Belajar dari Generasi 28, kita
belajar mengenai apa artinya menghayati berbangsa dan bernegara.Mereka memberi
contoh bagaimana nilai kebangsaan itu menjadi gugus insting memengaruhi cara
berpikir, bertindak, berelasi, dan menghayati Indonesia.
Generasi 28 memiliki keutamaan dalam
memberikan dirinya untuk melayani bangsa ini. Generasi 28 adalah generasi
cerdas bangsa Merekalah yang merintis bangunan bangsa ini lewat gerakkan
penyatuan bangsa. Mereka sadar akan perbedaan suku, agama, bahasa dan ada
istiadat, namun berani meninggalkan itu semua demi terciptanya kesatuan. Dalam
apresiasinya, Romo Mangun Wijaya dalam bukunya Gerundelan Orang-orang Republik
(1928) berpendapat bahwa Generasi 28 telah berhasil menggugah kebangunan
mental, sehingga dari manusia inlander minder dan apatis nerimo menjadi
kelompok perintis bangun demi kemerdekaan bangsanya.
Generasi 28 telah berhasil gemilang untuk
mempersatukan sekian ratus suku menjadi satu bangsa (nation) dengan perasaan
nasional dan bahasa yang satu. Suatu prestasi yang India pun tidak berhasil
melakukannya. Ini warisan Generasi 28 memiliki kecerdasan dalam menyatukan
bangsa ini merintis fajar kebangsaan. Realitas ini berbeda dengan generasi
sekarang bermental pragmatis yang tergoda dalam politik hanyasekadar DoutDes,berpolitik
sekadar saya dapat apa dari kekuasaan.Orientasi tidak lagi demi bangsa dan
negara.Mentalpragmatissaatinimenguasai sebagian elite politik.
Elite muda diharapkan jadi generasi pembaruan
menjadi kandasan perubahan, namun realitas mentalnya tidak seunggul Generasi 28
yang visi pemerdekaannya begitu jelas dan tegas. Inilah yang hilang. Kaum muda
sekarang nyaris kehilangan kemampuan untuk mendobrak semua ini. Anak muda
setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan, justru hanyut. Cara berpikir, bertindak,
dan berelasi dalam dunia politik, nyaris stagnan karena tak ada perubahan.
Mentalitas reformis, kreatif, pengenalan
budaya alternatif hanya ada dalam kata-kata dan tak pernah menjelma menjadi
tindakan nyata Politik kita lebih identik dengan petualangan bagi pelakunya
untuk merebut dan meraih keuntungan individual, dan tidak menjadi bagian untuk
memperbaiki kehidupan kolektif.Dalam dunia politik sering terlontar katakata
”kesejahteraan rakyat”, namun dalam fakta sesungguhnya intrik untuk keuntungan pribadi
lebih mudah dibaca daripada kepentingan rakyat.
Dan semakin bertambah waktu,fenomena ini
begitu mudah dimengerti bahkan oleh ”rakyat bodoh” sekalipun.Wacana pemimpin
muda pada Pemilu 2014 sudah merebak. Sebelumnya, dalam pilkada di beberapa daerah,
generasi muda sudah memulai kiprahnya tampil untuk memberikan kontribusinya
membangun daerahnya.Apa yang seharusnya dilakukan kaum muda untuk mengisi
kemerdekaan ini? Belajar dari sejarah merupakan cara terbaik untuk memulai
kehidupan baru bangsa ini.
Sejarah menjadi pedoman dalam membangun bangsa
ini. Juga dalam mengembangkan politik kekuasaan yang lebih berorientasi
keadilan. Baik di dalam birokrasi, partai politik, parlemen, semua memiliki
sejarah yang harus dipelajari dan dijadikan referensi untuk mengambil tindakan.
Selama ini, sejarah kita hanya menjadi hiasan dinding rumah-rumah pejabat dan
politisi.Tak pernah dijadikan pedoman laku yang konkret.Ia hanya menjadi
pelajaran sekolah yang heroik dan tidak mengendap dalam sanubari manusia
Indonesia, menjadi referensi bertindak.
Sejarah berhenti dalam heroisme semata.
Seperti halnya dalam peringatan Sumpah Pemuda, kemerdekaan dan nasionalisme
yang diusung kaum muda saat itu hanya berhenti sebagai simbol atau perayaan
belaka. Semangat bangsa ini untuk merdeka secara lahir dan batin tidak terbukti
ketika perilaku pejabatnya lebih banyak ”menghamba”pada kekuatan asing. Pejabat
bahkan secara nyinyir membuka polemik,menuduh kaum muda kurang gereget dan
hanya menjadi ”peminta- minta”: ”Saya agak sedikit kurang sependapat kalau
hasilnya minta. Sejak kapan kalian diajarkan meminta. Kalau meminta itu berarti
tangan di bawah.”
Tugas
Berat
Kaum muda memiliki tugas demikian berat.
Mereka diharapkan menjadi pelopor perubahan nyata. Utamanya berkaitan dengan masalah
yang dipaparkan di muka, yakni bagaimana menata kembali dunia politik kita
menjadi media untuk melayani kesejahteraan bersama. Tekad itu sebenarnya sudah
pernah dikatakan oleh kaum muda dalam sebuah deklarasi untuk menawarkan jalan
baru bagi bangsa ini keluar dari kesempitan paradigmatik.
Cara pandang yang sempit dalam melihat
permasalahan kebangsaan ini akan membuat putusnya lingkaran kepedulian, sebab
yang ada dalam pikiran hanyalah problem individu dan identitas. Saat
”identitas” dijadikan bahasa politik, ekonomi, agama, dan pendidikan, bangsa
ini akan demikian mudah terpuruk ke dalam sikap reaksioner terhadap perbedaan.
Manifestasi kaum muda yang pernah dibacakan di Balai Arsip Nasional harus
dimaknai sebagai momentum bagi kaum muda ini untuk kembali bergerak, dan tampil
ke depan mendobrak semua kebuntuan ini.
Dibutuhkan sebuah regenerasi yang memiliki
visi yang jelas, terukur, bernalar, bertanggung jawab, menjunjung etika dan
moralitas, serta yang utama adalah mengembangkan dunia politik sebagai media
untuk memperbaiki kehidupan semua. Generasi tua dengan ”pikiran tua” sudah
terlalu banyak di negeri ini. Aura kebijaksanaannya tidak muncul, karena
terbungkam oleh nafsu kekuasaan. Bahaya situasi seperti ini apabila generasi
muda lambat laun membenarkan dan meniru serta memodifikasi sikap-sikap dan
perilaku buruk generasi tua. Korupsi dan kolusi makin lama akan dijadikan
sebagai warisan budaya.
Yang utama di sini kaum muda harus berani
mengadakan perubahan dari dirinya sendiri. Kesempatan memang harus diraih
dengan kualitas pribadi yang berintegritas tinggi, bukan sematamata diminta.
Rasanya sejarah kepemudaan Soekarno, Hatta,Tan Malaka, dan Syahrir harus dibaca
kembali untuk menata kembali visi dan misi kebangsaan dan kerakyatan, serta
untuk mengarahkan bagaimana jiwa kaum muda harus berperan positif membangun
bangsa ini
Benny
Susetyo ;
Rohaniwan
SINDO,
27 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi