Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
membatalkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menarik dicermati.
Dunia pendidikan bergembira karena diskriminasi pendidikan sudah diakhiri. RSBI
selama ini menimbulkan friksi sosial yang mengancam integrasi bangsa ini karena
kaum kaya dan kaum miskin sudah dibedakan oleh "batas" sejak dalam
pikiran (sekolah).
Keputusan MK ini jelas sesuai dengan
amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan yang sama dan setara. Selama ini, orang miskin masih sulit
untuk mengenyam pendidikan. Jika mereka berpendidikan, itu pun ditempuh lewat
lembaga pendidikan berkualitas rendah sesuai dengan biaya yang dimilikinya.
RSBI jelas mencederai UUD 1945 karena
hak warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas bagus
dengan biaya yang ter jangkau. Tidak ada istilah, yang kaya sekolahnya mahal
dan yang miskin sekolahnya murah(an). Maka, siapa pun berhak sekolah di mana
pun yang sesuai dengan kemampuannya.
Tampak lebih jelas ketika pemerintah
membeda-bedakan label sekolah, mulai dari RSBI sampai SBI. Ini akan memunculkan
kasta dalam pendidikan. Sekolah RSBI maupun SBI dikenal sekolah favorit yang
wajar jika biaya pendidikannya jauh lebih mahal dibanding sekolah pada umumnya.
Dengan mengandalkan sistem dan fasilitas memadai, sekolah favorit ini merasa
wajib untuk memberikan harga mahal pada seluruh siswanya.
Dengan demikian, orang tua yang
mempunyai kecukupan finansial (the have) akan mampu membiayai anak mereka di sekolah
ini. Sementara, kaum miskin (the have not) harus puas dengan sekolah seadanya,
sesuai dengan kecukupan dana yang dimiliki orang tuanya. Retno Listyarti
(2012), sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSDI) menyatakan bahwa predikat
RSBI adalah sebutan yang menakutkan bagi siswa miskin.
Kasta yang terbangun di sekolah ini
mengakibatkan kondisi psikologis yang buruk bagi anak miskin di Indonesia.
Mereka akan cenderung minder dan takut melangkah ke lembaga pendidikan yang
baik, padahal banyak anak kurang mampu memiliki prestasi yang tinggi.
Prestasi
Bukan Tarif
Kehadiran sekolah berlabel RSBI maupun
SBI selama ini sudah mendapatkan kritik dan protes keras dari masyarakat.
Sekolah-sekolah berstatus RSBI alih-alih mampu meningkatkan mutu pendidikan di
daerah malah menjadikan sekolah yang biaya pendidikannya tidak terjangkau
masyarakat miskin. Nilai pendidikan yang seharusnya bertaraf internasional
berubah menjadi bertarif internasional. Padahal faktanya, mutu pendidikan yang
ditawarkan oleh sekolah dengan label RSBI maupun SBI cenderung sama dengan
sekolah lainnya. Bahkan, ada sekolah yang jauh berkualitas dan sama sekali
tidak mahal mampu memberikan pelayanan yang baik bagi siswanya. Sehingga,
banyak siswa di sekolah yang tanpa label RSBI maupun SBI ini yang berprestasi
dan outputnya mampu bersaing di kancah internasional.
Ini menandakan bahwa bukanlah label yang
penting, melainkan kualitas dan mutunya yang harus dipertimbangkan. Kualitas
pendidikan juga perlu dilihat dari bagaimana sekolah membangun prestasi bagi
siswanya. Dalam konteks membangun prestasi sekolah ini, menarik kalau melihat
hasil kajian Hanushek (2008) atas berbagai laporan penelitian pendidikan di
negara-negara sedang berkembang. Hanushek menyimpulkan bahwa upaya meningkatkan
kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga.
Penelitian-penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan "konvensional" dalam
meningkatkan mutu dengan menyediakan dana, kualitas, serta kuantitas variabel
input, seperti pelatihan guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas
pendidikan yang lain, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan. Oleh
karena itu, agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional
sebagaimana selama ini telah dilaksanakan, perlu diiringi pula dengan
pendekatan inkonvensional.
RSBI atau SBI merupakan salah satu upaya
peningkatan mutu secara konvensional. Maka itu, sekolah jangan terjebak dengan
model konvensionalnya saja karena itu bisa membuat kemajuan sekolah menjadi
selesai. Dalam konteks ini, marilah kita melihat sekolah sebagai suatu sistem
yang memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu se kolah,
yakni proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur
sekolah. Ketiga aspek pokok ini sangat berpengaruh pada kualitas sekolah.
Memilih sekolah tidak harus yang
berlabel RSBI ataupun SBI yang biayanya menghebohkan. Sekarang masyarakat sudah
tidak bodoh lagi. Mereka bisa lebih cerdas dan tidak akan mau jika membeli
kucing dalam karung. Oleh karena itu, kita bisa menilai sekolah dari ketiga
aspek tersebut.
Pertama, proses belajar mengajarnya
(PBM). Jika sekolah memiliki manajemen PBM yang baik dan berkualitas maka
hasilnya pun akan baik. Walaupun fasilitas seadanya, dengan potensi pengajar
dan cara pengajarannya baik, siswa mampu menyerap pelajaran dengan mudah. Maka,
keterbatasan fasilitas bukanlah suatu penghalang.
Kedua, sekolah memiliki pemimpin yang
berkualitas sehingga pemimpin mampu memilih dan menggunakan manajemen sekolah
yang bagus. Sekolah itu, antara lain, mampu menerapkan manajemen berbasis
sekolah untuk menuju sekolah efektif atau menggunakan manajemen mutu terpadu
untuk membangun budaya mutu dalam sekolah.
Yang ketiga, membangun kultur yang
sehat. Tidak ada kasta dalam lembaga pendidikan. Baik siswa miskin maupun kaya memiliki
kesempatan dan pelayanan yang sama. Kultur kebersamaan yang paling diutamakan.
Ini akan membawa kondisi psikologi yang baik.
Dengan demikian, keputusan MK men jadi
inspirasi bangsa ini agar pendidikan bisa diberikan kepada semuanya sehingga
yang maju dan berperadaban bukan hanya yang kaya, tetapi semuanya. Inilah
amanat UUD 1945 yang harus ditegakkan bersama.
Siti
Muyassarotul Hafidzoh ;
Peneliti
pada Program Pascasarjana
Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY)
REPUBLIKA, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi