Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan

Memberantas Buta Aksara

Tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Sedunia. Peringatan ini bagi bangsa Indonesia sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia. Buta aksara sangat berpengaruh atas Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.
Angka buta aksara di Indonesia, menurut Kementerian Pendidikan Nasional, masih tinggi, yakni 4,8 persen dari jumlah penduduk. Itu setara dengan 8,5 juta jiwa. Tentu saja permasalahan itu memerlukan penanganan khusus berupa pemberantasan buta huruf. Perlu penanganan khusus karena selain jumlahnya masih banyak, juga 60 persen dari 8,5 juta jiwa tersebut adalah kaum perempuan. Saat ini ada 10 provinsi dengan tingkat buta huruf tinggi hingga di atas 10 persen. Provinsi itu, antara lain Papua, NTT, NTB dan Jabar serta Sulsel. (Kemendiknas: 2011)
Data ini menjadi fakta untuk membangun harapan akan optimisme merealisasikan pemberantsan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait problem buta aksara yang dicanangkan pemerintah tidak ada jaminan bahwa mereka akan melek aksara terus, karena terkait berbagai hal, sangat mungkin akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Kemendiknas sendiri. Artinya, perlu kerangka kebijakan sistematis dan berkelanjutan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal.
Pertama, mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan seringkali menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap tidak penting lagi melek atau buta aksara. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.
Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang kemudian dipahami secara kodrati, sehingga upaya dan usaha pemberatasan aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan, karena melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.
Ketiga, paradigma berfikir yang kalut membuat mereka tidak mempunyai motivasi belajar tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka karena menganggap sudah terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Ini bukan saja melanda mereka yang masih buta aksara. Mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar dan tradisi membaca. Belajar dan membaca seringkali dianggap sesuatu yang aneh, dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan.
Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam hak pemberantasan buat aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Perlu dibongkar kesadaran semu tersebut, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.
Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama dalam konteks bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat. Kerja sama bisa digunakan dalam realisasi tersebut. Kalau selama ini su-dah dilakukan, maka upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama ini akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok tersebut. Taruhlah, misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajeg dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih juga dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.
Ketiga, program ini diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam mencipta masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius, sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.
Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan hari aksara sedunia menjadi cacatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban.

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   
Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 September 2013




Selengkapnya.. »»  

Pendidikan Hak Asasi Manusia


INDONESIA dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman suku, bangsa, budaya, bahasa, agama, dan sebagainya. Kekayaan multikultural itu mestinya menjadi aset bagi pembangunan bangsa. Sayangnya, kemajemukan justru lebih sering diwarnai hiruk-pikuk konflik dan dilumuri tetesan darah anak bangsa.

Benar, sepanjang sejarah bangsa ini, konflik multikultural yang berlatar ras, etnik, ekonomi, agama, sosial, dan politik kerap terjadi di Indonesia, terutama dalam 10 tahun terakhir. Konflik multikultural itu tidak hanya telah mencederai kemerdekaan, nilai-nilai keadilan, persamaan martabat, hak hidup bebas, hak menyembah beda Tuhan, dan sebagainya. Iklim saling curiga, syak wasangka, ketidakpercayaan, kemarahan, dan kekecewaan lebih sering membalut di samping derita politik yang tidak ada habisnya.

Pada kondisi demikian, pendidikan hak asasi manusia (HAM) mendesak untuk dihidupkan lagi. Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan pendidikan HAM? Bagaimana strategi implementasinya di sekolah?

HAM merupakan hak yang dimiliki dan diperoleh semenjak manusia terlahir ke dunia (given). Hak tersebut bersifat asasi, umum (universal), dan dimiliki setiap manusia tanpa mengindahkan perbedaan kelamin, status sosial, agama, harta benda, dan sebagainya. Berdasarkan konsep HAM itu, setiap manusia berhak mengembangkan cita-cita, bakat (potensi), dan kemampuan yang dimiliknya.

Kesepakatan universal tentang nilai-nilai HAM mulanya tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Momentum itulah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Selanjutnya, PBB melalui Dewan HAM menginstruksikan kepada negara-negara anggota untuk menegakkan HAM warga mereka tanpa pandang bulu.

Upaya penegakan HAM selanjutnya mendapat dukungan penuh dari negara-negara penganut demokrasi yang kebetulan telah memiliki pemerintahan maju dan kondusif. Inggris, misalnya, diterima parlemen pada 1968 dengan perjuangan Bill of Rights mereka. Prancis juga melakukan upaya yang sama dengan Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen (Pernyataan Hak Asasi dan Warga Negara) pada 1789.

HAM Pendidikan
Di Indonesia, upaya penegakan HAM tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU itu disebutkan, setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Berdasarkan kedua UU itu, tugas negara ialah melindungi, memberikan kesempatan, dan memfasilitasi hak asasi pendidikan atas warganya. Pendek kata, setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.

HAM pendidikan mestinya tidak saja dilihat dari sisi kualitas, tetapi juga akses terbuka dengan mudah dan murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selama ini hanya golongan berada yang mampu mengenyam pendidikan, sedangkan masyarakat miskin hanya mampu melihat dari luar. Fenomena demikian sering kita tonton dalam berbagai film layar kaca; rakyat miskin hanya mampu berpikir bagaimana bisa bertahan hidup, bukan bagaimana bisa sekolah apalagi kuliah. Pendidikan, dengan meminjam istilah Denny Ardiansyah (2009), telah menjelma menjadi barang `amat mewah (luks)' yang hanya bisa dinikmati kaum berduit. Seakan di setiap pintu sekolah atau kampus kita tertempel kalimat, `Hanya untuk orang kaya!'

Rendahnya ketersediaan akses itu memicu terampasnya HAM pendidikan masyarakat miskin. Padahal, pendidikan merupakan aset penting sebuah bangsa. Pendidikan berkualitas akan serta-merta melahirkan kemajuan dan peradaban bangsa. Sebaliknya, pendidikan yang buruk akan berimplikasi negatif bagi jalannya roda pemerintahan dan ketersediaan partisipasi publik yang cerdas.

Dihidupkan Lagi?

Di sisi lain, kesadaran generasi muda khususnya peserta didik akan HAM perlu lebih ditingkatkan lagi. Benar selama ini pengetahuan tentang HAM sudah tersosialisasi lewat pelajaran PKn atau tayangan di media massa. Namun, hal itu belum cukup memberikan pencerahan bagi siswa akan urgensi HAM. Pengetahuan akan HAM yang baik hanya bisa didapat optimal melalui pendidikan di sekolah. Pengetahuan akan HAM yang memadai akan menimbulkan kesa daran peserta didik terhadap hak-hak mereka, orang lain, masyarakat, dan bangsa.

Sebenarnya, pada 2006 lalu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menerbitkan buku pendidikan berbasis HAM. Pendidikan berbasis HAM menjadi penting bagi negara kita yang memiliki pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnik, dan minim toleransi terhadap perbedaan.

Sayangnya, pendidikan HAM belum menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah kita. Akibatnya, pendidikan HAM seperti kehilangan gaungnya lagi lantaran tertutupi oleh kebijakan-kebijakan baru di bidang pendidikan.

Pendidikan HAM (human rights education), menurut Ministry of Education (MoE) Taiwan (2003), ialah mendidik setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat menghargai hak-hak orang lain. Sang individu diharapkan dapat membangun sebuah budaya HAM dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, politik masyarakatnya, serta mengarahkan pembangunan tersebut ke keadilan.

Pendapat lain menyebutkan pendidikan HAM merupakan sebuah human rights learning, yaitu suatu proses untuk memodifikasi pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui pengalaman, praktik, dan latihan-latihan. Adapun pendidikan merupakan proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah; atau dalam arti luas merupakan proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Pimple, 2005).

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran HAM mengacu ke pedagogi kritis dan transformatif. Pedagogi kritis, tulis Tilaar (2005), ialah pendekatan pendidikan yang melihat masyarakat, pendidikan, atau persekolahan sebagai sebuah arena-arena tempat berlangsungnya kontestasi kekuasaan dan kontrol.

Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, pedagogi kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam kaitan tersebut, pedagogi kritis ialah pedagogi transformatif yang bertujuan mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan.

Mengacu ke pedagogi kritis sebagaimana diuraikan, maka sasaran pendidikan ataupun pembelajaran HAM ialah pada transformasi sosial, baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, perspektif, dan kesadaran diri (Heru Susetyo, 2009). Adapun nilai dan prinsip dasar yang mendasari pendidikan HAM antara lain persamaan, keadilan, kemerdekaan, martabat manusia, universalitas, inalienability (tak dapat dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan), dan nondiskriminasi.

Implementasi pendidikan HAM di sekolah, sebagaimana pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi, dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya: 1) terintegrasi dalam pembelajaran dan 2) terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Pendidikan HAM yang terintegrasi dalam proses pembelajaran berarti pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai HAM ke dalam tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilainilai HAM dan menjadikannya perilaku. Adapun pendidikan HAM yang terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri berarti berbagai hal terkait dengan HAM diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti keagamaan, seni budaya, KIR, dan kepramukaan.

Dalam struktur kurikulum di sekolah kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pendidikan HAM, yaitu pendidikan agama dan PKn. Selain itu, integrasi pendidikan HAM pada mata-mata pelajaran, selain pendidikan agama dan PKn yang dimaksud, lebih kepada memfasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahanbahan ajar tetap diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan ialah penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran.

Para guru sebagai aktor utama pembelajaran harus lebih mendalami hal-hal terkait dengan HAM. Tujuannya agar mereka lebih paham mengenai HAM serta bisa merancang model pembelajaran HAM yang menarik dan tidak menjemukan. Sudah saatnya pendidikan HAM dihidupkan lagi di sekolah-sekolah kita. Kita berharap generasi muda mendatang tidak gagap akan HAM sehingga apa yang menjadi hak mereka tidak terampas begitu saja oleh penguasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga.

Agus Wibowo ;  
Pemerhati Pendidikan Tinggal di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Februari 2013


Selengkapnya.. »»  

Pelajar dan Brutalitas


Tontonan kekerasan kini seolah telah menjadi bahaya laten dalam masyarakat. Bahkan, kekerasan tersebut justru diperankan oleh kalangan terdidik yang mestinya menjadi agen pe rubahan masyarakat. Tawuran antara pelajar SMAN 70 Jakarta dan SMAN 6 Jakarta seakan mengingatkan kejadian serupa pada tahun lalu dengan adanya penganiayaan dan perampasan kamera wartawan.

Pada dasarnya, kekerasan atau agresi merupakan perilaku sosial yang di butuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam masyarakat primitif yang bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang. Dalam budaya ini, bagian psikologi manusia bukan hanya pada aspek pembunuhannya, tetapi juga aspek kekejamannya. Setidaknya, pernyataan itu sesuai dengan teori libido Freud bahwa jiwa manusia dipengaruhi kekuatan seksual yang mendorongnya untuk agresif dan ingin berkuasa.

Namun, fakta yang terjadi dalam “reinkarnasi” gerakan moral kalangan pelajar demikian jelas merupakan bumerang dalam dunia pendidikan nasional. Program pendidikan karakter melalui peningkatan pemahaman tentang demokrasi, moral keagamaan, serta proses-proses kebangsaan ternyata belum efektif mengendalikan akumulasi kefrustrasian anak bangsa yang terdidik. Peristiwa memalukan tersebut sudah seharusnya me njadi momentum bersejarah agar institusi terkait lebih mawas diri.

Pendidikan karakter sebagai model pengembalian atas posisi pendidikan akhlak dan budi pekerti mendesak untuk diperkuat. Pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat berperan dalam membentuk karakter atau kepribadian seseorang, yang pada gilirannya akan mampu mendukung karakter demokrasi maupun penyelenggaraan sistem kenegaraan.

Karenanya, program civic education sebagai bagian dari pendidikan karakter harus diperkuat, yaitu pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan hukum, pemahaman tentang konsepsi hukum dan HAM, penguatan keterampilan partisipasi menyelesaikan konflik sosial, dan mengembangkan kesadaran budaya demokrasi dan perdamaian.

Dengan demikian, mendudukkan nilainilai Pancasila dalam dunia pendidikan perlu segera dibangun secara sistematis karena telah mengalami keterpinggiran dari masyarakat Indonesia. Imbasnya tentu dapat dilihat bahwa kalangan terdidik itu sendiri yang merobohkan nilainilai kesantunan dan toleransi sebagai karakter orisinal bangsa Indonesia melalui aksi kekerasan yang semakin merajalela. Apalagi terjadi adanya proses penetrasi pemikiran sekaligus tindakan pragmatis yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata melalui kekuasaan dominan.

Hal tersebut bukan hanya akan membuat masyarakat menjadi pihak tertindas, tetapi juga akan menjadi aktor yang menghalalkan segala cara karena memahami bahwa segala sesuatu harus diperoleh dengan kekuasaan. Tentu konsekuensi sosial yang harus dihadapi adalah konflik yang tiada berujung karena masyarakat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja menginginkan instabilitas keamanan. Terlebih bagi para pelajar yang mudah tersulut emosi akibat tekanan pendidikan yang dialaminya.

Ketika rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat belum mendukung perjalanan demokrasi yang modern, pemaksaan kebenaran secara sepihak akan menjadi tontonan harian masyarakat. Dalam posisi demikian hukum yang berlaku harus tetap ditegakkan. Para pelajar yang melakukan aksi tawuran, pada dasarnya merupakan kalangan terdidik yang tentu menyadari bahwa aksi tawuran yang dilakukannya telah mengganggu ketertiban umum sekaligus sebagai tindak kriminal manakala diiringi adanya penganiayaan.

Mesti diakui bahwa perjalanan pendidikan selama ini justru tidak memberikan kesempatan terhadap peserta didik dan pendidik dalam berekspresi menempa jati diri masa depan. Mereka dipaksa menjadi robot untuk menghapal segala rumus bahkan menghapal semua materi pelajaran yang diujikan. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah atas, semangat berpikir pragmatis dan instan menjelma menjadi budaya belajar generasi
saat ini.

Persoalan pendidikan semacam itu berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki nilai-nilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan da lam satuan sistem, yaitu lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu. Proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif.

Kecenderungan pola pendidikan itu berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang memasung sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya. Dampak psikologis dari pilihan semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial yang sengaja memarginalkannya.

Tidak heran jika produk komunitas yang terpinggirkan tersebut akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya.

Muh Khamdan ;
Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI
REPUBLIKA, 27 September 2012


Selengkapnya.. »»  

Kurikulum Antikorupsi di Perguruan Tinggi


Kompas edisi 28 Juli 2012 halaman 12 memuat berita tentang semangat antikorupsi dari Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tanggapan pun datang dari Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengusulkan agar pendidikan antikorupsi jadi mata kuliah wajib. Bahkan, ada perguruan tinggi, antara lain Universitas Bina Nusantara, yang mengancam mencabut ijazah alumninya yang terlibat korupsi.

Sekalipun banyak teori tentang kausa kejahatan, semangat itu tetap harus diapresiasi. Sebab, sulit disangkal terkait adanya tuduhan bahwa perguruan tinggi, secara kriminologis, sedikit banyak dianggap turut andil dalam merebaknya tindak pidana korupsi di negeri ini. Hal ini mengingat banyak koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta—dari program S-1, S-2, ataupun S-3.

Korupsi bisa berupa penyalahgunaan kemampuan profesional untuk keuntungan personal (professional fringe violator) atau kejahatan kerah putih yang bisa dilakukan baik dalam jabatannya yang melekat status sosial tinggi maupun dalam bentuk kejahatan korporasi. Data di beberapa negara menunjukkan keterlibatan profesional dalam kejahatan transnasional terorganisasi.

Dengan demikian, yang dituduhkan bukan sekadar perbuatan malapraktik atau perbuatan di bawah standar profesi yang mengandung unsur kurang pengalaman, kurang pengetahuan, dan keterampilan, melainkan sudah mengandung kesengajaan jahat.

Keprihatinan itu juga melanda negara-negara lain. Sebab, banyak pejabat eksekutif korporasi mereka, yang merupakan alumni perguruan tinggi terkemuka, saat ini menghuni penjara di AS dalam waktu lama.

Mereka terbukti melakukan korupsi, kecurangan, kejahatan di dunia maya, perdagangan saham atau sekuritas yang melawan hukum. Termasuk juga sebagai orang dalam perusahaan memanfaatkan informasi internal, pelanggaran hak kekayaan intelektual, pencucian uang, investasi bodong, dan berbagai tindak pidana ekonomi lain. Kejahatan dilakukan secara individual ataupun sebagai kejahatan korporasi. Bahkan, tak jarang korporasi multinasional terlibat tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM di negara lain.

Terlalu Elitis

Akar permasalahan yang dirasakan sebenarnya adalah lemahnya kurikulum perguruan tinggi yang dianggap terlalu elitis. Bahkan, cenderung terlalu menonjolkan kurikulum bernuansa pengetahuan dan keterampilan (kognitif dan psikomotorik) yang berorientasi pada pasar kerja yang menjanjikan gaji tinggi sebagai pusat keunggulannya. Sebaliknya, aspek afeksi dalam bentuk kurikulum yang bernuansa kepekaan terhadap tanggung jawab sosial sangat lemah.

Samuel Huntington (1957) menekankan, elemen profesionalisme selalu mencakup tiga hal: pengetahuan dan keterampilan atau keahlian yang memadai, tanggung jawab, dan rasa kebersamaan. Dalam pendidikan tinggi ini harus direalisasikan dalam tiga domain pendidikan: kognitif, psikomotorik, dan afektif (Taksonomi Bloom, 1956). Pembaruan kurikulum seharusnya tak hanya memasukkan mata kuliah wajib antikorupsi, tetapi secara mendasar juga berusaha meningkatkan pendidikan tentang nilai profesionalisme dan afeksi di semua strata pendidikan. Sebutlah aturan (kode) integritas atau kejujuran intelektual, kode etik dan kode perilaku profesi atas dasar semangat kebebasan akademik dan budaya akademik, serta otonomi keilmuan. Perlu sosialisasi materi tentang HAM dan tanggung jawab asasi manusia sejak dini. Semua ini diharapkan akan menjadi indeks daya saing di samping kualitas pengetahuan dan keterampilan yang unggul.

Muladi
Mantan Rektor Universitas Diponegoro
KOMPAS, 07 Agustus 2012



Selengkapnya.. »»  

Keterasingan Pendidikan Nasional


Keterasingan Pendidikan Nasional

TAWURAN antarsekolah, kekerasan di sekolah, serta aksi-aksi premanisme mengoyak ketenteraman dan kedamaian kita selama bulan puasa ini. Kasus kekerasan di SMA Don Bosco dalam masa orientasi siswa baru seperti mengingatkan kita kembali terhadap kejadian serupa di banyak sekolah di Tanah Air. Belum lagi praktik premanisme seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika sekitar 50 orang bersenjata parang menyerang 10 orang yang melayat Bob Stanley Sahusilawane di halaman parkir Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Dua orang meninggal dunia dan empat orang terluka parah.

Peristiwa serupa juga terjadi pada 4 April 2010. Kerusuhan dua kelompok pemuda terjadi di kelab malam Blowfish, Gedung City Plaza, Jakarta Selatan. Satu orang tewas, dua orang luka parah, dan kelab malam rusak akibat kerusuhan tersebut. Pada 14 April 2010, bentrokan juga terjadi antara warga dan aparat di wilayah Koja, Jakarta Utara, mengakibatkan dua orang tewas, sekitar 130 orang luka-luka, dan puluhan mobil dibakar.

Itu juga menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah akibat arus lalu lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan terhambat. Bentrokan terjadi ketika Pemerintah Kota Jakarta Utara menertibkan bangunan dan aktivitas Priok di TPU Dobo. Bentrokan dua kelompok massa pun pecah pada 29 September 2010 di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya. Tiga orang tewas dan tiga Kopaja dirusak akibat bentrokan itu. Selama kerusuhan, lalu lintas dan aktivitas masyarakat lumpuh.

Sengketa lahan seluas 4.000 m2 yang melibatkan tiga pihak (pemilik sertifikat tanah, PT Mastraco, dan warga yang menempati lahan) berujung bentrok warga dengan sekelompok orang di Jalan Arjuna, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Bentrokan tersebut mengakibatkan sebuah metromini dan tiga sepeda motor terbakar serta menimbulkan kemacetan di sekitar ruas Jalan Arjuna pada 14 Oktober 2011. Bentrok antaranggota organisasi kemasyarakatan terjadi pada 13 Februari 2012 di dekat Taman Permakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Akibat bentrokan, sebuah posko ormas rusak dan delapan orang ditahan polisi. Kemacetan sepanjang 1,5 km di Jalan RS Veteran, Tanah Kusir, terjadi sejak tengah hari hingga sore hari.

Riuhnya ruang premanisme di Ibu Kota seakan membenarkan satire Slamet Mulyanto, “Sejahat-jahatnya ibu tiri, lebih jahat Ibu Kota.“ Hampir tidak ada sejengkal tanah di Ibu Kota yang lepas dari aksi kekerasan. Mengapa kekerasan menjadi hal biasa di Republik ini? Bagaimana pendidikan berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut?

Kesepian dan Keterasingan

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam diri seseorang. Kesepian (loneliness) tidak identik dengan kesunyian (solitude). Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, `aku' dan `diriku'.

Hannah Arendt menyebut keadaan itu sebagai `dua dalam satu' (two in one). Karena itu, dalam kesunyian, manusia (aku) masih mempunyai teman untuk berdialog, yaitu diriku. Dialog pada `dua dalam satu' tidak kehilangan hubungan dengan dunia sesama karena diriku merupakan perwakilan dari dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian jika aku ditinggalkan oleh diriku.

Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku ditinggalkan oleh orang-orang lain.“ Hal paling tak tertahankan dalam kesepian ialah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih dapat diwujudkan) dan makin lemahnya identitas dalam kebersamaan. Hal itu muncul karena tiadanya suasana me mercayai dan dipercayai sesama. Dalam kesepian, aku kehilangan teman untuk berdialog, yaitu diriku. Manusia dalam kondisi itu akan kehilangan rasa percaya terhadap pikiran pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari kesepian ialah baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan mengalami hilang secara bersamaan.

Itu sebuah kondisi yang jauh dari realitas kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk berpikir. Dengan berpikir, manusia dapat disebut manusia. Begitulah Descartes, filsuf kesohor, mendaku dalam filsafat manusia. Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir (kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk berpikir hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan. Dengan demikian, berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam kesunyian sehingga tercipta dialog internal antara aku dan diriku. Melalui berpikir, aku menciptakan ruang bagi diriku.

Lebih lanjut, pada saat manusia kese pian, satu-satunya EBET hal yang masih dipercaya ialah kemampuan bernalar secara logis. Padahal, pernyataan yang logis belum tentu sesuai dengan realitas.

Satu-satunya kebenaran yang masih dapat dipercaya manusia dalam kesepian ialah kaidah-kaidah logika, yang dianggap tidak dapat sesat, meski dalam ke sepian mutlak. Manusia dalam kondisi tersebut mencampuradukkan kebenaran pada tingkat ko herensi dengan kebenaran korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat. Maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia tercabut dari realitas.

Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa karena tidak dapat mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan keper cayaan penuh terhadap kaidah logika menye babkan manusia merasa tidak memiliki tempat untuk berlari. Efek yang ditimbulkan dari kesepian, dengan mengacu pada perkataan Luther, ialah menganggap segala sesuatu bersifat buruk. Jadi dapat kita simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi positif dari apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).

Cara pandang negatif terhadap sesuatu mengakibatkan hilangnya akal waras manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu untuk mengenyahkan orang lain jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok tertentu. Manusia seperti itu menegaskan diri (mengakukan diri) sebagai yang terkuat dan terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan terhadap diri sendiri. Keterasingan mennyebabkan manusia lupa akan entitas diri dan lingkungan.

Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an itu menyembul ke ruang publik dan menimbulkan kerusakan.

Kerusakan itu menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Kerusakan yang berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun merupakan fakta. Padahal, menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pendidikan

Maka dari itu, menurut hemat saya, untuk mengurangi dampak keterasingan dan kesepian manusia yang merupakan bawaan intrinsik kelemahan manusia secara psikologis, manusia perlu melatihnya melalui kemampuan berpikir kritis yang sudah selayaknya disemai di pawiyatan (pendidikan). Pendidikan merupakan salah satu sarana paling ampuh dalam mendorong seseorang berpikir logis dan kritis.

Guna membangun pendidikan seperti itu, menurut Paulo Freire, pendidikan harus berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika, memancing peserta didik untuk berdialog, membiarkan mereka mengucapkan sendiri perkataan mereka, mendorong mereka untuk menamai dan dengan demikian mengubah dunia. Singkatnya, paradigma pendidikan menurut pedagogi Ignasian disebut dengan istilah pendidikan transformatif (J Drosj SJ, 2000), sistem pamong menurut Ki Hajar Dewantara (Jumhur, 1981), sistem pendidikan kedewasaan menurut Ki Sarino Semarang (Hadi Su peno, 1999), atau dalam istilah Indonesia kontemporer sistem pengembangan potensi. Itulah jalan pembebasan manusia yang sesungguhnya (Nuru Huda SA, 2002).

Maka dari itu, sudah selayaknya pemerintah mengagendakan dan terus berusaha mewujudkan model pendidikan seperti itu. Tanpa hal tersebut, pendidikan hanya akan menjadi menara gading, jauh dari realitas. Pendidikan akan terasing dan teralienasi dari dunianya. Jika hal yang demikian terjadi, benarlah apa yang dikatakan WS Rendra dalam sajaknya, Seonggok Jagung.

Apakah guna pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalan keadaannya ...
bila pulang ke daerahnya, lalu berkata
Di sini aku asing dan sepi

Pada akhirnya, banalitas kejahatan oleh aksi premanisme yang selalu mengusik alam bawah sadar kita seakan membenarkan preposisi yang sering menyebut betapa pendidikan nasional belum mampu menyentuh (berkontribusi) dalam menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk masalah kekerasan di sekolah. Pendidikan masih saja terlalu asyik dengan dunianya sehingga pendidikan sepertinya hanya berkontribusi terhadap dunia kerja semata.

Tugas pendidikan yang seolah hanya sebagai penyuplai tenaga kerja siap pakai dan mengikuti tren internasional di bidang industri seolah menyepakati runtuhnya nilainilai luhur yang seharusnya disumbangkan dunia pendidikan. Karena itu, tak mengherankan jika peserta didik menjadi terasing dan tidak memiliki kemandirian dalam hidup dan berpikir, bahkan seakan rela untuk terus hidup saling menyakiti di antara sesama anak bangsa.

Benni Setiawan
Pemerhati Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2012



Selengkapnya.. »»  

Kebebasan Akademis, Perspektif HAM


Kebebasan Akademis, Perspektif HAM

Kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi sedang dipertaruhkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi di DPR.

Pemerintah yang diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya memilih kebijakan memperkuat kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi.

Kebijakan kontrol negara itu hendak dilakukan oleh pemerintah melalui pengaturan sivitas akademika, rumpun dan cabang ilmu, kurikulum, penelitian, serta penilaian menteri atas penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi: Pasal 9, Pasal 16, Pasal 20, dan Pasal 32 RUU PT (Kompas, 6/7/2012).

Kehendak pemerintah itu jelas akan mempersempit ruang gerak perguruan tinggi, dan belajar dari pengalaman di masa Orde Baru, kontrol negara itu bahkan dapat pada ketikanya meniadakan sama sekali kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi.

Kehendak pemerintah untuk meningkatkan kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan yang diakui dan dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).

Karena itu, sangatlah dapat dimengerti apabila sejumlah pihak meminta agar RUU PT tidak cepat-cepat disahkan mengingat ia berpotensi untuk menuai gugatan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (Kompas, 5/7/2012).

Kebebasan akademis dan otonomi PT diuraikan panjang lebar dalam komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB. Komite HESB menegaskan bahwa hak atas pendidikan hanya dapat dinikmati jika disertai dengan kebebasan akademis bagi staf dan mahasiswa yang rentan penindasan oleh negara.

Kebebasan akademis memungkinkan para anggota masyarakatnya, baik secara individu maupun kolektif, bebas mengejar, mengembangkan, serta mengalihkan ilmu pengetahuan dan gagasan melalui riset, pengajaran, pengkajian, diskusi, dokumentasi, produksi, kreasi, atau tulisan.

Kebebasan akademis berarti pula kebebasan individu untuk menyatakan pendapat tentang institusi atau sistem di mana mereka bekerja, memenuhi fungsi mereka tanpa diskriminasi atau rasa takut adanya penindasan oleh negara atau aktor lainnya. Selain itu, juga berpartisipasi dalam badan-badan profesional dan perwakilan akademis serta menikmati semua hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional.

Harus Ditunda

Penikmatan kebebasan akademis disertai pula dengan kewajiban, yaitu menghormati kebebasan akademis liyan, memastikan diskusi yang jujur tentang berbagai pandangan yang berlawanan, dan memperlakukan semuanya tanpa diskriminasi. Dengan begitu, sesungguhnya kebebasan akademis diperlukan untuk menumbuhkembangkan kultur demokrasi dalam masyarakat perguruan tinggi, yang dapat terus berkembang di kalangan masyarakat luas.

Lebih jauh, baik di masa lalu maupun masa kini, kebebasan akademis membuka peluang bagi lahirnya berbagai pemikiran, sikap, dan aksi kritis dalam masyarakat, yang pada gilirannya mampu mendorong reformasi dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hanya penguasa otoriter yang anti perubahan yang membenci kebebasan akademis. Dalam upaya membangun kultur demokrasi dan HAM, kebebasan akademis adalah suatu yang niscaya. Menurut komentar umum Komite HESB, penikmatan kebebasan akademis mewajibkan adanya otonomi perguruan tinggi. Otonomi berarti adanya tingkat berpemerintahan sendiri yang perlu bagi efektivitas pembuatan keputusan oleh institusi-institusi perguruan tinggi dalam kaitannya dengan standar, pengelolaan serta pekerjaan akademis mereka, dan kegiatan yang berhubungan.

Berpemerintahan sendiri harus sesuai dengan sistem pertanggungjawaban publik, terutama berkenaan dengan pendanaan yang diberikan oleh negara. Dalam konteks ini, mengingat investasi publik yang substansial dalam perguruan tinggi, suatu keseimbangan yang tepat antara tuntutan otonomi kelembagaan dan pertanggungjawaban publik harus ditegakkan. Pengaturan institusi perguruan tinggi sejauh mungkin harus fair, adil, patut, serta transparan dan partisipatoris.

Komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB di atas merupakan tafsir dan bagian yang mesti diperhatikan dalam implementasi KIHESB. Mengingat KIHESB sudah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia, sudah semestinya DPR dan pemerintah memperhatikannya. RUU PT yang sarat dengan kontrol negara itu perlu direvisi sehingga tercapai keseimbangan di antara kebebasan akademik, otonomi kelembagaan, dan pertanggungjawaban publik. Itu berarti pengesahan RUU PT harus ditunda.

Abdul Hakim G Nusantara
Ketua Komnas HAM Kurun 2002-2007
KOMPAS, 11 Juli 2012



Selengkapnya.. »»