Delapan puluh empat tahun silam
Sumpah Pemuda diikrarkan. Sumpah untuk setia pada satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia.
Namun, menguatnya gejala sosial
anti-keberagaman memunculkan pertanyaan: bagaimana mengajarkan semangat itu di
sekolah, tempat kaum muda menempa ilmu. Apalagi, justru kenyataan
memprihatinkan yang muncul di sekolah terkait penghayatan Sumpah Pemuda.
Ahli pendidikan Connely dan
Clandinin (1988) menekankan pentingnya pemahaman dalam proses pembelajaran
siswa. Oleh karena itu, pemahaman dan penjiwaan guru atas Sumpah Pemuda akan
sangat memengaruhi pilihan kegiatan di kelas.
Dalam diskusi para guru di
Yayasan Cahaya Guru soal Sumpah Pemuda, beberapa kata kunci muncul sebagai
hakikat Sumpah Pemuda, misalnya ”keberagaman”, ”kesatuan”, dan ”kebangsaan”.
Namun, saat ditanya sejauh mana kelas mereka mencerminkan ketiga kata kunci
itu, muncul kebimbangan. Bagaimana memaknai keberagaman? Bagaimana membangun
kesatuan di atas perbedaan agama, etnis, kelas sosial, dan jender?
Dalam pendidikan, ada tiga jenis
kurikulum yang diajarkan guru. Kurikulum eksplisit yang tertulis, kurikulum
implisit atau tersembunyi (hidden curriculum) ”diajarkan” tetapi tidak tertulis,
dan null curriculum yang sengaja dihilangkan dari proses pembelajaran (Eisner,
1979).
Minat
Guru
Maka, pemilihan dan penggunaan
buku teks tidak sepenting yang diyakini guru mengenai bahan ajarnya. Minat dan
kepedulian guru jauh lebih menentukan pendekatan materi ajar. Dalam tujuan
kurikulum nasional yang kini dipakai, disebutkan potensi sosial, budaya, dan
alam sebagai dasar pembelajaran yang kontekstual.
Jika potensi yang pasti beragam
menjadi dasar kegiatan, semangat Sumpah Pemuda tentu mudah ditangkap.
Masalahnya, seberapa jauh tujuan kurikulum dipahami sebagai bagian penting
proses pembelajaran?
Kurikulum tersembunyi berpengaruh
kuat melalui contoh sehari-hari yang tertangkap indera siswa. Oleh karena itu,
penting untuk menemukan kembali kegiatan sekolah yang mencerminkan pemahaman
”bersatu dalam perbedaan” atau perspektif keberagaman itu.
Sekolah-sekolah homogen dalam
status sosial-ekonomi, etnis, atau agama perlu dengan kesadaran penuh
menciptakan berbagai kesempatan itu. Beberapa sekolah mewujudkannya melalui
kegiatan kesenian dan olahraga. Sekolah lain memiliki program tinggal bersama
(live in) berbagai kelompok masyarakat.
Sejumlah LSM mengupayakan ajang
berbagi bersama guru seperti dilakukan oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama
Islam Indonesia, Rahima dan Association for Critical Thinking, Paras
Foundation, Persekutuan Sahabat Gloria, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,
ataupun Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Cahaya Guru
melalui Komunitas Guru, Kebangsaan dan Keberagaman.
Memahami
Keberagaman
Ada banyak keberagaman di
sekolah. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, agama, budaya, intelektual,
mental, dan fisik hanya sebagian di antaranya. Akan tetapi, apakah siswa sudah
mendapatkan perspektif keberagaman sebagai bagian dari kebangsaan mereka?
Sudahkah sekolah menyuburkan keberagaman sebagai kekayaan bangsa?
Sebenarnya sekolah negeri bisa
diandalkan sebagai tempat pendidikan heterogenitas yang tak terbatas. Namun,
kenyataannya saat ini justru sekolah negeri cenderung meninggalkan semangat
Sumpah Pemuda.
Di beberapa sekolah negeri muncul
keharusan menggunakan jilbab dan baju koko pada hari Jumat. Doa saat upacara
pun dalam bahasa Arab. Akibatnya, makin sedikit siswa non-Muslim masuk ke
sekolah negeri.
Pemerintah justru tidak
mengajarkan keberagaman karena tidak mengakomodasi siswa atau guru dengan
berbagai latar berbeda untuk berperan di sekolah. Mata kita akan segera
menangkap makin berkurangnya warna-warni pemangku kepentingan melalui pemilihan
seragam, upacara bendera, kesempatan berdoa, kesempatan menjadi ketua kelas,
dan berbagai kesempatan lain. Sekolah negeri tidak lagi merengkuh seluruh anak
bangsa untuk belajar di lingkungan ini.
Kompetensi ”pengembangan budaya”
ternyata hanya selintas dalam Dimensi Kepribadian Kepala Sekolah yang
ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan serta diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13/2007 tentang Standar
Kepala Sekolah. Tidak ada tuntutan untuk memiliki perspektif keberagaman dalam menjalankan
tugas sehari-hari.
Maka, harapan bahwa kegiatan di
sekolah mencerminkan kebinekaan kita dan semangat bersatu dalam satu tanah air,
satu bangsa, dan satu bahasa hanya terletak di tangan guru. Inikah sekolah
Indonesia kita?
Henny
Supolo Sitepu ;
Ketua
Yayasan Cahaya Guru
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi