Dalam upaya membangun manusia
Indonesia seutuhnya, dari waktu ke waktu guru selalu menghadapi tantangan baru,
dan makin berat. Persaingan ketat di pasar kerja, makin mahalnya biaya
pendidikan, dan kehadiran beragam temuan teknologi mutakhir, ternyata
melahirkan berbagai dampak.
Tawuran pelajar yang akhir-akhir ini meningkat
bukan saja frekuensinya melainkan juga alat yang dipakai, berikut tingkat
kebrutalan, hanyalah salah satunya. Padahal realitasnya, saat ini internet
merambah hampir semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali bidang
pendidikan. Kepesatan pertumbuhan tersebut mesti ditanggapi secara cerdas,
positif, dan ekstrahati-hati. Tidak
dapat dimungkiri, kehadiran internet bisa memberi segudang manfaat demi
kemaslahatan semua pihak. Namun banyak hal yang perlu disikapi secara cerdas
dan bijaksana. Pasalnya bila salah mengantisipasi bisa berakibat yang sangat
destruktif, bahkan fatal: kehancuran masa depan satu generasi!
Faktanya, dengan berselancar di internet, kita
bisa dengan mudah memperoleh beragam pengetahuan baru. Bagi siswa, cara itu
sangat membantu dalam menyelesaikan tugas sekolah. Sayang, dengan alasan
memburu waktu dan kesulitan memproses data, banyak siswa hanya mengambil apa
adanya materi dari sumber berita tanpa mengolah terlebih dahulu alias salin
tempel (copy paste).
Tindakan tersebut jelas tidak sehat dan
melawan hukum. Bila dibiarkan, sama saja membimbing anak berperilaku bodoh dan
tidak kreatif. Dampaknya, murid menjadi malas dan terbiasa melanggar hak cipta,
suatu tindakan tercela. Masalahnya, bagaimana mencegah berkembangnya budaya
salin tempel seperti itu?
Di beberapa sekolah, guru
terpaksa mewajibkan murid menyerahkan tugas dalam bentuk tulisan tangan. Meski
kedengarannya cukup bagus, langkah preventif tersebut juga perlu dikaji ulang.
Memang, murid terpaksa bekerja ekstrakeras menyelesaikan tugas yang diemban.
Tetapi pada zaman modern ini langkah seperti
itu terkesan kurang cerdas.
Demi menghindari budaya salin tempel, guru
harus cerdik dan kreatif. Agar lebih tepat sasaran, segala sesuatunya harus
disiapkan dengan matang sebelum memberi tugas. Perlu penyadaran bahwa tindakan
mengambil karya orang lain tanpa izin adalah sesuatu yang tidak semestinya
dilakukan kalangan intelektual.
Nilai
Kekeluargaan
Dengan begitu diyakini bahwa yang dikumpulkan
anak didik itu benar-benar karya ilmiah berkualitas. Sebetulnya, saat ini ada
beberapa program komputer yang dapat mendeteksi plagiarisme. Kendati demikian,
jauh lebih utama sekolah mampu menanamkan kesadaran agar siswa memiliki
academic honesty, prinsip menyangkut tanggung jawab moral yang tumbuh mengakar.
Guru juga harus tampil sebagai fasilitator
dalam mendidik anak supaya tumbuh menjadi insan cerdas dan bertanggung jawab.
Hindarkan penggunaan media informasi canggih ini untuk hal-hal negatif yang
bisa mengundang masalah. Sebaliknya, penggunaan secara positif sesuai fungsinya
sebagai media komunikasi andal bisa meningkatkan kualitas hidup pengguna.
Sudah selayaknya sekolah memiliki sistem yang
menekankan kerja sama harmonis antara orang tua dan sekolah, guru dan siswa.
Sinergitas itu untuk memupuk siswa dari segi spiritual, moral, akademis, dan
sosial. Ingat, tiap anak adalah a shining star, makhluk ciptaan Tuhan nan unik
penuh talenta yang harus dikembangkan secara optimal.
Sungguh bijak jika bisa dirancang
program pendidikan yang menanamkan kepedulian bersama dengan merangkul
nilai-nilai kekeluargaan dan mengikutsertakan seluruh siswa dalam pendidikan
yang aktif dua arah. Kehidupan komunitas sekolah perlu diperkaya dengan
meningkatkan kerja sama dan hubungan harmonis antara sekolah-rumah-komunitas di
luar sekolah.
Th
Rosid Ahmad ;
Alumnus
Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris
IKIP
Negeri Semarang (kini Unnes),
Mantan
Ketua MGMP Bahasa Inggris SMK Kota dan Eks Karesidenan Semarang
SUARA
MERDEKA, 29 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi