Seorang presenter radio terkenal,
juga guru komunikasi yang andal, datang ke Rumah Perubahan beberapa hari lalu.
Di sekolah komunikasinya yang banyak diminati kaum muda, juga di program
radionya, ia menemukan semakin banyak anak muda yang bingung berbahasa.
Ingin berbahasa Inggris tapi kurang
pas.Membuka percakapan dengan guru dalam bahasa Inggris tapi patah-patah.
Bingung memilih kata, apalagi pengucapannya. Bunyinya tak jelas. Namun,begitu
dilayani dalam bahasa Inggris, dijawab pakai bahasa Indonesia yang juga tak
jelas. Mungkin masih lebih jelas bicara dengan saudara kita di belahan timur
Indonesia yang bahasanya makin singkat.
Seperti “sapi nonton bola” yang berarti “saya
pergi nonton bola” atau di paling barat saat orang Aceh mengatakan air kelapa
dengan “ie u”. Tapi di mana pun mereka bersekolah, masalah yang dihadapi tetap
sama: anak-anak kita sungguh lemah mengungkapkan gagasan tulisan dalam bahasa
Indonesia. Sehingga berapa pun tingginya IPK akademis mereka, tetap saja sulit
siap pakai untuk bekerja karena tak bisa diminta membuat laporan, proposal,
atau bahkan minute of meeting sekalipun.
Bahkan banyak calon doktor yang gugur pada
tahap penulisan kesimpulan disertasinya. Selain bingung bahasa juga muncul
generasi alay yang gemar menggabungkan huruf dengan angka dan simbol. Meski
menyulitkan, orang tuanya ternyata ikutikutan alay. Beruntung masalah bahasa
belum menimbulkan perpecahan bangsa.
Tapi di Filipina, keretakan hampir terjadi
karena bahasa anak muda yang dikenal dengan istilah jejemon cukup membuat
Menaker-nya khawatir keunggulan daya saing tenaga kerja Filipina di dunia
internasional akan terganggu. Pasalnya mereka hanya saling mengerti di antara
mereka, sedangkan bahasa Inggris tak lagi dipahami.
Menjelang Hari Sumpah Pemuda akhir pekan ini,
ada baiknya kita merenungkan kembali sumpah para pemuda pada tahun 1928 yang
menyadari pentingnya bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia tengah mengalami ujian
yang berat, baik melalui gempuran budaya pop, bahasa asing maupun sikap mental
orang kalah yang membentuk mentalitas pecundang. Namun lebih dari itu, masih
adakah tokoh yang mau mengawal persatuan melalui bahasa yang indah ini?
Menghilangnya
Ahli Bahasa
Siapakah ahli bahasa Indonesia yang sekarang
dapat menjadi anutan kaum muda? Bila dulu ada mendiang Anton Moeliono dan Yus
Badudu, mungkin sekarang kita sulit mencari anutannya. Padahal nama-nama mereka
di era TVRI dulu tidak kalah populer dengan Rhoma Irama. Namun nama-nama ahli
bahasa sekarang tenggelam,tak bisa mengimbangi ahli ekonomi dan politik,apalagi
musisi dangdut atau stand up commedian.
Untuk mengambil hati kaum muda, bahasa
Indonesia juga butuh role model, bahkan “selebritas” yang tak kalah persuasif.
Namun apakah benar pemerintah menaruh perhatian dalam membina bahasa persatuan
ini? Bila untuk sila pertama Pancasila saja negara rela mengucurkan dana besar
mencetak sarjana-sarjana agama, berapa besar negara mengucurkan dana untuk
mencetak sarjana bahasanya sendiri?
Saya bahkan khawatir,pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah- sekolah tidak lagi diberikan oleh guru-guru hebat seperti
yang pernah dialami generasi saya. Padahal kini Direktorat Kebudayaan sudah
berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan. Bahkan wakil menterinya sudah
ada. Yang belum ada adalah insentif untuk menumbuhkan kecintaan orang muda
dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.Juga belum terlihat
studi bahasa sebagai studi yang menarik.
Masa depan lulusan ilmu bahasa, apalagi bahasa
Indonesia, belum dipikirkan dengan baik. Bidang studi ini praktis hanya bisa
menerima mahasiswa yang paling sedikit, lalu fasilitasnya juga jauh dari
memadai. Saya kira beasiswa yang tersedia juga tidak banyak.Kalaupun ada,ia
kalah populer dengan ilmu komputer yang sedang seksi. Tidak bisakah dilakukan
intervensi yang lebih menarik? Yang jelas,ilmu bahasa,terlebih bahasa
persatuan, memerlukan revitalisasi yang amat serius.
Ilmuwan bahasa juga perlu menjelajahi bahkan
mengawinkan ilmunya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mengembalikan
kejayaan bahasa persatuan. Bagi saya bahasa adalah pemandu karakter bangsa,
pemersatu sekaligus pembentuk masa depan. Hanya dengan bahasa yang baik, negeri
ini mampu menghasilkan politikus-politikus yang bijak atau ilmuwan kelas dunia.
Bahasa Pecundang
Tentu saja kerancuan bahasa bukanlah
semata-mata masalah bahasa dengan segala elemen yang dipelajari ilmuwan
bahasa.Bahasa adalah cerminan watak dan merupakan ungkapan pikiran bangsa.
Setiap kali memasuki era baru, tak dapat pula dimungkiri suatu bangsa pasti
mengalami kegalauan. Di era demokrasi kita menyaksikan kegalauankegalauan itu
dengan manusiamanusia yang beralih dari kepribadian yang terbelenggu dan pasif
menjadi agresif dan lepas kendali.
Kita belum benar-benar memiliki pemimpin
dengan kualitas bahasa yang mampu menghormati dirinya sendiri sekaligus respek
terhadap orang lain. Manusia assertiveyang harus kita bangun masih jauh
panggang dari api. Maka setiap kali menyaksikan tayangan-tayangan demokrasi di
televisi yang diramaikan politisi, pengamat, LSM, dan akademisi (apalagi kalau
ada pengacara), masyarakat hanya bisa merasakan kegalauan dan bingung bahasa.
Bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa
bangsa yang berbahagia, melainkan bahasa campuran antara kepentingan ekonomi,
transaksional, kekuasaan, dan ketidakpuasan. Bahasa kemenangan yang menimbulkan
rasa kebahagiaan tenggelam di antara prahara politik uang dan kekuasaan. Yang
melahirkan bahasa kaum pecundang. Ya itulah bahasa orang-orang kalah yang
menurut psikolog Denis Waitley sebagai ungkapan cara berpikir orang-orang yang
akan bermuara pada kekalahan.
Kaum pecundang akan selalu menyuarakan
ketidakmampuan, ketiadaan sumber daya dan permodalan (constraint, not
opportunity), rasa sakit yang ditonjolkan (“the pain”, not “the gain”), alasanalasan
yang dibuat (bukan solusi), ancaman dan konflik (bukan persaudaraan dan
kepedulian), terkurung oleh masa lalu (bukan melihat ke depan), menyerang atau
menyalahkan orang lain (bukan menunjuk dirinya sendiri sebagai sumber masalah),
tahu sedikit tetapi bicaranya banyak (bukan banyak mendengar meski sudah banyak
tahu),dan seterusnya.
Makanya kita lebih banyak memiliki provokator
daripada pekerja sosial, lebih banyak koruptor yang tak tahu malu ketimbang
pemberi kurban yang ikhlas. Kita lebih banyak melahirkan “motivator” ketimbang
wirausaha sungguhan karena sudah merasa serbamengerti meski usahanya belum
seberapa besar. Kita lebih banyak menemukan orang yang ingin jalan pintas
dengan jurus sukses dua menit ketimbang kerja keras atau lebih memilih “cara
kepepet” daripada melakukan “persiapan” yang panjang.
Bahasa adalah soal rasa,dia berinteraksi
dengan aneka motivasi,kejadian, dan tuntutan zaman. Bahasa Indonesia adalah
bahasa persatuan yang mungkin jauh lebih penting ketimbang armada nasional, infrastruktur
fisik, atau alatalat persatuan lainnya. Yang jelas, daya tariknya harus
diangkat kembali setinggi bintangbintang di langit
Rhenald
Kasali ;
Ketua
Program MM Universitas Indonesia
SINDO,
25 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi