KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menegaskan
rencana untuk menggunakan hasil ujian nasional (UN) sebagai salah satu kriteria
penerimaan siswa melalui jalur undangan dan menghapus seleksi nasional masuk
perguruan tinggi negeri (SNMPTN) jalur ujian tulis. Rencana lainnya, 90% kursi
di perguruan tinggi negeri (PTN) akan diperebutkan melalui jalur undangan yang
nantinya dapat diikuti semua siswa, sedangkan sisanya melalui ujian mandiri
yang disenggarakan tiap PTN.
Sangat layak dipertanyakan,
apakah rencana penghapusan SNMPTN jalur ujian tulis sudah melalui kajian-kajian
yang mendalam? Apakah penggunaan nilai UN sebagai kriteria seleksi dapat
menjamin academic excellence, keragaman, dan keadilan? Jangan sampai rencana
perubahan itu memiliki karakteristik yang sama dengan beberapa kebijakan
pemerintah lainnya di bidang pendidikan yang terkesan terburu-buru, tanpa
dukungan bukti-bukti yang memadai.
Tes
Multifungsi?
Pasal 68 Peraturan Pemerintah RI
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan hasil ujian
nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) Pemetaan mutu
program dan/atau satuan pendidikan, 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan, 4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dari aspek teknis, validitas tes
bergantung pada penggunaan tes tersebut. Tes yang digunakan untuk menentukan
kelulusan peserta didik belum tentu valid bila digunakan untuk pemetaan mutu
program ataupun dasar seleksi jenjang pendidikan berikutnya. Fungsi yang
berbeda-beda akan melahirkan desain soal yang berbeda pula. Tes yang dirancang
untuk menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya tentunya memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda dengan tes yang digunakan untuk kelulusan
ataupun pemetaan.
Soal-soal dalam tes yang
digunakan untuk menyeleksi siswa ke perguruan tinggi memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi sehingga hanya bagian kecil dari calon mahasiswa yang dapat
memenuhi standar yang ditetapkan. Sebaliknya, soal-soal untuk UN relatif lebih
mudah ketimbang soalsoal SNMPTN ataupun tes-tes mandiri yang diselenggarakan
perguruan tinggi karena lebih banyak siswa diharapkan lulus UN.
Kajian-kajian seputar validitas
prediktif UN dalam menentukan keberhasilan calon mahasiswa di perguruan tinggi
pun perlu dipaparkan kepada masyarakat. Apakah hasil UN memiliki validitas
prediktif yang lebih baik daripada hasil SNMPTN, tes-tes mandiri, ataupun nilai
rapor dan rangking siswa? Meskipun hasil UN belum dijadikan kriteria seleksi,
data-data hasil UN dari tahuntahun yang lalu tentunya dapat digunakan untuk melakukan
kajian-kajian pendahuluan sebagai dasar perumusan kebijakan.
Selain tujuan pembuatan soal yang
berbeda, kualitas penyelenggaraan UN pun masih patut dipertanyakan.
Kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN menurunkan kredibilitas hasil UN.
Penggunaan 20 paket soal pun, sebagaimana disampaikan Mendikbud M Nuh, bisa
menimbulkan persoalan baru. Dapatkah publik diyakinkan bahwa ke-20 paket soal
tersebut benar-benar telah melalui pengujian yang dikenal sebagai test equating
untuk menjamin kesetaraan paket-paket soal tersebut.
Selama ini, sepanjang pengetahuan
penulis, Kemendikbud belum pernah mengeluarkan technical report yang memaparkan
aspek-aspek teknis UN secara terbuka kepada publik. Padahal, sebagai sebuah
kebijakan yang menyedot banyak perhatian dan menyita banyak energi, technical
report UN seharusnya dihadapkan dan diuji terlebih dahulu ke publik secara
terbuka dan transparan.
Nilai
Rapor dan Peringkat Siswa
Sekalipun terdapat variasi
penilaian yang dilakukan guru, baik dalam satu sekolah maupun antarsekolah,
penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan nilai rapor
kan nilai rapor ataupun pering kat siswa di SMA merupakan pemrediksi yang
berkorelasi paling tinggi dengan keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi
bila dibandingkan dengan tes-tes terstandar seperti SAT I--yang mengukur
kemampuan verbal dan matematis secara umum-ataupun SAT II--yang mengukur
penguasaan siswa terhadap materi-materi yang diajarkan di sekolah (Linn, 2005;
Willingham, 2005).
Penggunaan nilai rapor dalam
seleksi penerimaan mahasiswa baru memang telah memiliki landasan yang kuat.
Meskipun demikian, kualitas penilaian yang dilakukan guru perlu terus
ditingkatkan, termasuk penggunaan beragam model-model assessment untuk
menggerakkan proses pembelajaran yang lebih bermakna dan mengembangkan berbagai
aspek kecerdasan siswa.
Pemerintah dan sekolah pun perlu
terus berkomitmen meningkatkan kemampuan guru dalam melakukan penilaian kelas.
Peningkatan kualitas evaluasi yang dilakukan guru dapat berimbas pula pada
penghitungan beban kerja yang lebih rasional karena evaluasi yang berkualitas
membutuhkan komitmen waktu yang tidak kalah berbobot dengan tatap muka yang
berlangsung di kelas.
Panitia seleksi penerimaan siswa
baru, termasuk perguruan tinggi, mesti terus mengembangkan mekanisme untuk
memastikan kredibilitas nilai rapor tersebut, termasuk pemberian sanksi
sementara bagi sekolah-sekolah yang terbukti melakukan mark-up nilai siswa. Itu
bukan pekerjaan mudah dan tentunya meka nisme yang digunakan perlu disampaikan
kepada masyarakat secara terbuka.
Kriteria seleksi yang digunakan
juga perlu mempertimbangkan aspek keragaman dan keadilan. Berbagai penelitian
menunjukkan pencapaian akademis baik dalam bentuk nilai rapor maupun
hasil-hasil tes terstandar berkorelasi dengan status sosial ekonomi keluarga.
Laporan OECD (2010) terkait d dengan hasil PISA (programme for international
student assessment), yang menilai kesiapan siswa dalam mengaplikasi pengetahuan
dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalahmasalah di dunia nyata dan
tantangan masa depan, bahkan menegaskan korelasi antara prestasi akademis dan
status sosial ekonomi menjadi semakin kuat di negara-negara yang sejak dini
telah memilah-milah siswa memilah-milah siswa dalam sistem pendidi kannya berdasarkan
capaian akademis.
Sistem pendidikan Indonesia pun
menganut pemilahan seperti itu. Nilai UN, misalnya, dijadikan kri teria seleksi
penerimaan siswa di jenjang SMP/sederajat dan SMA/ sederajat. Sekolah sekolah
yang telah di favoritkan dari masa ke masa akan dengan mudah mendapatkan
siswa-siswa dengan kemampuan akademis yang lebih tinggi ketimbang
sekolah-sekolah reguler.
Perguruan tinggi pun, dengan
sistem undangan yang menggunakan nilai rapor, tentunya akan memprioritaskan
penerimaan calon mahasiswa dari sekolah-sekolah tersebut. Hal itu menjadi tidak
adil bagi siswa yang sebetulnya memiliki potensi yang tinggi, tapi berada di
sekolah yang belum tentu di lirik PTN sehingga peluangnya untuk diterima
melalui jalur undangan menjadi lebih kecil.
Penilaian
Komprehensif
Angka-angka yang diperoleh dari
penilaian kelas ataupun tes terstandar hanya menggambarkan bagian kecil dari
diri calon mahasiswa. Dalam buku berjudul Choosing Students: Higher Education
Admission Tools for the 21st Century, beberapa penulis dengan beragam latar
belakang, seperti ahli testing, peneliti, dan dosen, menegaskan perlunya
penilaian yang lebih komprehensif terhadap calon mahasiswa. Penilaian terhadap
calon mahasiswa tidak memadai bila hanya didasarkan pada aspek-aspek kognitif.
Aspek-aspek nonkognitif juga menentukan keberhasilan mahasiswa dan kesiapannya
mengarungi kehidupan kelak.
Warren W William (2005), yang
pernah menjadi peneliti di Educational Testing Service, salah satu lembaga
testing terkemuka di Amerika Serikat, memandang penerimaan mahasiswa baru juga
perlu mempertimbangkan scholastic engagement yang terepresentasi, antara lain
dalam conative skill seperti motivasi, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengatur
diri sendiri.
Sementara itu, Robert Steinberg
(2005), dari Yale University, memperkenalkan successful intelligence yang
terdiri dari kecerdasan analitis, kecerdasan praktis, dan kecerdasan kreatif
sebagai kriteria penerimaan mahasiswa baru.
Sistem penerimaan mahasiswa baru
bukanlah proses yang sudah final dan sempurna. Evaluasi terhadap sistem yang
telah ada dan kajian terhadap rencana penggunaan UN sebagai salah satu kriteria
seleksi perlu dilakukan untuk menjamin academic excellence, keragaman, dan
keadilan. Tanpa adanya evaluasi yang terstruktur dan mendalam, mustahil akan
ada peningkatan standar kualitas pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan
semua pihak
Elin
Driana ;
Pengajar
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Prof
Dr HAMKA Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2012
Jika sistem pelaksanaan UN benar2 bersih dari kecurangan dalam bentuk apapun saya rasa nilai UN mampu merepresentasikan kemampuan siswa dan cukup baik jika dijadikan syarat masuk perguruan tinggi negeri. akan tetapi jika di dalam pelaksanaan UN masih terjadi tindak kecurangan, apakah nilai UN mampu merepresentasikan kemampuan siswa?, jangan-jangan nanti siswa yang kurang berpotensi bisa masuk perguruan tinggi ternama sedangkan yang punya potensi gagal masuk ke PT ternama
BalasHapus