Jika ingin melihat hasil dari sebuah
proses pendidikan, lihatlah bagaimana sikap dan watak anak-anak kita 25 tahun
ke depan.
Jika sikap dan watak ratarata anak
Indonesia baik dan jujur yang ditandai dengan minimnya kasus-kasus korupsi dan
perbuatan asusila lainnya, itu berarti buah dari proses pendidikan yang benar.
Jika masa depan Indonesia jauh lebih buruk daripada kondisi saat ini, itu
berarti ada yang salah dalam standar proses pendidikan kita.
Saya lebih memercayai standar proses
dari standar lainnya. Standar proses memerlukan guru-guru dengan standar norma
dan perilaku yang tak bisa dibeli, yaitu kejujuran dan keikhlasan. Ada ratusan
bahkan ribuan sekolah, madrasah, dan pesantren tutup ditinggalkan banyak
peminatnya lantaran dalam mengelola institusi, mereka tak memercayai dua hal,
yaitu standar proses pengajaran yang benar serta standar norma dan perilaku
jujur dan ikhlas. Itu artinya faktor guru sangat penting dan dominan dalam
sebuah proses pendidikan.
Mari kita belajar mengapa misalnya
Finlandia selalu menjadi rujukan siapa saja yang tertarik dengan pengembangan
sistem pendidikan. Sahlberg (2011: 58) mengatakan titik singgung keberhasilan
sistem pendidikan di Finlandia terletak pada kesadaran yang sama antara
pemerintah dan masyarakatnya terhadap pen tingnya menegakkan keadilan sosial.
Kesadaran semacam itulah yang membuat proses pendidikan menjadi seimbang, tanpa
perlu disusupi embelembel moralitas palsu.
Kesadaran tentang keadilan sosial (social
justice) merupakan simbol perlindungan bagi siapa saja yang berada dalam
radius sistem pendidikan yang berlaku. Ibarat rumah, social justice kemudian
melahirkan guru-guru dan anak-anak yang percaya setiap usaha untuk
mengembangkan pendidikan selalu bermula dari kesadaran bahwa persamaan (equity)
dan distribusi sumber daya yang seimbang (equitable distribution of
resources) merupakan dua kata kunci implementatif dari keadilan sosial.
Dalam konteks tersebut, lagilagi itu
dilihat sebagai sebuah proses tak berujung, bukan sekedar menumbuhkan kompetisi
tak sehat di kalangan siswa dan guru seperti yang terjadi pada kasus UN di
Indonesia. Kesadaran moralitas itu penting untuk dipikirkan secara
implementatif dalam setiap proses rekrutmen guru dan siswa. Merekrut guru tak
sekadar proses menemukan seseorang yang bisa mengajar, tetapi menempatkan
posisi psikologis mereka ke dalam rumah guru Indonesia yang memercayai keadilan
sosial menjadi jauh lebih penting.
Jika rumah guru Indonesia ditempati
para guru yang memiliki kesadaran kolektif luar biasa itu, empat prinsip dasar
dalam proses pendidikan pasti akan terjadi, yaitu pertama, para guru akan
memiliki kesadaran untuk terus belajar daripada mengajar (teach less, learn
more). Bayangkan, jika sekolah kita dihuni guru dengan jenis seperti itu,
jangankan ujian nasional, ujian akhirat pun akan sanggup diatasi terutama dalam
melahirkan anak-anak yang memiliki sikap moral yang baik dan bertanggung jawab.
Kedua, para guru akan melakukan proses belajar-mengajar di kelas dengan penuh
sukacita karena tidak dihantui setumpuk tes yang membebani pikiran mereka
beserta anak didik. Prinsip test less, learn better juga harus
menjadi katalisator efektif dalam membuat skema pembelajaran yang menyenangkan
sepanjang hayat.
Selain itu, saya membayangkan
prinsip keadilan sosial dalam pendidikan akan melahirkan kebijakan yang
memandang manusia secara sejajar serta melihat perbedaan yang terjadi di dalam
masyarakat sebagai aset komunitas yang harus terus dikelola dengan benar. Kita
sudah memilikinya dalam dasar negara Pancasila, tetapi lemah dalam aspek
implementasinya. Persamaan (equity) dalam proses pendidikan berarti kita
harus memberi perhatian lebih kepada kebutuhan siswa (student need) dan
mengembangkan program berdasarkan kebutuhan tersebut.
Karena itu, menjadi penting bagi
kita semua untuk mulai mereformasi dunia pendidikan kita dari dalam sekolah,
bukan dari luar. Segala bentuk intervensi yang mengatasnamakan reformasi,
apalagi bersifat politis, hanya akan menambah panjang penderitaan anak-anak
kita.
Memperbaiki kualitas guru menjadi
lebih baik, lebih kritis, lebih menghargai perbedaan, serta lebih memiliki
keinginan untuk terus belajar juga agenda terbesar sekolah, bukan pemerintah
tingkat pusat. Mungkin itu yang dimaksud Wakil Presiden Boediono, bahwa
jangan-jangan UN, misalnya, lebih baik didesentralisasi.
Saya mengartikan desentralisasi itu,
secara domestik, ialah tanggung jawab sekolah beserta masyarakat sekitar yang
anak-anaknya bersekolah di situ, bukan desentralisasi yang dikelola pemerintah
daerah yang tak paham dan sama sekali tak mengerti hakikat pendidikan. Itu
artinya proses membuat rumah guru Indonesia harus dimulai di tingkat sekolah,
dengan cara memetakan problem yang muncul menyangkut kompetensi guru, kepala
sekolah, dan orangtua.
Saya kira saran dari Sahlberg (2011)
cocok untuk memulai langkah kecil perubahan sistem pendidikan kita, seperti
selalu berpikir ke depan (thinking ahead) secara visioner untuk membuat
sekolah-sekolah menjadi lebih baik. Kemudian, perubahan itu harus dimulai dari
kondisi internal sekolah (delivering within the school),
bukan tempat yang lain, bukan kantor Kemendikbud atau pemda.
Yang terakhir, sekolah harus
memiliki program yang memberdayakan sekolah lainnya (leading across)
sehingga para guru, kepala sekolah, dan siswa memiliki kesempatan untuk belajar
dari sekolah lainnya.
Akhirnya, rumah guru Indonesia ialah
kesadaran panjang tentang pentingnya memercayai prinsip keadilan sosial (social
justice) sebagai basis filosofis proses, praktik, dan program pendidikan
yang bermuasal dari tiap sekolah. Di dalam sekolah biasanya muncul ide dan
konsep-konsep menarik tentang masa depan secara generic dan genuine,
terutama dari guru, kepala sekolah, dan siswa yang selalu memaknai belajar
sebagai kebutuhan sepanjang hayat.
Ahmad Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi