Meski
dalam hal keberadaan unsur suatu kurikulum yang baik niscaya sudah bisa
dibilang lengkap—baik dari segi isi, proses, maupun evaluasi—kurikulum baru
yang sedang digodok saat ini masih perlu menjabarkan secara jelas dan lengkap
tujuan yang hendak dicapainya.
Memang,
selain aspek isi, proses, dan evaluasi, sebuah kurikulum yang baik perlu dengan
jernih merumuskan tujuannya agar tidak justru kehilangan perspektif. Tujuan ini
amat krusial untuk menempatkan semua unsur tersebut di tempatnya yang tepat dan
dalam suatu kesatuan sistemik yang saling mendukung dalam pencapaian tujuan
tersebut. Kekurangan ini pada gilirannya juga dapat mengakibatkan absennya
kerangka bagi para guru—pelaku utama penerapan kurikulum ini—untuk dapat
memahami dengan sebaik-baiknya dan seutuhnya konsep kurikulum ini.
Konkret dan Praktis
Sebenarnya,
tujuan besar (aims) seperti ini sudah tercantum dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, yakni: ”... agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Tampil dengan mencolok di sini bahwa
pengembangan sikap (attitude) atau watak (character) serta akhlak mulia (budi
pekerti) merupakan unsur sentral di dalamnya. Semua itu sepenuhnya terkait
dengan karakter dan moral pendidikan.
Pertanyaannya,
apa yang dimaksud dengan karakter/watak dan moral pendidikan? Karakter dan
nilai-nilai moral apa saja yang perlu dikembangkan dalam diri peserta didik?
Bagaimana caranya? Bagaimana juga ia dijabarkan secara praktis dalam kurikulum?
Selama
ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan suatu matriks
karakter yang hendak disasar dalam suatu pendidikan karakter (dan moralitas),
yang terdiri atas 18 unsur. Di sana terlihat masih terkesan kuat adanya
ketidakjernihan dalam memilah unsur karakter dan nilai moral yang dijadikan
sasaran.
Di
samping religiositas, kejujuran, toleransi, disiplin, cinta damai, tanggung
jawab, kepedulian sosial dan lingkungan, dan sebagainya, masuk juga
kreativitas, suka membaca, dan beberapa unsur lain yang mungkin tak amat tepat
dimasukkan sebagai karakter ataupun nilai moral. Selain itu, meski secara umum
telah mengenai sasaran—dengan memasukkan pembiasaan dan keteladanan lewat
budaya sekolah, pembiasaan di rumah, dan penyelenggaraan kegiatan
ekstrakurikuler—strategi mikro yang harus diterapkan di sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan karakter dan moral ini, khususnya dalam aspek
kegiatan ekstrakurikuler, masih terbatas pada modus-modus konvensional.
Sebutlah seperti kegiatan Pramuka, pembuatan karya tulis, olahraga, dan
sejenisnya.
Pentingnya
pengorientasian pendidikan karakter dan nilai moral kepada ranah afektif dan
psikomotorik menuntut pelibatan secara praktis dan langsung peserta didik ke
dalam berbagai kegiatan. Misalnya kegiatan penyantunan anggota masyarakat yang
membutuhkan uluran tangan mereka, aktivitas konkret pelestarian lingkungan,
dialog-dialog dan kegiatan bersama dengan berbagai unsur masyarakat yang
memiliki latar belakang yang berbeda, serta berbagai kegiatan lain yang melatih
pengembangan semangat cinta kasih dan pengorbanan.
Selain
itu, pemuatan pendidikan karakter dan moralitas ke dalam sekujur kegiatan
kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler secara integratif—bukan hanya dalam
pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn)—menjadi sangat penting.
Bahkan, ada perdebatan mengenai apakah pendidikan karakter atau pendidikan
moral perlu dijadikan mata pelajaran tersendiri. Kalaupun gagasan ini bisa
diterima, hendaknya ia tidak mengurangi kesadaran kita bahwa aspek kognitif
(pengetahuan) pendidikan karakter dan moralitas bukanlah satu-satunya. Bahkan,
bukan merupakan aspek terpenting darinya.
Pendidikan Agama
Oleh
karena itu, kita pun perlu meminta pemerintah mempertimbangkan kembali
penambahan jam pelajaran Agama menjadi 5 jam pelajaran. Pada kenyataannya,
selain untuk sekadar pengajaran unsur kognitif pendidikan karakter dan
moralitas, jam pelajaran yang dialokasikan untuk pelajaran Agama hanya
diperlukan untuk mengajarkan aspek-aspek agama yang memang membutuhkan modus
kegiatan belajar-mengajar yang bersifat klasikal, sedikit-banyak teoretis,
ataupun sebatas materi-materi hafalan tertentu, seperti tata cara ibadah
praktis dan hafalan bagian-bagian kitab suci.
Ini
pun, lagi-lagi, perlu didukung kesadaran bahwa strategi pengajaran mesti tetap
bersifat konkret dan praktis ketimbang teoretis. Demikian pula evaluasinya
harus lebih bersifat otentik, yakni benar-benar mengevaluasi penguasaan
kompetensi, yang konkret dan praktis itu, ketimbang melalui jenis-jenis
evaluasi akademik dan teoretis seperti sekarang.
Mengingat
sumber daya mayoritas guru Agama masih perlu banyak peningkatan, baik dalam hal
sikap, pengetahuan, maupun keterampilan mengajar—khususnya di daerah-daerah
yang jauh dari kota-kota besar dan di sekolah-sekolah dengan sumber daya minim,
yang masih banyak terserak di negeri ini—penambahan jam pelajaran Agama
dikhawatirkan justru diisi hal-hal yang menjadikan kesadaran keberagamaan siswa
melulu bersifat legal-formalistik. Karena itu, cenderung sempit dan intoleran:
termasuk perdebatan fikih dan teologis yang eksklusif, mungkin juga
materi-materi sejarah Nabi yang berorientasi kisah peperangan, dan sebagainya.
Pendidikan Estetika
Tidak
kalah penting, pendidikan karakter (khususnya pendidikan budi pekerti) dapat
diselenggarakan dengan baik melalui pendidikan seni (estetika). Pada
kenyataannya, selain sebagai sarana menciptakan kesehatan pikiran dan jiwa,
serta mengembangkan daya imajinatif dan kreativitas, pendidikan estetika adalah
sarana yang sangat efektif untuk menanamkan karakter dan moralitas. Hal ini
dimungkinkan berkat kemampuan pendidikan estetika melahirkan kelembutan hati
dan ketenangan jiwa melalui apresiasi terhadap keindahan.
Alhasil,
jangan sampai niat baik pengembangan pendidikan keagamaan, termasuk pendidikan
karakter dan moralitas, dirancang atas dorongan semangat kesalehan yang salah
tempat (misplaced pietism), apalagi salah guna (misused), sehingga malah
melahirkan karakter yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan karakter
itu sendiri.
Haidar Bagir ;
Pendidik dan Pengajar
Filsafat
KOMPAS, 09 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi