Kebebasan
Akademis, Perspektif HAM
Kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi
sedang dipertaruhkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi
di DPR.
Pemerintah yang diwakili Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tampaknya memilih kebijakan memperkuat kontrol negara atas kebebasan
akademis dan otonomi perguruan tinggi.
Kebijakan kontrol negara itu hendak dilakukan oleh
pemerintah melalui pengaturan sivitas akademika, rumpun dan cabang ilmu,
kurikulum, penelitian, serta penilaian menteri atas penyelenggaraan otonomi
perguruan tinggi: Pasal 9, Pasal 16, Pasal 20, dan Pasal 32 RUU PT (Kompas,
6/7/2012).
Kehendak pemerintah itu jelas akan mempersempit
ruang gerak perguruan tinggi, dan belajar dari pengalaman di masa Orde Baru,
kontrol negara itu bahkan dapat pada ketikanya meniadakan sama sekali kebebasan
akademis dan otonomi pendidikan tinggi.
Kehendak pemerintah untuk meningkatkan kontrol
negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi berpotensi
melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan yang diakui dan
dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (KIHESB).
Karena itu, sangatlah dapat dimengerti apabila
sejumlah pihak meminta agar RUU PT tidak cepat-cepat disahkan mengingat ia
berpotensi untuk menuai gugatan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi
(Kompas, 5/7/2012).
Kebebasan akademis dan otonomi PT diuraikan
panjang lebar dalam komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB. Komite
HESB menegaskan bahwa hak atas pendidikan hanya dapat dinikmati jika disertai
dengan kebebasan akademis bagi staf dan mahasiswa yang rentan penindasan oleh
negara.
Kebebasan akademis memungkinkan para anggota
masyarakatnya, baik secara individu maupun kolektif, bebas mengejar,
mengembangkan, serta mengalihkan ilmu pengetahuan dan gagasan melalui riset,
pengajaran, pengkajian, diskusi, dokumentasi, produksi, kreasi, atau tulisan.
Kebebasan akademis berarti pula kebebasan individu
untuk menyatakan pendapat tentang institusi atau sistem di mana mereka bekerja,
memenuhi fungsi mereka tanpa diskriminasi atau rasa takut adanya penindasan
oleh negara atau aktor lainnya. Selain itu, juga berpartisipasi dalam badan-badan
profesional dan perwakilan akademis serta menikmati semua hak asasi manusia
(HAM) yang diakui secara internasional.
Harus
Ditunda
Penikmatan kebebasan akademis disertai pula dengan
kewajiban, yaitu menghormati kebebasan akademis liyan, memastikan diskusi yang
jujur tentang berbagai pandangan yang berlawanan, dan memperlakukan semuanya
tanpa diskriminasi. Dengan begitu, sesungguhnya kebebasan akademis diperlukan
untuk menumbuhkembangkan kultur demokrasi dalam masyarakat perguruan tinggi,
yang dapat terus berkembang di kalangan masyarakat luas.
Lebih jauh, baik di masa lalu maupun masa kini,
kebebasan akademis membuka peluang bagi lahirnya berbagai pemikiran, sikap, dan
aksi kritis dalam masyarakat, yang pada gilirannya mampu mendorong reformasi
dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Hanya penguasa otoriter yang anti perubahan yang
membenci kebebasan akademis. Dalam upaya membangun kultur demokrasi dan HAM,
kebebasan akademis adalah suatu yang niscaya. Menurut komentar umum Komite
HESB, penikmatan kebebasan akademis mewajibkan adanya otonomi perguruan tinggi.
Otonomi berarti adanya tingkat berpemerintahan sendiri yang perlu bagi
efektivitas pembuatan keputusan oleh institusi-institusi perguruan tinggi dalam
kaitannya dengan standar, pengelolaan serta pekerjaan akademis mereka, dan kegiatan
yang berhubungan.
Berpemerintahan sendiri harus sesuai dengan sistem
pertanggungjawaban publik, terutama berkenaan dengan pendanaan yang diberikan
oleh negara. Dalam konteks ini, mengingat investasi publik yang substansial
dalam perguruan tinggi, suatu keseimbangan yang tepat antara tuntutan otonomi
kelembagaan dan pertanggungjawaban publik harus ditegakkan. Pengaturan
institusi perguruan tinggi sejauh mungkin harus fair, adil, patut, serta
transparan dan partisipatoris.
Komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB
di atas merupakan tafsir dan bagian yang mesti diperhatikan dalam implementasi
KIHESB. Mengingat KIHESB sudah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia,
sudah semestinya DPR dan pemerintah memperhatikannya. RUU PT yang sarat dengan kontrol
negara itu perlu direvisi sehingga tercapai keseimbangan di antara kebebasan
akademik, otonomi kelembagaan, dan pertanggungjawaban publik. Itu berarti
pengesahan RUU PT harus ditunda.
Abdul
Hakim G Nusantara
Ketua
Komnas HAM Kurun 2002-2007
KOMPAS,
11 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi