Pemerintah untuk kesekian
kalinya melakukan perubahan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk menghadapi
tuntutan zaman, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selain itu, misi jangka panjangnya adalah menyiapkan generasi emas
2045.
Pada beberapa tahun mendatang,
Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jika dapat mengelolanya dengan baik
tentu jumlah penduduk yang melimpuh akan menyokong pertumbuhan ekonomi negara.
Sebaliknya jika buruk pengelolaannya, maka malah akan menjadi beban negara
untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya.
Menurut data, kini komposisi
penduduk menempatkan usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan
lansia. Rinciannya, kelompok usia 0-9 tahun berjumlah 45,93 juta, 10-19 tahun
berjumlah 43,55 juta. Pada 2045, mereka yang berusia 0-9 tahun akan berusia
35-45 tahun, sedangkan mereka yang berumur 10-19 tahun akan berusia 45-54
tahun.
Untuk memoles sumber daya
manusia (SDM) yang melimpah ruah inilah dibutuhkan proses pendidikan yang baik.
Inilah salah satu alasan mengapa kurikulum pendidikan nasional kini mengalami
perubahan. Organ pendidikan yang menjadi pedoman adalah kurikulum. Sebab,
kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Sebelum membuat
perencanaan kurikulum baru perlu dilakukan evaluasi kurikulum.
Para ahli menjabarkan tujuan
evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kurikulum di satuan
pendidikan diperlukan evaluasi kurikulum. Menurut Oemar Hamalik (2006),
evaluasi kurikulum adalah proses pembuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat
kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat
keputusan mengenai suatu kurikulum.
Perspektif lainnya diungkapkan
Mohamad Ali (1985), evaluasi kurikulum sebenarnya bukan hanya semata-mata
dilakukan terhadap salah satu komponen saja, melainkan terhadap seluruh
komponen, baik tujuan, bahan, organisasi, metode, maupun proses evaluasi itu
sendiri.
Definisi berikutnya
disampaikan Ralph Tyler (2005) bahwa evaluasi kurikulum adalah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa dan bagaimana
tujuan pendidikan sudah tercapai. Cronbach dan Stufflebeam (2005) menambahkan,
evaluasi tidak sekadar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi juga
digunakan untuk membuat keputusan, sehingga evaluasi kurikulum adalah mengukur
sejauh mana ketercapaian kurikulum yang dibuat dengan data-data yang telah
dikumpulkan. Ada beberapa isu krusial pada Kurikulum 2013 yang masih
problematik. Salah satunya mengenai integratif science mata pelajaran IPA dan
IPS.
Setelah mengkaji identifikasi
masalah pada uji publik Kurikulum 2013 dan berdiskusi dengan beberapa tokoh dan
pakar pendidikan, penulis mengkritisi dengan beberapa argumentasi untuk
masukan.
Pertama, Pemerintah menawarkan
3 alternatif untuk struktur kurikulum SD. Alternatif pertama mata pelajaran IPA
dan IPS ditiadakan sebagai disiplin ilmu (bahasa Pak Nuh diintegrasikan).
Sedangkan alternatif kedua dan
ketiga masih diadakan. Pusaka Pendidikan bersikap, mata pelajaran IPA dan IPS
tetap penting diberikan untuk siswa SD sebagai disiplin ilmu tersendiri bukan
diintegrasikan. Kedua varian pengetahuan di atas penting sebagai pijakan bagi
siswa untuk mengenal dan mempelajari fenomena alam sekitar dan mempelajari ilmu
sosial serta humaniora sebagai bekal untuk mengetahui norma sosial, adat
istiadat, dan interaksi sosial.
Secara teoritis anak SD kelas
IV-VI sudah dapat menalar kedua mata pelajaran di muka. Menurut Jean Piaget,
teori kognitif manusia dibagi menjadi empat: stadium sensori motorik (0-18 atau
24 bulan), stadium pra operasional (18/24 bulan - 7 tahun), stadium operasional
konkrit (7-11 tahun), stadium operasional formal (11 tahun ke atas).
Stadium operasional formal
berusia 11 tahun atau setara kelas IV-VI. Cara berfikirnya tidak terikat atau
terlepas dari tempat dan waktu. Artinya, pada usia ini anak mampu berfikir
konsep dan abstrak seperti yang terkandung dalam mapel IPA dan IPS. Jadi secara
usia anak, mereka mampu menerima.
Selain itu, jika pemerintah
tetap menghapus IPA dan IPS di jenjang SD, secara yuridis melanggar konstitusi
Pasal 37 ayat 1 (e) dan (f) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang berbunyi, "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
...(e) ilmu pengetahuan alam dan (f) ilmu pengetahuan sosial." an PP Nomor
19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bab III bagian kedua kerangka
dasar dan struktur kurikulum pasal 6 ayat 1. Jika Kemendikbud bersikeras untuk
menghapus, boleh jadi akan berpotensi digugat melalui judicial review.
Seyogianya mata pelajaran IPA
dan IPS untuk jenjang SD-SMP tetap harus dijadikan disiplin ilmu tersendiri
bukan tematik, integrative science, dan integrative social studies. Karena,
paradigma keilmuannya dan standar kompetensinya berbeda sehingga membutuhkan
pendalaman dengan sudut pandang belajar dengan mata pelajaran tersebut bukan
mata pelajaran lain. Penggabungan ini berpotensi menggerus standar kompetensi
mata pelajaran pasangannya, karena arah pengajarannya tidak fokus.
Di termin lain, disiplin ilmu
IPA dan IPS di jenjang SMP dapat dijadikan fondasi untuk mengambil salah satu
jurusan di SMA. Meskipun wacananya penjurusan di SMA akan dihapus, tetapi
menurut penulis, penjurusan tersebut penting dan harus tetap ada sebagai pijakan
keilmuan untuk mengambil konsentransi jurusan ketika di perguruan tinggi.
Bagaimanapun, kepakaran dan
spesifikasi keilmuan sangat penting. Karena, ke depan peserta didik dituntut
mempunyai kecerdasan sesuai dengan kepakaran, bakat, dan minatnya.
Vivit Nur Arista Putra ;
Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan UNY
SUARA KARYA, 02 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi