Tampilkan postingan dengan label HDI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HDI. Tampilkan semua postingan

Aksara dan Indeks Pembangunan Manusia

Setiap tanggal 8 September, masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional (HAI). Peringatan hari aksara dimaksudkan agar masyarakat dunia menjadi melek aksara, dan akhirnya melek pengetahuan. Melek aksara kemudian menjadi salah satu hak asasi manusia yang disepakati oleh bangsa-bangsa dunia.
Buta aksara memberikan kontribusi tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI. Sepertiga ada dalam pendidikan, lainnya ekonomi dan kesehatan (Kemendiknas: 2012).
Data dari Human Development Indeks (HDI) menjelaskan angka buta aksara penduduk Indonesia sebesar 12,1 persen. Artinya, satu dari delapan orang masih buta aksara. Dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 7 persen, dan Brunei Darussalam 6 persen, Indonesia masih di atas 10 persen.
Jumlah penduduk buta aksara saat ini diklaim Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tinggal 10.1 juta orang. Angka ini menurun drastis 1.7 juta orang dibanding tahun 2007 yang tercatat 11,8 juta orang. Pada akhir 2009, jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas ditargetkan tinggal 7,7 juta orang (Kemendikbud: 2012).
Kalau data yang dikemukakan Depdikbud itu benar, kita layak apresiasi dengan positif. Walaupun demikian, data tersebut tidak memberikan jaminan kepastian. Itu adalah hasil rekayasa kebijakan pemerintah.
Terbukti, Depdikbud merasa ada banyak kendala yang dihadapi terkait pemberantasan buta aksara, khususnya mereka yang masih dijerat kemiskinan, keterbelakangan, dan jauh dari peradaban, selain minimnya spirit belajar yang menancap dalam diri mereka.
Walaupun demikian, bukan berarti Depdikbud kemudian berpangku tangan tanpa adanya sebuah rekayasa baru yang lebih inovatif dan bisa langsung menyentuh jantung persoalan masyarakat. Kalau galau dan lunglai dengan persoalan aksara, masyarakat Indonesia bisa tertinggal dari kereta peradaban dunia yang melaju begitu cepat, bersamaan dengan kecepatan teknologi dan komunikasi yang menembus lintas batas peradaban manusia.

Melek Peradaban
Laju peradaban dunia memang dimulai dari aksara. Aksara memainkan peran penting penciptaan tata peradaban yang maju dan modern. Untuk mengerti aksara saja, para pencipta peradaban selalu bekerja keras menyusun huruf demi huruf.
Lihatlah bangsa Aida yang bekerja keras menata batu bata peradaban Barat lewat salinan ensiklopedi pengetahuan selama delapan abad lamanya. Bangsa Aida, menurut Taufik Rahzen, menjadi ujung tombak lahirnya peradaban modern yang menelurkan ragam keilmuan yang berkembang pesat hingga sekarang.
Bangsa Aida dengan tekun menyalin pengetahuan yang berasal dari Yunani, Islam, Romawi, India, China, dan berbagai khazanah peradaban agung lainnya. Dengan ketekunan beraksara, ciptaan mereka menjadi agung sampai sekarang.
Lihat pula yang dilakukan Harun al-Rasid dengan proyek perpustakaan baitul hikmahnya. Sang Khalifah mengeluarkan dana sangat besar untuk mendanai berbagai program keilmuan dan kebersaksaraan dalam rangka menjulangkan peradaban Islam hingga tampil dengan gemilang.
Para penyalin pengetahuan yang bergelut di perpustakaan baitul hikmah tersebut, menjalani prosesi agung mentranskrip ragam pengetahuan yang terhampar di dunia. Salinan pengetahuan dengan ketekunan beraksara kemudian menjadikan Islam di Timur Tengah sebagai pemimpin peradaban dunia selama beberapa abad.
Demikian juga yang terkisah dalam pembuatan kamus Oxford English Dictionary. Kamus yang penyusunannya diketuai Prof Murroy tersebut menghabiskan waktu penyusunan 70 tahun. Kamus tersebut disusun dengan ketelitian dunia aksara yang sangat mendalam. Setiap kata yang lahir ditashih dengan penuh khidmat.
Tak salah kalau kamus tersebut kemudian menjadi kamus standar literasi dalam dunia akademik Barat. Kamus ini selalu dipajang dalam meja para peneliti dan pengkaji pengetahuan. Ketelitian dalam beraksara yang dilakukan Prof Murroy adalah pelajaran berharga, bahwa dunia aksara sarat dengan ketekunan dan kedisiplinan.
Dari situlah peradaban lahir dengan tegak dan kokoh. Bagaimana dengan Indonesia? Beraksara belum mendapat tempat yang layak di Bumi Indonesia. A Teeuw (1994) melihat Indonesia masih terombang-ambing antara tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Kelisanan masih mendominasi dalam gerak pengetahuan di Indonesia.
Terbukti karya tulis belum mendapatkan tempat standar dan ideal dalam laju keilmuan yang berkembang di Indonesia. Tak salah juga kalau buta aksara masih berderet di Indonesia sepanjang deretan kepulauan yang membujur se-Nusantara.
Tak mendapatkan perhatian yang layak, padahal melek aksara sangat menentukan kualitas bangsa, tidak salah kalau Human Development Index (HDI) Indonesia selalu berada di peringkat rendah, sudah tertinggal dengan negara tetangga Asia Tenggara lainnya.
Dalam konteks ini, peradaban di Indonesia sejatinya sedang menggantung, sedang di persimpangan jalan. Kualitas beraksara masih dalam krisis kalut. Itikad baik pemerintah untuk meminimalisasi angka buta aksara tahun 2009 tinggal 7,7 juta orang harus didukung bersama seluruh elemen bangsa.
Program pemberantasan buta aksara harus segera diselesaikan. Bekerja sama dengan perguruan tinggi dan swasta secara maksimal bisa menjadi langkah strategis dalam menyegerakan bebas buta aksara.
Keputusan anggaran pendidikan 20 persen seharusnya juga menjadi pelecut kebijakan negara dalam mengentaskan program buta aksara bersama berbagai lembaga pendidikan negeri dan swasta. Ingat, hak beraksara sama dengan hak-hak pelayanan kesehatan dalam standar hak asasi manusia.
Peradaban Indonesia harus ditegakkan bersama. Bukan saja oleh kaum terpelajar dan elite kota, melainkan juga oleh masyarakat desa yang berjejer di berbagai pelosok.
Semua bertugas sama dalam menegakkan kaki ke-Indonesia-an. Indonesia yang melek aksara, yang terus berjuang menjaga kedaulatan aksara dalam gerak peradaban yang telah diperjuangkan sejak Indonesia berdiri.

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;    
Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 10 September 2013




Selengkapnya.. »»  

Memberantas Buta Aksara

Tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Sedunia. Peringatan ini bagi bangsa Indonesia sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia. Buta aksara sangat berpengaruh atas Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.
Angka buta aksara di Indonesia, menurut Kementerian Pendidikan Nasional, masih tinggi, yakni 4,8 persen dari jumlah penduduk. Itu setara dengan 8,5 juta jiwa. Tentu saja permasalahan itu memerlukan penanganan khusus berupa pemberantasan buta huruf. Perlu penanganan khusus karena selain jumlahnya masih banyak, juga 60 persen dari 8,5 juta jiwa tersebut adalah kaum perempuan. Saat ini ada 10 provinsi dengan tingkat buta huruf tinggi hingga di atas 10 persen. Provinsi itu, antara lain Papua, NTT, NTB dan Jabar serta Sulsel. (Kemendiknas: 2011)
Data ini menjadi fakta untuk membangun harapan akan optimisme merealisasikan pemberantsan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait problem buta aksara yang dicanangkan pemerintah tidak ada jaminan bahwa mereka akan melek aksara terus, karena terkait berbagai hal, sangat mungkin akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Kemendiknas sendiri. Artinya, perlu kerangka kebijakan sistematis dan berkelanjutan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal.
Pertama, mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan seringkali menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap tidak penting lagi melek atau buta aksara. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.
Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang kemudian dipahami secara kodrati, sehingga upaya dan usaha pemberatasan aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan, karena melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.
Ketiga, paradigma berfikir yang kalut membuat mereka tidak mempunyai motivasi belajar tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka karena menganggap sudah terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Ini bukan saja melanda mereka yang masih buta aksara. Mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar dan tradisi membaca. Belajar dan membaca seringkali dianggap sesuatu yang aneh, dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan.
Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam hak pemberantasan buat aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Perlu dibongkar kesadaran semu tersebut, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.
Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama dalam konteks bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat. Kerja sama bisa digunakan dalam realisasi tersebut. Kalau selama ini su-dah dilakukan, maka upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama ini akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok tersebut. Taruhlah, misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajeg dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih juga dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.
Ketiga, program ini diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam mencipta masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius, sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.
Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan hari aksara sedunia menjadi cacatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban.

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   
Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 September 2013




Selengkapnya.. »»