Menjinakkan Momok Ujian

Ujian nasional (UN), tahapan yang selalu terdengar angker bagi sebagian peserta didik. Betapa tidak, nasib mereka setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan ditentukan oleh hasil akhir ujian, dan pekan depan dimulai ujian nasional untuk satuan SD/ MI. Beragam problematika mengiringi hari-hari peserta ujian.

Tekanan psikis menuntut mereka bisa lulus dengan nilai yang distandarkan acap membuat stres. Fenomena kesurupan massal merupakan salah satu bukti yang sering bermunculan menjelang pelaksanaan ujian. Kondisi itu diperburuk dengan rendahnya kualitas lembar jawaban komputer sehingga rentan robek saat dihapus.

Keminiman jumlah soal, bahkan dijumpai pula soal-soal yang tidak terdistribusikan dengan baik sehingga tak ayal ujian pun tertunda. Semua kondisi itu otomatis memengaruhi mental siswa. Belum lagi tindakan melanggar hukum yang mengitari medan ujian. Dari kabar bocoran soal lengkap dengan jawabannya, kelonggaran pengawas ujian, sistem dongkrak nilai dari pihak sekolah, hingga modus kecurangan lain.

Tekanan untuk bisa lulus, tak hanya dirasakan siswa. Ada lingkaran yang saling menekan, mengitari perjalanan ujian. Siswa mendapat tekanan dari guru; guru mendapat tekanan dari kepala sekolah; kasek mendapat tekanan dari pengurus sekolah; pengurus sekolah mendapat tekanan dari pejabat Dinas Pendidikan.

Tidak berhenti pada titik itu karena masih berlanjut. Pejabat Dinas Pendidikan mendapat tekanan dari wali kota/ bupati; wali kota/ bupati mendapat tekanan dari gubernur; gubernur mendapat tekanan dari menteri; dan menteri mendapat tekanan dari presiden. Demikianlah rangkaian yang berkelindan selama ujian.

Dari rangkaian tekanan itu pastilah ada upaya supaya dapat memenuhi target kelulusan. Beragam jalan pun ditempuh, dan tak dimungkiri beragam modus kecurangan ikut mewarnai perjalanan ujian. Mengingat UN menyumbang nilai 60% dari syarat kelulusan, sisanya 40% benar-benar diupayakan oleh pihak sekolah agar seluruh siswa lulus.

Hal itu tidak adil bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik bagus. Perekayasaan nilai menurunkan mutu pendidikan. Kecurangan itu juga membentuk mental buruk bagi siswa. Padahal melalui merekalah tongkat estafet pembangunan bangsa diteruskan. Karena itu sejak dini siswa perlu dibekali pendidikan karakter.

Tidak hanya dari segi intelektual, namun juga segi akhlak. Pendidikan karakter tidak serta merta bisa didapat tanpa melalui proses. Makin jelas, ujian nasional tidak pas jika semata-mata dijadikan acuan kelulusan karena keputusan itu bisa mendorong beberapa pihak melegalkan berbagai cara demi kelulusan.

Potret  Konkret

Pada dasarnya, ujian nasional bertujuan memetakan pemerataan pendidikan. Proses belajar meliputi rencana, pelaksanaan, dan penilaian atau evaluasi. Sebelum-nya, dunia pendidikan menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pihak sekolah menentukan sendiri rencana pembelajaran melalui kurikulum, menentukan pelaksanaan melalui kegiatan belajar mengajar.

Persoalannya, penilaian atau evaluasi dirampas oleh pemerintah melalui ujian nasional. Kenapa bukan sekolah yang menentukan kelulusan? Tahun ajaran 2013 pemerintah mulai menerapkan kurikulum baru, yang lebih mengedepankan proses, bukan hasil. Pemerintah perlu mengaji ulang pelaksanaan ujian nasional, dan mengembalikan fungsi seperti semula.

Biarkanlah pihak sekolah menentukan kelulusan. Berapa pun nilai ujian semua siswa dapat lulus, letakkanlah beban berat syarat kelulusan ujian nasional pada pundak siswa. Hal itu supaya tidak ada lagi cerita yang melatarbelakangi tekanan mental mereka. Ke depan, untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, biarkanlah sekolah menyeleksi calon siswa.

Mereka yang lulus dengan nilai baik pasti dapat diterima di sekolah yang memiliki kualitas pendidikan baik pula. Adapun siswa yang kurang nilai akademiknya tetap dapat melanjutkan ke sekolah yang memasang standar tidak terlalu tinggi. Pola itu bisa memotret kualitas pendidikan secara lebih nyata.

Raharjo Yulianto  ;  
Guru SMA 1 Boja Kendal,
Mahasiswa Program Pascasarjana Unnes
SUARA MERDEKA, 29 April 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi