Sering kali saya bermimpi. Guru-guru Indonesia berani
melawan kebijakan pemerintah yang dianggap salah oleh para pakar dan pemerhati
pendidikan. Saya membaca berita di luar negeri seperti Amerika Serikat dan
Denmark. Guru-guru di sana berani menolak kebijakan pemerintahnya sendiri.
Namun, di sini, guru masih meributkan masalah sertiļ¬kasi dan hanya bersuara
lantang ketika kesejahteraannya terganggu.
Jarang sekali yang berpikir untuk bersuara lantang ketika
hak peserta didiknya dirampas oleh pemerintah. Guru hanya bisa diam, takut,
apatis, dan cuma bisa ‘berteriak’ di media sosial. Ketika disuruh maju
berhadapan dengan penguasa, satu per satu mereka mundur teratur. Akankah guru
berani bersuara lantang ketika ujian nasional yang amburadul tahun ini dipertahankan
kembali tahun depan?
Harus Bersuara Lantang
Ada beberapa alasan guru tak berani bersuara lantang.
Informasi yang penulis dapatkan dari beberapa kawan sejawat, yaitu: (1) guru
takut kepada atasan, (2) guru takut pada nilai kondite dari atasan, (3) guru
takut dipindahtugaskan/ mutasi, (4) guru takut dikriminalisasikan, (5) guru
pasrah saja dengan keadaan, (6) guru ‘cuek’, yang penting tetap dapat gaji
walaupun mengajar dengan metode ala kadarnya, (7) Guru takut diintimidasi, (8)
Kalau berani bersuara lantang itu bukan guru, tapi dianggap aktivis LSM. Intinya,
mereka takut dengan atasan dan tidak enak dengan teman sejawat. Daripada
dimusuhi teman sendiri, lebih baik diam tak bersuara.
‘Hanya guru yang super sempurna yang berani bersuara
lantang. Mereka telah mempersenjatai diri dengan melek hukum dan meminta
perlindungan ke lembaga bantuan hukum (LBH)’, kata Retno Listiyarti Sekjen Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI) melalui SMS kepada penulis. Dari sekitar 2,9 juta guru, hanya
sedikit, yang penulis temui, guru yang berani menentang kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan. Suaranya sangat lantang sekali membela hak peserta didik.
Mereka bersuara karena punya data dan fakta yang jelas mengenai keadaan yang
terjadi di lapangan. Dia juga berani mengatakan, “Sudahlah Pak
Presiden, UN tak usah ada lagi.”
Usai mengawas ujian nasional di SMP yang lalu, seorang guru
di luar Jawa mengirimkan pesan diinbox Facebook penulis. Beliau
bercerita ada kecurangan UN di sekolahnya. Kunci jawaban UN dibuat oleh
beberapa guru. Caranya sangat sistematis dan dia takut untuk melaporkannya.
Beliau belum siap untuk dipecat sebab yang melakukannya adalah atasannya
sendiri. Inilah kisah nyata pendidikan di negeri ini. Guru tak berani melawan
atasan. Padahal dalam peraturan perundang-undangan, tak ada aturan guru takut
kepada atasan. Guru harus taat kepada peraturan perundangundangan dan bukan
atasan.
Seharusnya, guru harus berani berkata lantang ketika melihat
kecurangan dan ketidakadilan di depan mata. Baginya, pendidikan itu harus
dimulai dari kejujuran. Bagaimana mungkin pendidikan ini akan maju kalau
guru-gurunya saja tidak jujur?
Sementara yang lainnya akan berpikir dua kali untuk menolak
ajakan mengubah sebuah kebijakan disebabkan orang yang mengajak dianggap akan
menjerumuskan dirinya. Contoh kasus, kita bisa belajar dari Komunitas Air Mata
Guru di Medan, dan juga di Garut. Mereka yang menemukan kecurangan UN, nasibnya
malah dijadikan pesakitan. Mereka seperti orang yang menderita penyakit kusta,
dijauhkan oleh atasan dan teman-temannya sendiri. Guru-guru Indonesia berada
dalam posisi yang seperti ini.
Melihat fenomena dan kasus di atas, penulis mencoba
membangunkan kesadaran para guru akan pentingnya sebuah persatuan. Persatuan
yang terajut karena persamaan nasib dan punya tanggung jawab untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Guru tak boleh lagi bergerak sendirisendiri. Harus ada
organisasi guru yang berpihak kepada guru. Terutama guru-guru yang sedang
dizalimi di bidang hukum. Hukum rimba tak boleh ada dalam dunia pendidikan
kita.
Guru Indonesia harus bersatu dalam visi dan misi yang sama.
Dewan kehormatan guru di sekolah harus ditegakkan dan guru harus berani
merampas kembali hak guru dalam penilaian siswa yang sudah jelas tercantum
dalam undangundang Sisdiknas.
Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar
kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan dan
menyimpang dari amanat undang-undang, yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi, ‘evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Cukup jelas
bahwa yang berwenang mengevaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidiklah
yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses
belajar-mengajar di sekolah.
Jalur hukum haruslah ditempuh agar UN tak lagi dilaksanakan
tahun depan. Pemerintah harus memenuhi dulu 8 standar nasional pendidikan.
Kekuatan akademik tak boleh lumpuh oleh kekuatan politik. Teruslah berjuang
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saatnya guru bersuara lantang dan membawa cetar membahana
akan pentingnya sebuah revolusi pendidikan. Kuncinya cuma satu, guru harus
belajar cara menilai peserta didik dengan baik. Proses penilaian yang benar
harus dikuasai oleh para guru agar mampu melihat potensi unik peserta didiknya.
Kewajiban pemerintah adalah melatih para guru agar mampu
melakukan proses evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelatihan seperti ini
seharusnya sudah ada dalam program pemerintah dan bukan menghamburkan uang
negara dengan UN. Ketidakpercayaan pemerintah pada guru sudah terasa ketika
pembuatan program (silabus, RPP berkarakter sudah dicetak rapi). Guru hanya
diberi peluang ketika melaksanakan tugasnya saja pada saat penyampaian materi.
Ketika proses selanjutnya, yaitu evaluasi, pemerintahlah yang mengambil peran
yang seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah.
Akibatnya, kecurangan terjadi di sekolah-sekolah kita yang
bermutu rendah. Mereka, para pengelola sekolah, akan berusaha mendongkrak nilai
peserta didiknya walaupun dengan cara-cara yang tidak benar dan melanggar nilai
kejujuran. Mereka takut kredibilitas sekolahnya akan hancur di mata masyarakat
bila banyak peserta didiknya tak lulus UN. Sementara itu, guru yang berada di
dalamnya hanya diam membisu karena takut dipecat. Keadaan itu seperti lingkaran
setan yang sulit diungkap. Seperti tikus mati yang bau busuknya tercium, tapi
sulit ditemukan.
Guru pun terpecah menjadi dua kekuatan. Guru yang pro dan
kontra dengan UN. Tiap-tiap pihak menganggap dirinya yang paling benar,
sedangkan yang lain dianggap salah bila berseberangan dengan pola pikirnya.
Guru Takut Dipecat
Guru sangat takut bila melaporkan adanya kecurangan UN.
Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan tupoksinya (tugas,
pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk membongkar kecurangan
UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani mengungkap kan kebenaran demi
tegaknya sebuah ke jujuran yang bernilai mahal.
Kita harus menyadari Guru sangat takut bila melaporkan
adanya kecurangan UN. Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan
tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk
membongkar kecurangan UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani
mengungkapkan kebenaran demi tegaknya sebuah kejujuran yang bernilai mahal.
Kita harus menyadari bahwa tugas, pokok, dan fungsi guru sangatlah mulia. Bila
guru menyadari ini, guru tak akan pernah takut untuk dipecat meskipun dia bersuara
lantang. Hal yang harus dilakukan guru adalah tingkatkan terus
profesionalismenya dan didiklah anak bangsa dengan sepenuh hati dan
kedisiplinan tinggi.
Rezeki dari Tuhan Sang Maha Pemberi pasti akan selalu
mengalir deras ketika guru ikhlas dalam menjalankan tugas yang sangat mulia
ini. Rezeki itu datangnya dari Allah dan bukan dari pimpinan sekolah. Guru
harus mampu memberikan keteladanan di mana pun dia berada. Tak ada dikotomi
guru kota dan guru desa.
Perlu juga disadari, guru yang bersuara lantang menolak UN
belum bisa dikatakan guru yang hebat, kalau dia tak memiliki sifat jujur.
Namun, setidaknya, mereka sudah mampu berpikir keras dan memeras otaknya untuk
berpikir beda dengan kehendak dan kemauan pemerintah. Bila semua guru cuma diam
dan tak ada yang bersuara, apalagi kritis, pemerintah akan selalu berkata,“Guru
sudah setuju kok?”
Belajar dari Pohon
Para guru harus belajar dari falsafah pohon. Ada yang
bekerja menjadi akar, ada yang menjadi batang, ranting, cabang, dan daun,
sehingga menghasilkan buah yang segar bagi pohon pendidikan.
Prof Arif Rachman sering mengatakan kepada kami, para guru. ”Pohon
pendidikan itu berakar dari moral dan agama. Berbatang ilmu pengetahuan dan
teknologi, beranting amal perbuatan, berdaun tali silaturahim, dan berbuah
kebahagiaan.”
Ketika guru yang cerdas hanya diam, guru-guru pandir akan
menguasai dunia pendidikan. Mereka yang bersuara lantang tak bisa dikatakan
hebat, tetapi mereka yang cuma diam tak bisa juga dibilang hebat. Saatnya guru
berani bicara dan menulis di berbagai media. Tulisannya mengalir deras bagai
mata air yang turun ke bawah menghilangkan dahaga ilmu. Saya menjura hormat
kepada mereka. Saatnya guru bersuara lantang.
Wijaya Kusumah ;
Pendidik
dan Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi