BELAJAR ialah hakikat manusia
sesungguh nya. Kemampuan untuk belajar hanya ada pada makhluk yang bernama
manusia, tidak pada makhluk lainnya. Alasan itu azali, suratan, dan sunah Tuhan
karena Dia secara menyengaja memberikan satu elemen mendasar dalam diri
manusia, yaitu otak. Bahkan bukan hanya otak, Tuhan pun memberi manusia hati
untuk merasa, serta penglihatan dan pendengaran sebagai media yang dapat
membawa dan membuka otak dan hati manusia.
Dengan kelebihan-kelebihan
tersebut, tak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mau belajar. Karena belajar
ialah intrinsik, potensi yang dimiliki setiap orang sesungguhnya sama besar.
Dengan keyakinan itulah proses pendidikan sebenarnya harus bermula, yaitu
menghargai keragaman potensi anak sebagai sebuah potensi besar untuk berkelana
sejauh mungkin dalam proses belajar-mengajar yang menyenangkan.
Mengapa belajar harus
menyenangkan? Hati dan otak biasanya akan menyimpan dengan baik hal-hal yang
menyenangkan sekaligus menyimpan hal-hal yang tidak menyenangkan. Sebagai
makhluk yang berpikir (al-insaanhayawan al-naathiq), manusia yang belajar pasti
akan berpikir (think), sebuah kata kerja yang menggunakan otak (brain) agar
manusia dapat menggunakan akal pikirannya (mind) dalam melakukan sesuatu.
Namun, menggunakan otak saja tak
cukup. Karena itu, otak perlu penuntun dan fungsi penuntun diletakkan di hati,
sebuah benda yang tak jelas posisinya karena ketika mengatakan `hati', kita
selalu memegang bagian dada kita, tempat jantung dan paru-paru berada. Adapun
hati, jika tak salah, terletak di bagian belakang dan bawah perut. Dalam bahasa
agama, jika otak sudah dipadukan dengan hati, seseorang dapat disebut telah
berakal (sensible), sebuah potensi yang membuat manusia berbeda dan disebut
hewan yang berpikir, hewan yang memiliki otak paling lengkap dan sempurna.
Menurut data dari Pubmed, sejak
1996 sampai dengan 2000 saja, setiap tahun rata-rata dibuat sekitar 30 ribu
laporan penelitian dan karya ilmiah tentang otak. Akan tetapi, ribuan ilmuwan
tersebut masih mengatakan, “There is more we do not know about the brain than
what we do know about the brain (Masih banyak yang tidak kita ketahui tentang
otak daripada yang telah kita ketahui tentangnya).“ Betapa luas Tuhan
menciptakan `seonggok benda' bernama otak yang begitu rumit dan sempurna.
Dalam teori brain based learning
disebutkan, semua pengetahuan pasti ada manfaatnya. Karena itu, jangan pernah
menyesal dengan apa yang pernah kita pelajari atau kita baca karena suatu saat
apa yang pernah kita pelajari pasti akan bermanfaat. Postulat lain menyebutkan
tidak ada sesuatu yang benar-benar baru, hanya ada kombinasi-kombinasi baru
sehingga ditemukanlah ide baru (penemuan baru).
Karena itu, belajar akan
mengajari seseorang untuk tidak pernah berhenti berpikir. Namun karena
dialektika otak dan hati selalu terjadi, secara psikologis adakalanya manusia
merasa puas dan merasa sudah menjadi seperti yang mereka harapkan. Pada posisi
dan situasi itulah terjadi yang disebut sebagai unlearning.
Ketika otak merasa puas dan
berhenti berpikir, manusia bisa saja terperosok ke dalam sebuah dunia lain
sehingga dia bertindak tanpa memikirkan risiko dan akibat yang akan
ditimbulkannya. Perilaku menyimpang merupakan gambaran bahwa manusia bisa
mengalami fase unlearning. Secara ekstrem, gambaran perilaku menyimpang seperti
teroris dan koruptor merupakan beberapa contoh bahwa manusia bisa terjebak ke
dalam perilaku unlearning.
Namun jika hati seseorang dapat
menuntun lagi kerja otak untuk mulai berpikir dan belajar kembali, fase semacam
itu disebut relearning. Untuk kembali belajar (relearning), seseorang tidak
hanya membutuhkan tuntunan hatinya, tetapi juga dukungan lingkungannya. Itulah
sebabnya untuk kasus-kasus tertentu seperti para bekas teroris, diperlukan
sebuah proses belajar kembali dengan cara memberi mereka dukungan untuk kembali
kepada habitat dan masyarakat.
Dalam konteks belajar-mengajar,
proses relearning juga sejalan dengan prinsip re-education, sebuah basis
filosofis untuk bekerja dengan orang-orang yang mengalami gangguan, baik secara
emosi maupun perilaku (a philosophical basis for working with person who has
emotional and/or behavioral disorders). Dalam proses reedukasi, mengembalikan
mentalitas lama ke dalam pembentukan mentalitas baru yang sesuai dengan kondisi
normal lingkungan masyarakatnya ialah imperatif.
Selain itu, bekerja dengan
memamahi prinsip dan hakikat reedukasi membutuhkan basis riset yang baik dan
benar. Tanpa riset yang saksama, sebuah proses reedukasi atau relearning pasti
akan mengalami kegagalan. Alasannya sangat sederhana. Jika belajar (learning)
dan berhenti belajar (unlearning) adalah laku individual, relearning adalah
laku individual sekaligus sosial seseorang. Hampir tak mungkin seseorang akan
sukses meretas untuk kembali belajar tanpa ada dukungan masyarakat, minimal
keluarganya. Di sinilah makna penting relearning dalam proses pembelajaran seseorang.
Dalam School that Learns: A Fifth
Discipline Fieldbook for Educators, Parents, and Everyone Who Cares about
Education (2000), Peter Senge mengenalkan basis rekognisi hubungan baik
antarsesama manusia sebagai modal dalam mengawal proses pendidikan yang baik.
Kemampuan untuk mengenal identitas orang lain dan nilai yang diberikannya dalam
sebuah kehidupan merupakan bagian terpenting dari sebuah proses reedukasi atau
relearning. Artinya, sebagai sebuah siklus belajar, relearning atau
re-education sesungguhnya sedang berusaha menyadarkan seseorang agar selalu dan
mau belajar memaknai eksistensi diri sendiri dengan cara pandang orang lain
dalam memahami diri kita.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi