Keputusan MK yang membatalkan Pasal 50
Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional, payung hukum RSBI/SBI, ternyata
menimbulkan reaksi beragam. Wali Kota Surabaya, misalnya, menyatakan akan
mempertahankan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) karena merupakan
salah satu ikon Surabaya. Beberapa orangtua pun kecewa atas penghapusan RSBI
karena berharap anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu
melalui RSBI. Beberapa kepala sekolah RSBI/SBI menyayangkan keputusan MK karena
mereka memandang RSBI sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan (Kompas.com,
9/1/2013). Pemerintah ataupun keterangan ahli dan saksi yang diajukan
pemerintah selama persidangan juga menegaskan bahwa RSBI merupakan upaya memberikan
layanan pendidikan yang bermutu dan meningkatkan daya saing di era globalisasi.
Keputusan MK juga tak bulat. Hakim
Achmad Sodiki berpendapat berbeda. Menurut dia, pembatalan Pasal 50 Ayat (3)
akan ”berdampak kerugian pada upaya mencerdaskan bangsa”. Intinya, RSBI/SBI
merupakan proyek percontohan dengan investasi dari APBN dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan dan mencegah semakin melebarnya jurang perbedaan
mutu pendidikan di Tanah Air.
Peningkatan Mutu
Saya sangat sepakat dengan pendapat
hakim Achmad Sodiki bahwa sekolah yang bermutu tinggi adalah ”idaman setiap
keluarga yang mempunyai anak” (Putusan Nomor 5/PUU-X/2012, hal 199). Namun,
RSBI/SBI bukanlah langkah yang tepat untuk mewujudkan impian tersebut.
Pasal 5 Ayat (1) UU Sisdiknas secara
tegas menyebutkan: ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan dan
program-program yang diambil pemerintah semestinya difokuskan pada upaya
memberikan layanan pendidikan bermutu bagi setiap warga negara, bukan hanya
kepada siswa dengan klasifikasi tertentu.
Keberadaan RSBI/SBI jelas-jelas
bertentangan dengan semangat pasal tersebut. Kalaupun dianggap sebagai proyek
percontohan, semestinya RSBI menerima siswa dengan berbagai latar belakang,
termasuk kemampuan akademisnya. Bagaimana masyarakat bisa melihat nilai tambah
RSBI apabila siswa yang diterima adalah bibit-bibit unggul dan sekolah yang
menjadi cikal bakal RSBI sudah merupakan sekolah unggulan?
Pemilahan mutu layanan pendidikan yang
diterima peserta didik juga diperparah oleh peraturan pemerintah (PP) yang
kontradiktif dengan semangat Pasal 5 Ayat (1). Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan, antara lain, bahwa hasil ujian
nasional (UN) digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk seleksi masuk
jenjang pendidikan berikutnya. Konsekuensinya, kualitas layanan pendidikan yang
diterima siswa bergantung pada nilai UN.
Kondisi ini sangat berlawanan dengan
kecenderungan di negara-negara maju yang makin mengarah pada upaya penyediaan
layanan pendidikan bermutu bagi seluruh peserta didik, sebagaimana dilansir the
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2010). Ekonomi
berbasis pengetahuan yang jadi tulang punggung pembangunan sebuah bangsa di era
ini menuntut kesiapan insan-insan terdidik sebagai penggerak utamanya. Karena
itu, penyediaan layanan pendidikan bermutu kepada setiap warga negara tidak
dapat ditawar lagi.
Kesenjangan Mutu
Laporan OECD juga mengungkapkan,
kelas/sekolah yang homogen dari sisi kemampuan akademis siswa tidak berkaitan
dengan peningkatan prestasi siswa. Pengondisian kelas/sekolah yang homogen
justru berkaitan erat dengan variasi pencapaian prestasi akademis yang semakin
lebar. Yang lebih mengkhawatirkan, kesenjangan prestasi akademis berdasarkan
status sosial ekonomi siswa semakin nyata terlihat di negara-negara yang
melakukan seleksi masuk sekolah berdasarkan prestasi akademis sejak jenjang
pendidikan yang lebih rendah.
Untuk konteks Indonesia, tentu bukan hal
mudah bagi sekolah-sekolah yang selama ini menerima anak-anak dengan nilai UN
yang lebih rendah untuk bisa bersaing dengan sekolah yang menerima anak-anak
bernilai UN lebih tinggi. Ironisnya, dana yang lebih besar justru diberikan
kepada RSBI. Begitu pula pelatihan-pelatihan yang lebih intensif bagi
guru-gurunya.
Laporan OECD di atas juga menjelaskan,
Shanghai, China—yang siswa-siswanya menunjukkan pencapaian luar biasa dalam
PISA—telah berupaya keras untuk menghilangkan label-label sekolah unggulan yang
sebelumnya merupakan fenomena umum di China. Seleksi siswa ke jenjang yang
lebih tinggi (telah dimulai untuk SD dan SMP) didasarkan pada tempat tinggal
siswa.
Guna mengurangi kesenjangan mutu,
berbagai langkah penguatan sekolah yang selama ini dianggap kurang bermutu pun
dilakukan; antara lain, pertama, merenovasi gedung-gedung sekolah agar kondisi
fisiknya lebih mendukung proses belajar. Kedua, menggelontorkan dana yang lebih
besar ke sekolah-sekolah itu agar dapat meningkatkan kualitas fasilitas pendidikan
yang dibutuhkan, seperti laboratorium, perpustakaan, dan peningkatan gaji guru.
Ketiga, mentransfer guru-guru berpengalaman dari kota ke desa dan sebaliknya.
Dengan langkah ini diharapkan guru berpengalaman dari kota dapat membagi
pengalamannya di desa, sementara guru dari desa dapat belajar dari guru di kota
dan saat kembali dapat mengembangkan sekolahnya masing-masing.
Pembatalan RSBI sama sekali bukan
penjegalan terhadap upaya meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air.
Sebaliknya, penghapusan RSBI adalah momentum bagi bangsa ini untuk kembali pada
semangat penyediaan layanan pendidikan bermutu bagi semua warga. Antara lain
memfokuskan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan sesuai PP No 19/2005.
Para pengambil kebijakan di Kemdikbud
sepatutnya lebih sering blusukan ke sekolah-sekolah untuk mengetahui kondisi di
lapangan, termasuk manajemen sekolah, pembelajaran, dan evaluasi yang
dilakukan. Di samping itu, PP No 19/2005, khususnya terkait penggunaan UN untuk
penentuan kelulusan dan seleksi siswa, selayaknya direvisi karena
kontraproduktif terhadap upaya penyediaan pendidikan bermutu bagi semua warga Negara
Elin Driana ;
Dosen Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang
Koordinator Education Forum
KOMPAS, 11 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi