Dunia pendidikan nasional membutuhkan
langkah-langkah terobosan untuk memperbaiki ketertinggalan di bidang
pendidikan. Salah satunya dengan secara bertahap mengoptimalkan penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi dibandingkan dengan cara- cara belajar konvensional.
Kita harus melakukan lompatan. “Salah satu langkah
lompatan itu adalah dengan memanfaatkan teknologi mutakhir di bidang
pendidikan, secepatnya dan secara luas,” kata Wakil Presiden Boediono pada
kuliah perdana di Universitas Surya di Jakarta, Selasa (3/9). Apa yang
dikatakan Wapres benar, persoalan dunia pendidikan mengalami ketidakberdayaan
karena kualitas gurunya yang rendah.
Berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global
Monitoring Report 2012: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang
dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO) di New York, indeks pembangunan pendidikan
atau education development index (EDI) tahun 2012 adalah 0,934. Nilai itu
menempatkan Indonesia di posisi ke- 69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan
tinggi jika mencapai 0,95-1.
Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan
kategori rendah di bawah 0,80. Rendahnya kualitas menghambat proses pendidikan
yang kreatif dan inovatif selama paradigma guru hanya menjadi pawang dan
mentor. Kelemahan para guru tidak dibekali ilmu mengajar kepada siswa karena
guru sekadar menjalankan ritual belaka. Persoalan paradigmatik dunia pendidikan
tidak pernah disentuh. Bahkan, akar masalah juga tidak dijadikan evaluasi
pembenahan pendidikan bangsa ini.
Alm Rm Mangun mendirikan sekolah Mangunan karena
melihat realitas merosotnya mutu guru membuat anak didik tidak cerdas. Lewat SD
Mangunan, dia mencoba mengubah paradigmatik para guru. Menurut Romo Mangun, selama
ini sistem pendidikan Orde Baru telah menghilangkan suasana belajar sebab
sistem pengajaran dan pendidikan negeri ini sama sekali tidak mendukung
pemekaran anak. Sudah lebih tiga puluh tahun Indonesia tidak lagi punya guru
dalam arti yang sejati.
Hal ini disebabkan, pemerintah telah menyulap
guru-guru kita menjadi guru penatar, instruktur, komandan, birokrat, dan dewa.
Akibatnya, murid pun selama ini sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah “orang
dewasa” mini, prajurit mini, dan bawahan mini, kader mini yang kehilangan
spontanitas dan keceriaan alaminya akibat hubungan guru-anak yang
serba-komando.
Suasana dan sistem pendidikan sedemikian justru
menciptakan suasana pendidikan atau pengajaran yang diwarnai kekerasan.
Perubahan paradigmatik tidak pernah diubah, akibatnya pendidikan kita
kehilangan visi yang memerdekakan siswa, sehingga siswa mampu memiliki sebuah
mimpi menjadi manusia yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang mampu
memiliki visi depan serta mampu bertahan dalam situasi sulit karena Dia
memiliki ketajaman analisa dan kebijakannya.
Anak cerdas memiliki arete yakni kesimbangan akal
sehat dan nalar serta kebijakan membaca realitas zamannya. Peminjam istilah
konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi)
dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi
sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subjektif (mental) di mana
seorang agen menghasilkan tindakannya.
Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur.
Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk
menghasilkan tindakan. Proses manusia menjadi insan cerdas dan kreatif tercapai
bila menyentuh hal mendasar yakni menyentuh harkat dan martabat siswa. Sekolah
menjadi tempat menyenangkan serta menggembirakan karena sekolah bukan tempat
angker atau menakutkan bagi siswa.
Siswa merasakan apa artinya menjadi manusia merdeka
dalam arti bukan liar dan bebas semua melainkan siswa mampu mengekspresikan
bakat dan minat serta merasa tertantang bertanya terhadap hal sikap merangsang
berpikir dan bertindak demi sebuah perubahan akan esok lebih baik. Sangat cocok
bila kita merujuk pada pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan ala Freire.
Konsep ini tertuju untuk menggugah kesadaran
pelaksanaan metode pendidikan yang bukan saja membebaskan, tetapi yang
terpenting kembali memanusiakan manusia; menghilangkan jejak de-humanisasi yang
merasuki dunia pendidikan. Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan menurut
Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara
terusmenerus.
Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu, tetapi
bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak
bagi semua. Kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.
Selama ini ruang publik kita hanya diisi oleh kaum petualang yang menggunakan
gelar hebat tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi
publik setiap hari di media.
Tetapi, realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi
pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Ini
terjadi karena kita sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta. Akar
persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem
pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini
hanya menjadi instrumen kekuasaan politik.
Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan
politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan
robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang
kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka
hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnya minim.
Akibatnya, birokrasi menjadi lambat dalam merespons
perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk
keluar dari kultur lama. Di mana kemandirian individu direduksi menjadi
ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat gerbang
reformasi terseokseok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespons
perubahan yang begitu cepat.
Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan
berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera
dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya
mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan
karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, berarti pendidikan hanya
transfer ilmu saja yang menyebabkan manusia lepas dari moralitas.
Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya
bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan
sematamata sebagai alat politik kekuasaan. Pendidikan harus menentukan arah
politik arah bangsa ini.
Di sinilah pentingnya seorang pemimpin yang
memiliki visi yang jelas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selama belum
tercapai, jangan harap ada perubahan mendasar.
Benny Susetyo ;
Budayawan,
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
KORAN
SINDO, 21 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi