'PAK, saya merasa lega sekarang dengan
keluarnya putusan MK soal RSBI. Itu artinya sekolah kita akan terlepas dari
belenggu label dan tuntutan sebagai sekolah internasional’. Demikian bunyi
short message service (SMS) salah seorang kepala sekolah kepada saya. Saya
balas, ‘Sejak kapan label membelenggu sekolah kita? Rasanya dengan atau tanpa
label internasional pun sekolah kita tetap jalan di atas prinsip dan visi yang
jelas dan terukur’. Dia pun menjawab cerdas, ‘Benar kata Bapak, sejak lama
sekolah kita memang berjalan di atas kesederhanaan berpikir seperti sering
Bapak ajarkan ke kami. Thanks, Pak’, imbuhnya mengakhiri dialog melalui SMS.
Penggalan dialog tersebut ingin
menggambarkan tidak semua sekolah sesungguhnya senang dengan label
internasional yang mereka sandang. Hanya karena kebijakan berkata lain,
beberapa sekolah negeri dan swasta rela dan bersedia menyandang label
internasional tanpa menghitung risiko psikologis dan pedagogis yang harus
ditanggung guru dan manajemen sekolah. Karena itu, keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang mengharuskan Kemendikbud menghapus program RSBI dan SBI
ditanggapi beragam, baik yang setuju maupun tidak setuju. Satu hal yang pasti
ialah label tertentu terhadap sekolah sangat bergantung pada bagaimana sekolah
memaknai sebutan tersebut dengan rumusan visi sekolah yang sehat.
Saya teringat pada penyebutan kata
‘unggulan’ ketika memulai operasional sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Para
pengurus Yayasan Sukma ketika itu memanjangkan kata Sukma menjadi ‘sekolah
unggulan kemanusiaan’. Namun saya berdalih, kata unggulan jelas akan membebani
pihak sekolah karena kita belum tahu bagaimana visi dan misi sekolah
disepakati, assessment for learning dilakukan, kurikulum dikembangkan, dan
proses belajar-mengajar dijalankan. Karena itu, akhirnya kita sepakat untuk
membiarkan kata ‘Sukma’ kembali ke habitat awalnya, yaitu roh atau spirit yang
akan mewadahi setiap gerak dan langkah sekolah.
Dari semangat itulah kemudian sekolah
Sukma Bangsa memilih untuk menjadi sekolah biasa, sekolah yang akan mengajarkan
kesederhanaan tentang hidup dan berpikir (plain living, plain thinking). Hal
itu tergambar dengan jelas dari visi-misi yang disepakati, yaitu keinginan
untuk membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi seluruh
komunitas sekolah, hubungan antarsiswa dengan siswa berlangsung harmonis, siswa
dengan guru saling menghargai, serta guru dengan manajemen sekolah saling
menghormati dan saling percaya.
Tak mudah memang meyakinkan semua pihak
bahwa sekolah haruslah menjadi fundamen yang kukuh tentang sikap jujur,
toleran, dan saling menghargai sebagai penanda kesederhanaan. Sebagai sebuah
pilihan, kesederhanaan dalam berpikir akan menuntun setiap guru dan siswa untuk
berpikir hal yang sama, yaitu mencari lembarlembar kesederhanaan secara bersama
dan melakukan kesepakatan untuk secara konsisten melaksanakannya. Dalam
terminologi Rick Weissbourd, “Most adults, including most teachers, don't see
themselves as engaged in their own moral growth.“ Karena itu, memberi teladan
dan membiasakan hal-hal kecil yang sederhana seperti mengucapkan terima kasih
kepada siswa dalam setiap akhir sesi belajar merupakan cara untuk meneguhkan
karakter anak melalui pembiasaan.
Sekolah yang memiliki distingsi dan
kesadaran luas tentang pendidikan pasti tak akan terpengaruh oleh status dan
label tertentu. Jika komunitas sekolah memiliki keinginan kuat untuk memberi
contoh dan teladan yang baik, muara dari pendidikan agama, moral, dan etika di
sekolah pasti akan menjelma menjadi semacam virtue (kebajikan) dalam diri seorang
anak. Filsafat pendidikan Aristotelian (1995) dengan jelas mengonfi rmasi, “The
most important thing to be learned is virtue or excellence of character, and
the only way that this can be learned is by witnessing exemplary members of
one’s community as they enact the virtues.” Karena itu, kita semua bertugas
untuk memastikan, separah apa pun kondisi sosial masyarakat dan negara,
pendidikan harus memiliki cara yang benar dalam mentransfer virtue ke dalam
relung hati anak didik kita.
Penting bagi sekolah untuk mempraktikkan
hal-hal kecil dan sederhana seperti mengucapkan kata maaf, terima kasih, dan
minta tolong, agar tercipta situasi saling menghargai (respect) satu sama lain.
Untuk mengukur tingkat kesederhanaan sekolah, lihatlah bagaimana sekolah menciptakan
level of responsibility. Jika di sebuah sekolah banyak sekali kasus bulliying,
praktik kekerasan, dan sejenisnya, dapat dipastikan sekolah tersebut berada
pada level nol karena tak ada perilaku bertanggung jawab. Situasi sekolah tidak
sehat karena di antara guru, siswa, dan orangtua begitu banyak beredar rumor
tentang kejelekan seseorang dan saling mengganggu satu sama lain.
Sebuah sekolah berada di level 1
menandakan level of responsibility hanya dilakukan sebagian kecil komunitas
sekolah. Di level 2, sekolah telah mencoba melakukan praktik bertanggung jawab,
tetapi selalu dalam posisi high alert karena baik siswa maupun guru baru
melakukannya jika diingatkan saja. Pada situasi tersebut, baik keteladanan
maupun praktik saling menghargai baru dirasa ada jika, misalnya, kepala sekolah
atau guru secara berulang kali selalu mengingatkan.
Sekolah dengan karakter yang baik berada
di level 3 dan 4. Di level 3 telah muncul kesadaran untuk bertanggung jawab
dari sebagian besar komunitas sekolah dan praktik saling menghargai serta
menghormati tecermin pada hampir seluruh siswa dan guru. Di level 4, suasana
sekolah tidak hanya lebih nyaman dan aman--setiap siswa dan guru secara sadar
selalu dalam posisi saling menghargai (respect) dan bertanggung jawab (responsible)
pada kewajiban masingmasing--tetapi juga tampak kerukunan dan kekompakan untuk
selalu saling membantu satu sama lain (help others). Terserah kita, mau pilih
sekolah internasional atau sekolah sederhana?
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi