42 negara. Di bawah Indonesia ada Suriah, Maroko, Oman, dan Ghana. Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, berada di atas Indonesia. Singapura bahkan di urutan kedua dengan nilai rata-rata 611. Nilai ini secara statistik tidak berbeda secara signifikan dari nilai rata-rata Korea, 613, di urutan pertama dan nilai rata-rata Taiwan, 609, di urutan ketiga.

Hasil Sains tak kalah mengecewakan. Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains siswa kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan.

Hasil Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011, yang juga baru diterbitkan, menempatkan siswa kelas IV Indonesia di urutan ke-42 dari 45 negara dengan nilai rata-rata 428. Di bawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko.

Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tecermin dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Indonesia telah ikut serta dalam siklus tiga tahunan penilaian tersebut, yaitu 2003, 2006, dan 2009. Hasilnya sangat memprihatinkan. Siswa-siswa Indonesia lagi-lagi secara konsisten terpuruk di peringkat bawah. Kita tunggu bersama hasil penilaian tahun 2012.

Benar bahwa kita pun memiliki anak-anak yang meraih medali dalam berbagai olimpiade matematika ataupun sains. Namun, jumlah mereka tak seberapa dibandingkan total populasi anak-anak di Indonesia. Kita tak bisa mengandalkan pembangunan bangsa dan melepaskan kebergantungan bangsa ini pada produk impor, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, hanya pada segelintir orang saja.

Konsistensi buruknya hasil-hasil penilaian internasional terhadap kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa-siswa Indonesia merupakan indikator kuat adanya ”penyakit-penyakit” kronis dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun tampaknya belum berhasil menyembuhkan ”penyakit-penyakit” itu. Bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan yang diambil justru semakin memperparah kondisi pendidikan di Tanah Air.
Ujian Nasional, misalnya, telah terbukti gagal dalam meningkatkan prestasi akademis siswa kita. Asesmen-asesmen internasional, seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA, sangat tepat untuk dijadikan indikator kegagalan UN. Berbagai kajian seputar ujian kelulusan yang dilakukan di beberapa negara juga belum berhasil membuktikan bahwa ujian kelulusan merupakan instrumen tepat untuk meningkatkan prestasi akademis siswa.

Sementara itu, dampak-dampak negatif, seperti penyempitan kurikulum, terfokusnya pembelajaran pada latihan-latihan soal, terhambatnya pembelajaran yang menekankan kreativitas dan inovasi, ataupun kecurangan-kecurangan, telah terbukti.

Kondisi gawat darurat ini tentunya harus segera direspons bila kita tak ingin gagal dalam mempersiapkan anak-anak dengan kecakapan yang mereka butuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21, dengan masalah yang semakin kompleks yang kerap membutuhkan alternatif penyelesaian dengan cara-cara yang tidak biasa. Kegagalan kita dalam mempersiapkan generasi mendatang tentunya akan berimbas pada keberlangsungan bangsa dan negara di tengah persaingan global.

Memanfaatkan Asesmen internasional
Pemeringkatan tentunya bukanlah tujuan utama keikutsertaan Indonesia dalam PISA, TIMSS, PIRLS, ataupun asesmen international lain. Berbagai kajian yang dilakukan oleh penyelenggara asesmen sebetulnya memberikan informasi yang sangat kaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan dan praktik pendidikan yang dijalankan selama ini. Kita pun dapat belajar dari kesuksesan negara-negara lain dalam mempersiapkan anak-anaknya dengan sikap-sikap dan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.

Strong Performers and Successful Reformer in Education: Lessons from PISA for the United States yang diterbitkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2010 menegaskan, antara lain, bahwa negara-negara yang menempati peringkat atas memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan kualitas guru. Negara-negara peringkat atas yang dikaji dalam laporan OECD tersebut ialah China, yang diwakili oleh Shanghai dan Hongkong, Kanada, Finlandia, Jepang, dan Singapura.

Finlandia, misalnya, merekrut guru dari 10 persen terbaik lulusan perguruan tinggi, sementara Kanada dari 30 persen terbaik. Hal ini tentunya dimungkinkan bila profesi guru mendapatkan penghargaan tinggi di mata masyarakat dan dunia kerja, yang juga terkait pendapatan yang diterima.

Dalam rangka pengembangan kompetensi, guru-guru di Singapura mendapatkan pelatihan selama 100 jam setiap tahun, sementara guru-guru di Shanghai mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam kurun lima tahun. Sangat kontras dengan minimnya pelatihan yang diperoleh guru-guru SD di Indonesia berdasarkan hasil survei Federasi Serikat Guru Indonesia (Kompas, 6/12/2012).

Pembelajaran di negara-negara peringkat atas PISA semakin difokuskan pada penalaran tingkat tinggi yang menggeser pembelajaran yang berorientasi penguasaan materi untuk persiapan tes atau ujian yang kerap didominasi oleh hafalan dan latihan-latihan soal. Pergeseran fokus pembelajaran tentunya membutuhkan guru-guru yang mampu menciptakan atmosfer belajar yang mendukung.

Kelas yang makin heterogen dari sisi kemampuan akademis siswa juga menjadi kecenderungan di negara-negara peringkat atas tersebut. Shanghai dan Hongkong telah meniadakan ujian di akhir jenjang pendidikan dasar yang biasa digunakan untuk menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya karena dipandang sebagai penghalang bagi pembelajaran yang mendorong kreativitas dan inovasi. Tempat tinggal siswalah yang menentukan ke mana siswa dapat melanjutkan sekolahnya. Konsekuensinya, tentu pemerintah harus menjamin bahwa semua sekolah memiliki kualitas yang bagus.

Hal ini sangat kontras dengan Indonesia yang menggunakan nilai UN untuk seleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya, bahkan untuk siswa SD yang akan melanjutkan ke SMP. Di lain pihak, Finlandia hanya mengadakan ujian untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Revisi Kurikulum
Revisi kurikulum memang harus dilakukan, antara lain, karena banyaknya mata pelajaran dan terlalu padatnya materi yang ingin dijejalkan kepada peserta didik. Tidak sedikit di antara materi-materi tersebut sebetulnya tidak sesuai dengan usia peserta didik sehingga hanya menjadi sekumpulan fakta untuk dihafalkan tanpa memahami maknanya.

Namun, kecermatan dan ketepatan dalam mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan tentunya amat diharapkan dalam proses revisi kurikulum agar menghasilkan kurikulum yang memang sesuai tuntutan zaman. Bukan kurikulum dengan tempelan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran sehingga terkesan memaksa, sebagaimana tecermin dalam draf kompetensi dasar beberapa mata pelajaran.

Laporan OECD di atas juga makin menegaskan bahwa guru memegang peranan teramat vital dalam mempersiapkan siswa dengan sikap-sikap dan kecakapan-kecakapan belajar yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan abad ke-21, tanpa mengabaikan peran faktor-faktor lain. Oleh karena itu, sebelum mengetuk palu untuk mengesahkan Kurikulum 2013, alangkah baiknya bila dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mengetahui secara pasti permasalahan-permasalahan dalam kurikulum tersebut, termasuk dalam implementasi.

Tak tertutup kemungkinan kegagalan implementasi KTSP disebabkan pengabaian terhadap pengembangan profesionalitas dan kualitas guru yang telah berlangsung lama.

Elin Driana ;
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Koordinator Education Forum
KOMPAS, 14 Desember 2012



Selengkapnya.. »»  

UN sebagai Kriteria Penerimaan Mahasiswa Baru


  KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menegaskan rencana untuk menggunakan hasil ujian nasional (UN) sebagai salah satu kriteria penerimaan siswa melalui jalur undangan dan menghapus seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) jalur ujian tulis. Rencana lainnya, 90% kursi di perguruan tinggi negeri (PTN) akan diperebutkan melalui jalur undangan yang nantinya dapat diikuti semua siswa, sedangkan sisanya melalui ujian mandiri yang disenggarakan tiap PTN.

Sangat layak dipertanyakan, apakah rencana penghapusan SNMPTN jalur ujian tulis sudah melalui kajian-kajian yang mendalam? Apakah penggunaan nilai UN sebagai kriteria seleksi dapat menjamin academic excellence, keragaman, dan keadilan? Jangan sampai rencana perubahan itu memiliki karakteristik yang sama dengan beberapa kebijakan pemerintah lainnya di bidang pendidikan yang terkesan terburu-buru, tanpa dukungan bukti-bukti yang memadai.

Tes Multifungsi?

Pasal 68 Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, 4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Dari aspek teknis, validitas tes bergantung pada penggunaan tes tersebut. Tes yang digunakan untuk menentukan kelulusan peserta didik belum tentu valid bila digunakan untuk pemetaan mutu program ataupun dasar seleksi jenjang pendidikan berikutnya. Fungsi yang berbeda-beda akan melahirkan desain soal yang berbeda pula. Tes yang dirancang untuk menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya tentunya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dengan tes yang digunakan untuk kelulusan ataupun pemetaan.

Soal-soal dalam tes yang digunakan untuk menyeleksi siswa ke perguruan tinggi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga hanya bagian kecil dari calon mahasiswa yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Sebaliknya, soal-soal untuk UN relatif lebih mudah ketimbang soalsoal SNMPTN ataupun tes-tes mandiri yang diselenggarakan perguruan tinggi karena lebih banyak siswa diharapkan lulus UN.

Kajian-kajian seputar validitas prediktif UN dalam menentukan keberhasilan calon mahasiswa di perguruan tinggi pun perlu dipaparkan kepada masyarakat. Apakah hasil UN memiliki validitas prediktif yang lebih baik daripada hasil SNMPTN, tes-tes mandiri, ataupun nilai rapor dan rangking siswa? Meskipun hasil UN belum dijadikan kriteria seleksi, data-data hasil UN dari tahuntahun yang lalu tentunya dapat digunakan untuk melakukan kajian-kajian pendahuluan sebagai dasar perumusan kebijakan.

Selain tujuan pembuatan soal yang berbeda, kualitas penyelenggaraan UN pun masih patut dipertanyakan. Kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN menurunkan kredibilitas hasil UN. Penggunaan 20 paket soal pun, sebagaimana disampaikan Mendikbud M Nuh, bisa menimbulkan persoalan baru. Dapatkah publik diyakinkan bahwa ke-20 paket soal tersebut benar-benar telah melalui pengujian yang dikenal sebagai test equating untuk menjamin kesetaraan paket-paket soal tersebut.

Selama ini, sepanjang pengetahuan penulis, Kemendikbud belum pernah mengeluarkan technical report yang memaparkan aspek-aspek teknis UN secara terbuka kepada publik. Padahal, sebagai sebuah kebijakan yang menyedot banyak perhatian dan menyita banyak energi, technical report UN seharusnya dihadapkan dan diuji terlebih dahulu ke publik secara terbuka dan transparan.

Nilai Rapor dan Peringkat Siswa

Sekalipun terdapat variasi penilaian yang dilakukan guru, baik dalam satu sekolah maupun antarsekolah, penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan nilai rapor kan nilai rapor ataupun pering kat siswa di SMA merupakan pemrediksi yang berkorelasi paling tinggi dengan keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi bila dibandingkan dengan tes-tes terstandar seperti SAT I--yang mengukur kemampuan verbal dan matematis secara umum-ataupun SAT II--yang mengukur penguasaan siswa terhadap materi-materi yang diajarkan di sekolah (Linn, 2005; Willingham, 2005).

Penggunaan nilai rapor dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru memang telah memiliki landasan yang kuat. Meskipun demikian, kualitas penilaian yang dilakukan guru perlu terus ditingkatkan, termasuk penggunaan beragam model-model assessment untuk menggerakkan proses pembelajaran yang lebih bermakna dan mengembangkan berbagai aspek kecerdasan siswa.

Pemerintah dan sekolah pun perlu terus berkomitmen meningkatkan kemampuan guru dalam melakukan penilaian kelas. Peningkatan kualitas evaluasi yang dilakukan guru dapat berimbas pula pada penghitungan beban kerja yang lebih rasional karena evaluasi yang berkualitas membutuhkan komitmen waktu yang tidak kalah berbobot dengan tatap muka yang berlangsung di kelas.

Panitia seleksi penerimaan siswa baru, termasuk perguruan tinggi, mesti terus mengembangkan mekanisme untuk memastikan kredibilitas nilai rapor tersebut, termasuk pemberian sanksi sementara bagi sekolah-sekolah yang terbukti melakukan mark-up nilai siswa. Itu bukan pekerjaan mudah dan tentunya meka nisme yang digunakan perlu disampaikan kepada masyarakat secara terbuka.

Kriteria seleksi yang digunakan juga perlu mempertimbangkan aspek keragaman dan keadilan. Berbagai penelitian menunjukkan pencapaian akademis baik dalam bentuk nilai rapor maupun hasil-hasil tes terstandar berkorelasi dengan status sosial ekonomi keluarga. Laporan OECD (2010) terkait d dengan hasil PISA (programme for international student assessment), yang menilai kesiapan siswa dalam mengaplikasi pengetahuan dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalahmasalah di dunia nyata dan tantangan masa depan, bahkan menegaskan korelasi antara prestasi akademis dan status sosial ekonomi menjadi semakin kuat di negara-negara yang sejak dini telah memilah-milah siswa memilah-milah siswa dalam sistem pendidi kannya berdasarkan capaian akademis.

Sistem pendidikan Indonesia pun menganut pemilahan seperti itu. Nilai UN, misalnya, dijadikan kri teria seleksi penerimaan siswa di jenjang SMP/sederajat dan SMA/ sederajat. Sekolah sekolah yang telah di favoritkan dari masa ke masa akan dengan mudah mendapatkan siswa-siswa dengan kemampuan akademis yang lebih tinggi ketimbang sekolah-sekolah reguler.

Perguruan tinggi pun, dengan sistem undangan yang menggunakan nilai rapor, tentunya akan memprioritaskan penerimaan calon mahasiswa dari sekolah-sekolah tersebut. Hal itu menjadi tidak adil bagi siswa yang sebetulnya memiliki potensi yang tinggi, tapi berada di sekolah yang belum tentu di lirik PTN sehingga peluangnya untuk diterima melalui jalur undangan menjadi lebih kecil.

Penilaian Komprehensif

Angka-angka yang diperoleh dari penilaian kelas ataupun tes terstandar hanya menggambarkan bagian kecil dari diri calon mahasiswa. Dalam buku berjudul Choosing Students: Higher Education Admission Tools for the 21st Century, beberapa penulis dengan beragam latar belakang, seperti ahli testing, peneliti, dan dosen, menegaskan perlunya penilaian yang lebih komprehensif terhadap calon mahasiswa. Penilaian terhadap calon mahasiswa tidak memadai bila hanya didasarkan pada aspek-aspek kognitif. Aspek-aspek nonkognitif juga menentukan keberhasilan mahasiswa dan kesiapannya mengarungi kehidupan kelak.

Warren W William (2005), yang pernah menjadi peneliti di Educational Testing Service, salah satu lembaga testing terkemuka di Amerika Serikat, memandang penerimaan mahasiswa baru juga perlu mempertimbangkan scholastic engagement yang terepresentasi, antara lain dalam conative skill seperti motivasi, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengatur diri sendiri.

Sementara itu, Robert Steinberg (2005), dari Yale University, memperkenalkan successful intelligence yang terdiri dari kecerdasan analitis, kecerdasan praktis, dan kecerdasan kreatif sebagai kriteria penerimaan mahasiswa baru.

Sistem penerimaan mahasiswa baru bukanlah proses yang sudah final dan sempurna. Evaluasi terhadap sistem yang telah ada dan kajian terhadap rencana penggunaan UN sebagai salah satu kriteria seleksi perlu dilakukan untuk menjamin academic excellence, keragaman, dan keadilan. Tanpa adanya evaluasi yang terstruktur dan mendalam, mustahil akan ada peningkatan standar kualitas pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan semua pihak

Elin Driana ; 
Pengajar Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Prof Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2012



Selengkapnya.. »»