Sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928, bangsa Indonesia sudah berjanji sepenuh hati menjunjung bahasa Indonesia.
Lantaran penjunjungan itu sudah berlangsung 84 tahun, boleh diyakini bahwa
seluruh rakyat Indonesia sudah mahir menggunakan bahasa resmi bangsanya sendiri
ini.
Namun keyakinan itu segera jadi
kekagetan. Sebab, menurut penelitian Krisanjaya, M. Hum, ahli linguistik
Universitas Negeri Jakarta, orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia
secara benar cuma 16,77 persen. Selebihnya berbahasa daerah, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat jelata berpendidikan rendah. Atau berbahasa Indonesia
pasar, bagai yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah berpendidikan cukup.
Yang ganjil, dalam keterbatasan
berbahasa Indonesia itu kontaminasi bahasa Inggris tampak begitu riuh, dalam
tutur maupun dalam karya tulis. Bahkan dalam pidato resmi di depan publik
Indonesia, bagai yang kerap dilakukan sejumlah tokoh masyarakat, pejabat
tinggi, bahkan Presiden, pada tahun-tahun terakhir. Realitas ini menjadi unik
dan aneh ketika disandingkan dengan kenyataan lain yang menyebutkan: penguasaan
bahasa Inggris orang Indonesia justru terbilang sangat rendah! Setidaknya
menurut lembaga English First.
Lembaga ini sejak 2007 melakukan
penelitian lewat tes secara online atas 2 juta orang dewasa di 44 negara yang
tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Hasilnya, Indonesia
menduduki nomor 34 dengan meraih nilai cuma 44,78. Sementara Norwegia yang
meraih nilai 69,09 masuk kategori "very high proficiency", Indonesia
"very low proficiency".
Bangsa
Mengambang
Sastrawan Sutan Takdir
Alisjahbana pernah berkata bahwa, apabila sebuah bangsa "kurang
berkehendak" menguasai bahasa asing, bangsa itu harus menguasai
sebaik-baiknya dan sebangga-bangganya bahasanya sendiri. Kampiun bahasa
Indonesia (yang pemuja Barat) ini menunjuk Spanyol, Portugal, Tiongkok, dan
Jepang sebagai contohnya. Dan bangsa Indonesia diindikasikan sebagai bagian
dari yang "kurang berkehendak".
Meski "kurang
berkehendak", gegar budaya bahasa Inggris ternyata sudah kuat berjangkit
di benak bangsa Indonesia sejak (sangat) lama. Bahasa buku Tuanku Rao karangan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang terbit dan populer puluhan tahun lalu,
adalah buktinya. Mari kita baca satu alinea tulisannya yang tampak antusias dan
beringgris-inggris itu.
"Dibandingkan kepada itu,
asal usul dari suku bangsa Batak di sekitar danau Toba malahan relatively
paling simple dapat re-constructed. How?? Dengan emparing Ethnology, Philology,
Mythology, and Folklore. Why?? Suku bangsa Batak hingga abad ke-XIX secara
sukarela berkurung in splendid isolation di pegunungan Bukit Barisan, selama
3000 tahun, selama lebih kurang 100 generations. Very strange custom untuk
sesuatu Suku Bangsa yang hidup di atas sesuatu pulau. How come??"
Gaya bahasa Indonesia model
begini pernah dikritik kencang oleh budayawan Remy Sylado dalam Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta, medio Oktober 2003. Dan jauh hari
sebelumnya, kecenderungan seperti itu dikecam oleh Presiden Sukarno lewat
pidato "Manipol Usdek" pada 17 Agustus 1959. Sukarno menyebutkan
bahwa bahasa semacam itu adalah presentasi anak bangsa yang tidak
berkepribadian, mengambang, dan kurang berharkat.
Pada tahun-tahun terakhir,
kecenderungan menggulirkan bahasa Inggris juga dilakukan di RSBI (Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional) di Indonesia. Celakanya, usaha penerapan itu
cenderung dipaksakan, lantaran dilakukan oleh guru-guru yang kurang menguasai
bahasa Inggris.
Cuma
Sofistikasi
Penyakit Inggris ini pada sepuluh
tahun terakhir semakin merasuki segala sisi. Sektor pariwisata tak hentinya
mencetak brosur berbahasa Inggris, bahkan ditambah juga Jepang dan Mandarin,
dengan tak sedikit pun menyentuh bahasa Indonesia. Padahal wisatawan domestik
yang membutuhkan brosur berkali-kali lipat banyaknya dibanding wisatawan asing.
Bahasa Inggris juga menggelitik
dunia kebudayaan Indonesia, dengan presentasi yang kentara pada kesenian,
seperti seni rupa dan seni lainnya. Padahal seni adalah sebuah wilayah profesi
yang sejak dulu dikenal membumi. Dari sekitar 850 pameran seni rupa yang
relatif penting sejak 2001, tak kurang dari 450 judul yang menggunakan bahasa
Inggris. Padahal judul pameran yang dipampang-pampang di ruang publik Indonesia
itu adalah bendera yang mengibarkan roh pameran seni Indonesia. Simak secuplik
contoh judul ini, "Watching Information through Pressure &
Pleasure", pameran bersama (Jakarta, 2005); "Return to Innocence,
Return to Yourself", pameran foto Ve Dhanito (Jakarta 2011). Bahkan tak
sedikit katalogus pameran yang hanya mencantumkan bahasa Inggris, meski yang
menonton seratus persen orang Buleleng, Rogojampi, sampai Tasikmalaya.
Judul-judul di atas bukan hasil
penerjemahan dari judul berbahasa Indonesia, lantaran semua memang dibikin
dengan hasrat meninggalkan sama sekali bahasa negerinya. Pesta
"Inggris-ria" ini juga diikuti oleh banyak kitab susunan orang
Indonesia yang bicara tentang seni budaya Indonesia. Kitab yang samasekali
tidak menyertakan bahasa Indonesia itu dicetak di Indonesia, diterbitkan di
Indonesia, diedarkan di Indonesia, untuk orang Indonesia.
Hasrat mereduksi kedaulatan
bahasa Indonesia seperti di atas menimbulkan tafsir berbagai-bagai. Ada yang
mengatakan itu adalah hal wajar dan niscaya di tengah pergaulan global. Ada
yang mengira itu cuma tren sofistikasi, intelektualisasi, untuk menggapai
elitisme. Ada yang menyebut itu bagian dari strategi pemasaran dan
internasionalisasi, agar "orang Inggris" tertarik. Padahal alangkah
cantik apabila para pelaku budaya membuat judul dalam bahasa Indonesia (yang
tak kalah gagah apabila diolah) untuk forum Indonesia. Dan versi Inggrisnya
didampingkan atau baru dimunculkan ketika memasuki ajang internasionalisasi.
Orang Indonesia tentu sah untuk
memakai bahasa bangsa lain dengan bangga, apalagi bahasa internasional seperti
bahasa Inggris. Tapi tidak elok apabila tindakan itu menyebabkan bahasa
Indonesia kesepian, bagai ibu yang tidak diakui anak-anaknya yang menjelma
menjadi Malin Kundang. Sejauh ini kita tetap beranggapan, ikrar Sumpah Pemuda
bukan cuma ornamentasi sejarah kebangsaan
Agus
Dermawan T ;
Kritikus,
Penulis Buku-Buku Berbasis Sosial, Seni, dan Budaya
KORAN
TEMPO, 25 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi