Rehabilitasi Sekolah, Rehabilitasi Masa Depan


Rehabilitasi Sekolah, Rehabilitasi Masa Depan

Pencanangan Program Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP Tahun 2011 pada 26 September 2011 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Ir . Mohammad Nuh, DEA. merupakan terobosan luar biasa yang memberi dampak besar bagi dunia pendidikan dalam jangka panjang. Sebab, sejak
pembangunan besar-besaran gedung sekolah di berbagai pelosok tanah air pada dekade 60-70-an yang dikenal dengan istilah “Sekolah Inpres” (Instruksi Presiden), jarang sekali, untuk mengatakan tidak ada, rehabilitasi sekolah.

Tiap hari keluhan atas terganggunya proses belajar-mengajar karena rusaknya ruang belajar sekolah mengemuka di media massa, baik cetak maupun elektronik. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemdikbud dianggap tak mempedulikan kondisi tersebut. Padahal, kenyataannya, sejak otonomi daerah diberlakukan pada awal tahun 2000, tanggung jawab sekolah berada di tangan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Namun Pemerintah cq Kemdikbud tak ingin mempertahankan situasi dilematis tersebut. Bagaimanapun tiap warga negara tanpa kecuali berhak mengakses pendidikan dan mendapatkan pengajaran secara berkualitas. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, itulah amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Beranjak dari dasar tersebut, Kemdikbud bertekad merehabilitasi semua ruang kelas/belajar rusak berat dan menargetkan pada 2013 tak ada lagi gedung sekolah yang rusak.

Agar tujuan mulia tersebut terwujud, semua pemangku kepentingan di dunia pendidikan diharapkan turut terlibat, berpartisipasi menyumbangkan segala kemampuannya demi kemaslahatan rakyat. Kemdikbud sebagai “panglima” program ini, menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dunia usaha, dan masyarakat. Diharapkan, dengan gerakan yang sinkron, program rehabilitasi ini berjalan lancar, cepat, dan baik.

Memang awalnya ini tampak sebagai sebuah tugas yang sangat berat. Bagaimana tidak. Di seluruh Indonesia, ruang kelas/belajar rusak berat di jenjang pendidikan dasar mencapai 194.844 buah. Dana yang dibutuhkan pun triliunan rupiah.

Namun Kemdikbud cq Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar memandang kondisi tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. Dengan komitmen dan strategi yang matang, masalah sebesar apapun dapat ditangani dengan mudah.

Pada tahun 2011, pemerintah telah menggelontorkan dana senilai Rp 1,597 triliun untuk merehabilitasi 21.500 ruang kelas/belajar rusak berat. Tahun 2012 ini, telah disiapkan dana sebesar Rp 15,822 triliun untuk merehabilitasi 173.344 ruang kelas/belajar rusak berat.

Iklim kondusif

Pada dasarnya, Program Rehabilitasi menjawab harapan masyarakat akan kebutuhan tempat belajar yang baik. Infrastruktur yang bagus membawa siswa dan guru pada iklim atau suasana belajar-mengajar yang kondusif. Tak perlu muncul kekhawatiran ruang kelas tiba-tiba roboh. Siswa dapat belajar dengan tenang dan guru bisa
meningkatkan kemampuannya dalam mendidik murid-muridnya.

Iklim yang bagus tersebut tentu saja dapat menekan angka putus sekolah. Sebab, menurut penelitian, selain kendala ekonomi, faktor lain yang mendorong siswa putus sekolah adalah buruknya infrastruktur sekolah. Siswa tak tenang belajar. Sebaliknya stres memikirkan keselamatan jiwanya dari ancaman gedung roboh.

Program Rehabilitasi juga memberi momen penting bagi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sebab, mekanisme penyaluran dana rehabilitasi berupa swakelola. Pemerintah menyalurkan dana rehabilitasi langsung ke rekening sekolah. Proses pembangunan/rehabilitasi ruang kelas diserahkan semuanya kepada sekolah. Hal demikian mendorong sekolah untuk mengelola dan memberdayakan potensi yang ada di sekolah dengan sebaik-baiknya.

Misalnya, dari segi perencanaan, pihak sekolah menyusun rencana rehabilitasi bersama-sama dengan Komite Sekolah. Guru dan orangtua duduk bersama memikirkan berbagai kebutuhan, dari bahan bangunan hingga tukang bangunan.

Kebijakan swakelola juga memberi ruang bagi pemberdayaan masyarakat sekitar dan membuka lapangan kerja baru. Warga yang menganggur dapat diserap sebagai tukang bangunan. Siswa atau mahasiswa jurusan Teknik Sipil/Bangunan dapat dilibatkan.

Selain itu, roda ekonomi masyarakat juga bisa berputar. Bahan bangunan dibeli dari toko material yang berdiri di sekitar sekolah.

Dunia usaha juga dapat berpartisipasi. Pembangunan gedung sekolah dapat disalurkan melalui program CSR. Mereka dapat membantu pembangunan dan pengadaan sarana-prasarana lain seperti ruang laboratorium dan alat peraga.

Rehabilitasi ruang kelas/belajar oleh sekolah dan masyarakat akan berdampak psikologis yang cukup besar. Masyarakat akan merasa memiliki sekolah. Sebab mereka turut membangun gedung sekolah. Akhirnya, mereka makin termotivasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah itu.

Program rehabilitasi haruslah dimaknai sebagai sebuah bantuan. Bagaimanapun pada akhirnya sekolah dan masyarakat yang lebih banyak berpartisipasi membangun sekolah. Pemerintah sekadar memberi stimulus dan masyarakatlah yang harus bergerak memajukan pendidikan.

Pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota, juga mesti memberi dukungan yang memadai. Mereka dapat menyokong proses rehabilitasi sekolah dengan, misalnya, memberi pendampingan kepada sekolah. Mereka juga bisa mengalokasikan dana dari APBD untuk suksesnya program rehabilitasi.

Suksesnya program rehabilitasi merupakan sukses bersama semua pemangku kepentingan. Semua bergerak sinkron menuju terciptanya masyarakat Indonesia yang cerdas dan berpendidikan. Dalam konteks ini, program rehabilitasi tak sekadar memperbaiki infrastruktur sekolah, namun juga “merehabilitasi” masa depan bangsa
ini.*

Oleh Dr. Thamrin Kasman*
*Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud
Posted Fri, 06/15/2012 - 09:40 by sidiknas

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi