Belum senyap perbincangan
mengenai perkelahian antarsiswa di Jakarta, kita kembali melihat perkelahian menggunakan
instrumen kekerasan oleh mahasiswa di Makassar.
Dua mahasiswa tewas. Yang
mengerikan, keduanya justru tewas di rumah sakit saat mengunjungi
kawan-kawannya yang sedang dirawat karena terluka.
Kekerasan yang melibatkan
mahasiswa memang cukup unik di Makassar. Selain frekuensi cukup tinggi, pola
kekerasannya pun berbeda dengan apa yang terjadi di banyak daerah lain.
Di banyak tempat, kekerasan
biasanya terjadi antara mahasiswa dan aparat keamanan, misalnya saat mahasiswa
sedang berdemonstrasi menentang ketidakadilan. Di Makassar, tidak hanya
demikian. Kekerasan acap terjadi antarmahasiswa di dalam satu perguruan tinggi.
Yang menyedihkan, kekerasan seperti ini terkesan direproduksi dan tidak ada
pemotongan rantai informasi sehingga terus berulang.
Dari 1992 sampai 2011, paling
tidak terdapat 69 kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa di Makassar. Dari
jumlah ini, 41 persen terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), 28 persen
di Universitas Hasanuddin (Unhas), 9 persen di Universitas Muslim Indonesia
(UMI), dan 21 persen di kampus-kampus lain.
Pemicu terjadinya kekerasan
sebagian besar tidak berkaitan dengan gerakan ideologis sebagaimana terjadi di
banyak gerakan mahasiswa, misalnya menentang kebijakan tertentu yang mereka
anggap tidak memihak kepada rakyat. Sebagian besar, 29 persen, dipicu oleh
permasalahan antarfakultas/program studi disusul oleh permasalahan pribadi (23
persen). Kekerasan akibat kebijakan hanya 9 persen.
Reproduksi
Baik yang terjadi di UNM maupun
Unhas, dua kampus yang sering menjadi tempat terjadinya kekerasan, terdapat
pola yang sama. Kedua kampus itu selalu melibatkan mahasiswa fakultas teknik
dan fakultas nonteknik. Di UNM, lebih banyak melibatkan mahasiswa fakultas
teknik dan fakultas bahasa dan seni, sedangkan di Unhas lebih banyak melibatkan
mahasiswa fakultas teknik dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.
Kekerasan yang memola ini tidak
lepas dari adanya reproduksi yang belum terputus. Para mahasiswa baru
memperoleh ”sosialisasi” dari para senior, bahkan alumni, tentang siapa yang
menjadi ”musuh”. ”Sosialisasi” semacam ini biasanya terjadi saat penerimaan
mahasiswa baru.
Pemahaman tentang ”musuh”
kolektif ini acapkali menjadi minyak pada konflik-konflik yang sebetulnya
sangat kecil. Misalnya, ada mahasiswa dari fakultas teknik yang sedang
berselisih dengan mahasiswa fakultas bahasa dan seni untuk masalah yang sangat
personal dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan kolektif. Namun, tawuran
terjadi begitu mahasiswa yang bertikai itu membawanya ke wilayah kolektif.
Memotong
Pertikaian semacam itu memang
tidak masuk akal, tetapi inilah realitas yang terjadi. Para petinggi kampus
juga tak kurang-kurang berupaya mengatasi masalah yang sangat memalukan itu. Di
UNM pernah dibuat ”Tembok Berlin” yang memisahkan fakultas teknik dengan
fakultas bahasa dan seni. Namun, upaya ini tidak cukup efektif. Unhas bahkan
memindahkan fakultas teknik ke daerah lain.
Upaya-upaya yang telah dilakukan
selama ini memang perlu diapresiasi. Namun, upaya yang lebih sistematis dan
terintegrasi harus terus-menerus dilakukan. Upaya ”memisahkan” kelompok
mahasiswa yang berkonflik, misalnya, pada akhirnya hanya bersifat temporer
karena mereka masih bisa bertemu di ruang lain yang lebih terbuka.
Ujung dari semua upaya yang
dilakukan adalah bagaimana memotong reproduksi kekerasan yang melibatkan
mahasiswa sehingga tidak akan terulang di kemudian hari. Semua pemangku
kepentingan, mulai dari mahasiswa, alumni, dosen, komunitas lain yang terakhir,
harus sama-sama memiliki kesadaran bahwa konflik kolektif itu harus menjadi
catatan hitam dan catatannya harus ditutup. Semua pihak harus menyadari bahwa
kekerasan semacam itu tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga akan merugikan
diri sendiri, korps mahasiswa, dan institusi.
Pandangan
Negatif
Seorang kawan dari Makassar dalam
suatu kesempatan bercerita tentang branding mahasiswa yang jelek di mata
masyarakat. Suatu hari seorang tukang becak mendapati dua kawannya sedang
bertikai dan hendak berkelahi. Tukang becak itu berkata kepada temannya, ”Kalian
bertengkar kayak mahasiswa saja!”
Memang, memangkas reproduksi
kekerasan semacam itu tidak mudah dilakukan. Selain berkaitan dengan kegiatan
dan organisasi mahasiswa, pemangkasan itu juga tidak lepas dari kurikulum yang
kita ajarkan.
Untuk kurikulum, misalnya, perlu
kita pikirkan untuk merumuskan ulang nilai-nilai keberagaman, toleransi
(terhadap perbedaan identitas dan keilmuan), dan resolusi konflik serta
perdamaian di dalam mata kuliah pengembangan kepribadian dengan melibatkan
universitas dan fakultas. Kurikulum semacam ini diharapkan bisa menjadi
pembunuh semangat kolektif yang tidak masuk akal selama ini.
Melihat realitas bahwa pertikaian
antarmahasiswa di Makassar sering melibatkan mahasiswa fakultas teknik dan
fakultas nonteknik, perlu dipikirkan penataan organisasi fakultas teknik.
Di dua universitas itu, fakultas
teknik bercorak tunggal, melibatkan program studi dan mahasiswa yang cukup
besar. Ke depan perlu dipikirkan upaya memecah fakultas teknik ke dalam dua
atau lebih fakultas. Dengan demikian, kesadaran kolektif yang berlebihan di
fakultas yang bercorak macho tersebut bisa diredam dan tawuran pun dihentikan.
Kacung
Marijan ;
Guru
Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud
KOMPAS,
17 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi