RENCANA pemberlakuan tes keperawanan terhadap siswi
SMA di Kota Prabumulih, Sumatra Selatan, mengundang reaksi dari berbagai pihak.
Berbagai media sosial menampilkan warta dari situs berita yang kemudian menjadi
tema diskusi di jejaring sosial, seperti Facebook. Kendati sebatas isu
(wacana), dan berita terbaru menyebutkan pernyataan HM Rasyid disalahtafsirkan
oleh media, hal itu telanjur menyulut polemik. Kemendikbud, lewat Mendikbud
Mohammad Nuh, juga menolak tes keperawanan karena tidak memiliki tujuan yang
jelas (Indopos, 21/8).
Terlepas dari benar tidaknya isu tersebut, tulisan
ini akan menyoroti bagaimana keperawanan menjadi masalah yang sensitif di
masyarakat. Keperawanan sering disamakan dengan kehormatan wanita, dengan
istilah ‘merenggut kehormatan’ yang menjadi metafora hilangnya keperawanan. Ada
modus ‘simpliļ¬kasi’ pelbagai aspek kehormatan yang berkelindan pada wilayah
publik (kehormatan tingkah laku, sikap, etika, etiket) ke kehormatan privat
(keperawanan).
Ketidakperawanan perempuan hanya satu aspek dari
bobroknya moralitas kita. Keperawanan merupakan moralitas privat. Yang tahu
hanya yang melakukannya. Bagaimana dengan moralitas publik kita? Melanggar
rambu lalu lintas, kongkalikong dengan polisi lalu lintas, tidak tertib,
korupsi, melanggar aturan-aturan publik, dan masih banyak lagi. Moralitas
secara general dapat dijadikan kerangka analisis untuk meneropong dunia
pendidikan kita yang sarat masalah.
Kita boleh saja marah melihat banyak anak usia SMA
(bahkan SMP!) yang melakukan tindakan asusila, seks bebas, dan prostitusi.
Beberapa tahun lalu, Iip Wijayanto merilis laporan yang mengejutkan. Sekitar
97% mahasiswi di kota Y--berdasarkan hasil surveinya--tidak perawan. Tak ayal,
laporan tersebut mengejutkan banyak pihak dan mereka mempertanyakan metode
survei apa yang dipakai Iip sehingga hasil surveinya sungguh di luar dugaan.
Berita soal muncikari yang dilakukan anak SMP di kota S beberapa bulan lalu
juga telah membuat kita terkejut. Dunia pendidikan, yang diasumsikan steril
dari maksiat, nyatanya tidak kebal juga. Kenakalan remaja--termasuk seks
bebas--sebetulnya telah menjadi berita sejak awal 2000-an.
Hilangnya keperawanan perempuan dapat disebabkan
banyak faktor, seperti kecelakaan, pemerkosaan,dan ketidaksengajaan lain.
Perbuatan asusila antara laki-laki dan perempuan menjadi pengecualian. Cobalah
sedikit nakal dengan membuka situs Youtube, akan banyak video (maaf
) mesum dengan `aktor' anak-anak berseragam sekolah. Berita di televisi juga
sering dihebohkan dengan video asusila yang menyebar lewat telepon seluler.
Gagalnya pendidikan holistis
Wacana tes keperawanan ini sejatinya menunjukkan
gagalnya pendidikan kita secara holistis. Pendidikan holistis merupakan
pendidikan menyeluruh yang melibatkan lembaga pendidikan, keluarga, dan
masyarakat. Pemerintah menjadi simpul dari pendidikan holistis ini. Dalam
jaringan birokrasi, akan banyak kementerian yang seharusnya terlibat dalam
pendidikan holisitis: Kemendikbud, Kemenkom info, Kemenag, Kemenpora,
Kemenparekraf, Kemensos, dan lainnya.
Harus diakui bahwa pendidikan kita selalu mengalami
tantangan berat. Sebagai bangsa Timur, Indonesia masih mengedepankan agama dan
moral sebagai pilar kehidupan. Sementara itu, kita juga terkesima dengan Barat
yang maju dalam teknologi, tapi agak ‘abai’ dalam moralitas privat. Dalam UU
Sisdiknas tercantum maklumat tentang tujuan pendidikan, yakni menciptakan insan
yang bertakwa dan berketerampilan. Karena itu, pendidikan kita sarat dengan
pelajaran yang dibuat untuk mengakomodasi tujuan tercapainya manusia terampil
yang berakhlak.
Namun apa yang terjadi hari ini? Kita justru
kehilangan dua tujuan mulia itu. Bermoral juga tidak, berketerampilan unggul
dan mumpuni juga belum. Indikator moralnya, banyak generasi muda yang
terjerumus ke hal-hal negatif. Di bidang keterampilan, kita juga belum
menemukan benda benda teknologi yang mampu bersaing dengan teknologi Barat,
meski banyak pelajar kita yang berhasil mengibarkan nama harum Indonesia di
dunia internasional lewat kompetisi robot dan olimpiade sains internasional.
Sesungguhnya remaja kita yang dianggap liar dan
nakal ialah mereka yang menjadi korban gagalnya paradigma pendidikan yang
holistis. Nilai-nilai serta praksis etis dan etos hadir secara serempak di
pendidikan. Implementasi pendidikan holistis tersebut, meski sering dimasukkan
ke mata pelajaran sekolah, ternyata kurang berhasil menciptakan generasi emas
untuk menyongsong seabad Indonesia merdeka pada 2045 mendatang. Pendidikan
agama (pendidikan karakter dan moral sebagai variannya) kurang mendapat porsi,
pendidikan keterampilan pun setali tiga uang.
Menata moral generasi muda memang harus dari hulu
ke hilir. Sekolah bukan penanggung jawab utama. Namun, jelas sekolah memegang
peranan penting sebagai ruang interaksi remaja. Sekolah ibarat dunia tempat
anak didik keluar dari dunia primordial (rumah) menuju dunia baru yang plural
(teman sekolah, pergaulan dengan teman lain sekolah). Dunia yang plural ini
memberikan pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai sosial-moral baru bagi anak
didik. Sekolah adalah ruang tempat simultanitas nilai-nilai bertemu, berdialog,
bernegosiasi, dan berkompetisi!
Apa sebetulnya problem remaja kita hari ini
sehingga mudah terjerumus dalam kenakalan remaja dan seks bebas? Globalisasi
yang berimbas pada keterbukaan informasi dapat dengan mudah dijadikan kambing
hitam. ‘Kemajuan’ sebagai sinonim modernitas yang dilekatkan pada dunia Barat
(utamanya Amerika Serikat dan Eropa Barat) ialah ‘prototipe’ (kiblat)
modernitas. Nilai-nilai ‘egalitarianisme’ dan sekularisme ikut melumuri narasi
‘modernitas’ itu.
Tekad bersama
Faktor pendorong untuk melakukan tindakan asusila
sangat banyak. Pemetaan dari segala elemen birokrasi sosial, pendidikan,
politik, dan agama bisa merumuskan kebijakan yang tepat. Jika ingin membenahi
moralitas remaja kita, tentu perlu tekad bersama dari semua pihak. Penyamaan
visi dan misi penting sebagai upaya membentuk generasi muda yang punya
integritas hard dan soft.
Pertama, di dunia pendidikan, sekolah mesti banyak
membuat kegiatan positif agar hobi siswa dapat tersalurkan.
Kedua, pelajaran agama dan moral disampaikan dengan
benar agar menjadi spirit sikap anak didik. Ingat, pelajaran agama berhadapan
dengan siswa yang pada masa psikologis ‘mencoba lepas dari agama’, sehingga
secara tak langsung mengabaikan nilai-nilai agama. Kesadaran akan pentingnya
agama mesti terus ditanamkan kepada anak didik, tapi bukan dengan cara
doktrinal dan dogmatis.
Ketiga, keluarga mesti dikembalikan sebagai fitrah
ruang esensial pendidikan bagi anak. Sebagai unit terkecil dalam struktur
sosial, keluarga merupakan fondasi utama pendidikan anak. Salah satu faktor
remaja mencari kenyamanan di luar ialah rumah (dan anggota keluarga) tidak lagi
menjadi tempat bersandar.
Keempat, masyarakat berperan menggandeng generasi
muda untuk merawat nilai-budaya Indonesia yang teguh berjalan pada humanisme
yang holistis serta menjaga martabat manusia. Bentuk peranannya, misalnya,
masyarakat yang punya usaha kos-kosan bertindak preventif dengan meminimalisasi
kesempatan anak kos untuk memasukkan lawan jenis ke dalam kamar.
Pendidikan kita yang bertujuan integratif perlu
dirumuskan kembali. Perumusan yang tidak meninggalkan ‘perangkat keras’ (hard
skill) dan ‘perangkat lunak’ (soft skill) manusia. Ini kalau kita
tetap mempertahankan bahwa pendidikan harus mencakup pendidikan moral-agama dan
keterampilan yang mengikuti perkembangan zaman. Tanpa tekad bersama dari semua
pihak, kita akan kesulitan mendapatkan generasi muda yang punya identitas
kebudayaan dan moral yang berketuhanan.
Junaidi Abdul Munif ;
Direktur
el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA
INDONESIA, 09 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi