DUNIA pendidikan mendapat kado istimewa
pada 2013. Telah disusun kurikulum 2013 untuk menggantikan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) 2006. Kendati belum dilaksanakan secara menyeluruh di
wilayah Indonesia--baru diujicobakan di beberapa kota tertentu--itu tak ayal
telah cukup membuat wacana perubahan kurikulum menjadi buah bibir di
masyarakat.
Pada intinya, konsep dan tujuan
kurikulum 2013 tidak berbeda banyak dengan kurikulum sebelumnya, masih
menekankan integrasi pencapaian aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap),
dan psikomotorik (keterampilan). Bukankah kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
2004 dan KTSP juga demikian?
Akan tetapi, anekdot `ganti menteri,
ganti kurikulum' belum juga lenyap dari birokrasi pendidikan di Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang seperti mengejar
target, terutama ketika institusi itu kembali terintegrasi dengan kebudayaan.
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya
pada transfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga meliputi pembudayaan
dan pemberadaban masyarakat yang diterjemahkan ke dalam pendidikan karakter.
Dengan mengacu ke hal tersebut, pendidikan semakin sarat dengan tuntutan yang
bersifat holistis. Output (hasil) pendidikan mencakup penyiapan mental dan
keteram pilan untuk dapat mengarungi lautan kehidupan.
Bagi yang optimistis dengan kurikulum
2013, harapan muncul karena di kurikulum tersebut ada penggabungan mata
pelajaran di tingkat dasar.
Harapan itu membuncah ketika fenomena
siswa di sekolah dasar yang terlalu dipenuhi beban pelajaran tidak akan ditemui
lagi. Untuk mereka yang skeptis, kurikulum 2013 akan sama nasibnya dengan
kurikulum sebelumnya, yang secara konsep bagus tetapi rapuh di tataran
praksisnya. Itu disebabkan kurikulum yang berubah, dengan penekanan pada aspek
afektif dan psikomotorik, tidak diimbangi kemampuan guru yang dapat
mengaplikasikan kurikulum dengan baik. Guru menjadi `kambing hitam' dari
permasalahan pendidikan yang kian runyam.
Perubahan
Elementer
Perubahan paling elementer pada
kurikulum 2013 ialah pelajaran yang sebelumnya berjumlah 10 akan dikurangi
menjadi 6 di SD. IPA akan dimasukkan ke pelajaran matematika, bahasa Indonesia,
dll. Pelajaran IPS akan dimasukkan ke pelajaran PPKn, bahasa Indonesia, dll.
Masalah muncul karena mindset kita dipengaruhi paradigma `ilmu yang
terfaksionalisasi' bahwa IPA merupakan bagian dari ilmu eksak dan IPS bagian
dari ilmu sosial-humaniora. Lalu meluas saat penjurusan di SMA, pandangan
sarkastis muncul dengan menganggap anak jurusan IPA lebih pintar dari pada anak
IPS yang dicap d jurusan r anakanak buangan.
Pada poin keenam dalam draf bahan uji
kurikulum 2013, terdapat kalimat yang jika dipahami secara saksama, muncul
ambiguitas. Pertama, menempatkan IPA dan IPS... bukan disiplin ilmu, melainkan
untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dengan
alam secara bertanggung jawab. Kesannya justru yang kedua (membentuk sikap
ilmuwan) bertolak belakang dengan yang pertama (bukan disiplin ilmu). Bagaimana
bisa sesuatu yang kognitif (bukan disiplin ilmu) diarahkan untuk mempunyai
kompetensi afeksi dan psikomotorik secara bersamaan? Padahal, untuk sampai pada
afeksi dan psikomotorik, butuh proses yang cukup panjang.
Ketika IPA dan IPS dimasukkan ke bahasa
Indonesia, misalnya, bagaimana menyampaikannya? Bisa jadi bahasa Indonesia akan
dikorbankan karena materinya berisi masalah-masalah IPA dan IPS. Padahal,
bahasa Indonesia sangat penting untuk mendidik siswa agar memiliki keterampilan
berbahasa yang baik, utamanya menulis. Jika IPA yang dikorbankan, itu dapat
membuat IPA hanya menjadi pelajaran kognitif. IPA bukan hanya tipikal pelajaran
yang bersifat kognitif. IPA diharapkan mendorong anak didik untuk mencintai
alam, memahami makhluk hidup, mengamati organ-organ makhluk hidup bekerja,
misalnya. Lalu dari mencintai IPA, anak didik akan tertarik untuk meneliti
fenomena alam.
Sementara itu, dalam elemen perubahan
proses pembelajaran, sebagai manifestasi dari perwujudan keteram pilan, anak
didik di SD, SMP, SMA, dan SMK diarahkan untuk mencipta (kreasi). Proses itu
memunculkan pertanyaan mendasar, apa yang mesti dicipta anak didik? Dalam pelajaran
ilmu eksak, menciptakan benda yang konkret bisa saja dilakukan. Atau dalam
bahasa Indonesia, siswa bisa diarahkan agar berhasil membuat karya sastra
(puisi, cerpen, novelet, esai) atau makalah sebagai elemen penilaian. Untuk
penciptaan mata pelajaran rumpun sosial dan humaniora, hal itu akan menjadi
rumit karena berkaitan dengan sesuatu yang abstrak.
Restorasi
Pendidikan
Kurikulum memang mesti terus berubah
seiring dengan perkembangan zaman. Menihilkan peran kurikulum sama saja dengan
membiarkan pendidikan nasional berjalan tanpa arah. Namun, mengubah kurikulum
tanpa upaya membudayakan peserta didik untuk senang belajar akan sama saja
hasilnya: nihil. Membudayakan peserta didik merupakan proyek pendidikan
karakter, yakni bagaimana pendidikan dapat membentuk anak yang jujur, kreatif,
bertanggung jawab, percaya diri, cinta tanah air, dan memiliki sikap-sikap
positif lainnya. Sikap-sikap itulah yang oleh kalangan idealis pendidikan
diyakini sebagai tujuan utama pendidikan.
Harus diakui, masih banyak anak didik
seperti tidak memiliki semangat belajar. Selain rendahnya minat baca sebagai
sumber pengetahuan, siswa seperti enggan belajar karena mereka belajar sesuatu
yang tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu, seperti doktrin
jurnalisme berita, akan berpotensi dibaca jika pembaca memiliki kedekatan
(geografis, psikologis, dan minat) pada berita. Pun dengan pendidikan, anak
lebih mungkin tertarik jika mereka belajar apa yang dekat pada mereka.
Ada diktum yang menarik, seseorang akan
senang belajar jika suatu pelajaran disampaikan dengan menyenangkan.
Menyenangkan ialah frasa yang bersifat abstrak dan relatif. Namun, indikatornya
jelas bisa diamati, contohnya siswa memperhatikan penjelasan guru, tidak
mengantuk di kelas, dan rajin bertanya untuk lebih tahu tentang materi
pelajaran. Jika sesuatu berlangsung menyenangkan, pencapaian tujuan pendidikan
akan lebih mudah.
Mayling Oey-Gardiner (Kompas, 28/11)
menulis artikel tentang liberal arts sebagai roh pendidikan di Amerika Serikat.
Liberal arts merupakan model pendidikan dengan bekal dan fondasi luas pada
berbagai ilmu dasar diberikan secara baik. Harapannya ialah untuk membentuk
lulusan yang menguasai berbagai bidang ilmu dengan sama baiknya. Itu sebetulnya
sudah muncul ratusan tahun lalu ketika banyak filsuf sekaligus ahli ilmu pasti.
Ibnu Sina ialah dokter sekaligus filsuf. Rene Descartes dikenal sebagai
matematikawan yang juga filsuf. Penggabungan IPA dan IPS ke pelajaran lainnya
ditakutkan justru mendang kalkan siswa. Restorasi pendidikan meru pakan upaya
untuk mene mukan kem bali semangat belajar siswa dan guru se kaligus. Kuri
kulum baru diharapkan dapat men dorong siswa untuk menjadi manusia yang EBET
sempurna. Paradigma bahwa guru kini lebih dipahami sebagai profesi murni yang
tak berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan akibat kompensasi ekonomi yang
menggiurkan laik dikikis untuk mengembalikan tugas guru yang berperan mendidik.
Implementasi
Banyak guru gagap membaca panduan
kurikulum sehingga berdampak pada metode mengajar yang masih sama. Model
ceramah di kelas masih menjadi favorit para guru karena tidak perlu repotrepot
menyiapkan bahan ajar dan alat pendukung pengajaran. Jika itu dilaksanakan di
luar kelas, guru akan lebih sulit mengendalikan perilaku anak didik yang
perhatiannya rawan terbelah oleh hal lain.
Di masa mendatang, anak didik akan
menghadapi problem hidup yang kian kompleks. Tantangan ke dalam, bagaimana
manusia Indonesia tetap memiliki karakter yang khas Indonesia sebagai bagian
pengembangan soft skill. Identitas keindonesiaan menjadi sedemikian penting
untuk ditampilkan sebagai nilai tawar dalam rangka perjuangan hidup, baik
individu maupun sebagai bangsa. Adapun hard skill diperlukan lebih sebagai alat
untuk mendapatkan pekerjaan.
Tantangan keluar ialah dengan menyiapkan
anak didik untuk siap menghadapi percaturan internasional. Globalisasi yang
menjadi narasi saat ini menuntut anak-anak Indonesia mampu berkiprah di dunia
internasional. Selain penguasaan bahasa yang banyak dipakai di dunia (misalnya
Inggris, Arab, dan Mandarin), penguasaan hard skill tertentu mutlak dimiliki
siswa.
Sebetulnya yang menjadi titik tekan
ialah bagaimana kita memiliki guru yang berkualitas, yang punya kecerdasan
karakter, sekaligus guru yang terampil. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013
ini, hal itu telah diantisipasi dengan pelatihan guru dan tenaga kependidikan.
Alat yang dipakai untuk mengukur itu lagilagi masih memakai ukuran
administratif, yang masih berjarak dengan kompetensi mengajar dan mendidik.
Maka, pelatihan (training) guru harus
dimaksimalkan untuk mengarahkan guru agar dapat menangkap maksud kurikulum baru
dan selanjutnya merumuskan tindakan apa yang tepat diberikan kepada siswa. Itu
akan menjadi kunci sementara agar kurikulum 2013 dapat berjalan efektif dengan
meminimalkan kegagalan. Pun dalam waktu jangka panjang, perbaikan kualitas
pendidikan tidak bisa ditanggung kemendikbud saja. Ada tanggung jawab
berjejaring yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah, stakeholder, ataupun
masyarakat sipil.
Junaedi
Abdul Munif ;
Direktur
Wahid Center Universitas Wahid Hasyim
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi