INDONESIA dikenal sebagai bangsa
yang kaya akan keberagaman suku, bangsa, budaya, bahasa, agama, dan sebagainya.
Kekayaan multikultural itu mestinya menjadi aset bagi pembangunan bangsa.
Sayangnya, kemajemukan justru lebih sering diwarnai hiruk-pikuk konflik dan
dilumuri tetesan darah anak bangsa.
Benar, sepanjang sejarah bangsa
ini, konflik multikultural yang berlatar ras, etnik, ekonomi, agama, sosial, dan
politik kerap terjadi di Indonesia, terutama dalam 10 tahun terakhir. Konflik
multikultural itu tidak hanya telah mencederai kemerdekaan, nilai-nilai
keadilan, persamaan martabat, hak hidup bebas, hak menyembah beda Tuhan, dan
sebagainya. Iklim saling curiga, syak wasangka, ketidakpercayaan, kemarahan,
dan kekecewaan lebih sering membalut di samping derita politik yang tidak ada
habisnya.
Pada kondisi demikian, pendidikan
hak asasi manusia (HAM) mendesak untuk dihidupkan lagi. Pertanyaannya kemudian,
apa yang dimaksud dengan pendidikan HAM? Bagaimana strategi implementasinya di
sekolah?
HAM merupakan hak yang dimiliki
dan diperoleh semenjak manusia terlahir ke dunia (given). Hak tersebut bersifat
asasi, umum (universal), dan dimiliki setiap manusia tanpa mengindahkan
perbedaan kelamin, status sosial, agama, harta benda, dan sebagainya.
Berdasarkan konsep HAM itu, setiap manusia berhak mengembangkan cita-cita,
bakat (potensi), dan kemampuan yang dimiliknya.
Kesepakatan universal tentang
nilai-nilai HAM mulanya tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Momentum
itulah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Selanjutnya, PBB
melalui Dewan HAM menginstruksikan kepada negara-negara anggota untuk
menegakkan HAM warga mereka tanpa pandang bulu.
Upaya penegakan HAM selanjutnya
mendapat dukungan penuh dari negara-negara penganut demokrasi yang kebetulan
telah memiliki pemerintahan maju dan kondusif. Inggris, misalnya, diterima
parlemen pada 1968 dengan perjuangan Bill of Rights mereka. Prancis juga
melakukan upaya yang sama dengan Declaration des Droits de I’homme et du
Citoyen (Pernyataan Hak Asasi dan Warga Negara) pada 1789.
HAM
Pendidikan
Di Indonesia, upaya penegakan HAM
tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU itu disebutkan,
setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya
agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak
mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Berdasarkan kedua UU itu, tugas
negara ialah melindungi, memberikan kesempatan, dan memfasilitasi hak asasi
pendidikan atas warganya. Pendek kata, setiap orang berhak mendapat pendidikan.
Pendidikan harus gratis, setidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan
dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan harus ditujukan ke arah
perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkukuh rasa penghargaan terhadap
hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
HAM pendidikan mestinya tidak
saja dilihat dari sisi kualitas, tetapi juga akses terbuka dengan mudah dan
murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selama ini hanya golongan
berada yang mampu mengenyam pendidikan, sedangkan masyarakat miskin hanya mampu
melihat dari luar. Fenomena demikian sering kita tonton dalam berbagai film
layar kaca; rakyat miskin hanya mampu berpikir bagaimana bisa bertahan hidup,
bukan bagaimana bisa sekolah apalagi kuliah. Pendidikan, dengan meminjam
istilah Denny Ardiansyah (2009), telah menjelma menjadi barang `amat mewah
(luks)' yang hanya bisa dinikmati kaum berduit. Seakan di setiap pintu sekolah
atau kampus kita tertempel kalimat, `Hanya untuk orang kaya!'
Rendahnya ketersediaan akses itu
memicu terampasnya HAM pendidikan masyarakat miskin. Padahal, pendidikan
merupakan aset penting sebuah bangsa. Pendidikan berkualitas akan serta-merta
melahirkan kemajuan dan peradaban bangsa. Sebaliknya, pendidikan yang buruk
akan berimplikasi negatif bagi jalannya roda pemerintahan dan ketersediaan
partisipasi publik yang cerdas.
Dihidupkan
Lagi?
Di sisi lain, kesadaran generasi
muda khususnya peserta didik akan HAM perlu lebih ditingkatkan lagi. Benar
selama ini pengetahuan tentang HAM sudah tersosialisasi lewat pelajaran PKn
atau tayangan di media massa. Namun, hal itu belum cukup memberikan pencerahan
bagi siswa akan urgensi HAM. Pengetahuan akan HAM yang baik hanya bisa didapat
optimal melalui pendidikan di sekolah. Pengetahuan akan HAM yang memadai akan
menimbulkan kesa daran peserta didik terhadap hak-hak mereka, orang lain,
masyarakat, dan bangsa.
Sebenarnya, pada 2006 lalu
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menerbitkan buku pendidikan
berbasis HAM. Pendidikan berbasis HAM menjadi penting bagi negara kita yang
memiliki pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnik,
dan minim toleransi terhadap perbedaan.
Sayangnya, pendidikan HAM belum
menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah kita. Akibatnya, pendidikan HAM
seperti kehilangan gaungnya lagi lantaran tertutupi oleh kebijakan-kebijakan
baru di bidang pendidikan.
Pendidikan HAM (human rights
education), menurut Ministry of Education (MoE) Taiwan (2003), ialah mendidik
setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat
menghargai hak-hak orang lain. Sang individu diharapkan dapat membangun sebuah
budaya HAM dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, politik masyarakatnya,
serta mengarahkan pembangunan tersebut ke keadilan.
Pendapat lain menyebutkan
pendidikan HAM merupakan sebuah human rights learning, yaitu suatu proses untuk
memodifikasi pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui
pengalaman, praktik, dan latihan-latihan. Adapun pendidikan merupakan proses
belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah; atau
dalam arti luas merupakan proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang
telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Pimple, 2005).
Pendekatan yang digunakan dalam
pembelajaran HAM mengacu ke pedagogi kritis dan transformatif. Pedagogi kritis,
tulis Tilaar (2005), ialah pendekatan pendidikan yang melihat masyarakat,
pendidikan, atau persekolahan sebagai sebuah arena-arena tempat berlangsungnya
kontestasi kekuasaan dan kontrol.
Kendati tidak bersifat netral
dalam kontestasi tersebut, pedagogi kritis mempunyai komitmen untuk
memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan.
Dalam kaitan tersebut, pedagogi kritis ialah pedagogi transformatif yang
bertujuan mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo
dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan.
Mengacu ke pedagogi kritis
sebagaimana diuraikan, maka sasaran pendidikan ataupun pembelajaran HAM ialah
pada transformasi sosial, baik pada level individu maupun kelompok.
Transformasi di sini mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan, keterampilan,
sikap, perspektif, dan kesadaran diri (Heru Susetyo, 2009). Adapun nilai dan
prinsip dasar yang mendasari pendidikan HAM antara lain persamaan, keadilan,
kemerdekaan, martabat manusia, universalitas, inalienability (tak dapat
dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan), dan nondiskriminasi.
Implementasi pendidikan HAM di
sekolah, sebagaimana pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi, dapat
dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya: 1) terintegrasi dalam pembelajaran
dan 2) terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Pendidikan HAM yang terintegrasi
dalam proses pembelajaran berarti pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai HAM ke dalam
tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung
di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian,
kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk
menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi
nilainilai HAM dan menjadikannya perilaku. Adapun pendidikan HAM yang
terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri berarti berbagai hal terkait
dengan HAM diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan
ekstrakurikuler seperti keagamaan, seni budaya, KIR, dan kepramukaan.
Dalam struktur kurikulum di
sekolah kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pendidikan
HAM, yaitu pendidikan agama dan PKn. Selain itu, integrasi pendidikan HAM pada
mata-mata pelajaran, selain pendidikan agama dan PKn yang dimaksud, lebih
kepada memfasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku
sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian. Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahanbahan
ajar tetap diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan
atau diutamakan ialah penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan
di dalam proses pembelajaran.
Para guru sebagai aktor utama
pembelajaran harus lebih mendalami hal-hal terkait dengan HAM. Tujuannya agar
mereka lebih paham mengenai HAM serta bisa merancang model pembelajaran HAM yang
menarik dan tidak menjemukan. Sudah saatnya pendidikan HAM dihidupkan lagi di
sekolah-sekolah kita. Kita berharap generasi muda mendatang tidak gagap akan
HAM sehingga apa yang menjadi hak mereka tidak terampas begitu saja oleh
penguasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga.
Agus
Wibowo ;
Pemerhati
Pendidikan Tinggal di Yogyakarta
MEDIA
INDONESIA, 04 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi