MASIH hangat dalam ingatan dua
mahasiswa Universitas Negeri Makassar meninggal karena tawuran. Sebelumnya,
seorang pelajar di Jakarta tewas akibat tawuran.
Stasiun TV pernah menyiarkan bentrok fisik di
tiga kampus sekaligus, yakni di Medan, Jogja, dan Ambon. Sangat memprihatinkan.
Bahkan, pernah terjadi tawuran antara mahasiswa dan sopir angkutan kota di
Makassar. Di Ampenan, Medan, dan Makassar juga terjadi mahasiswa yang merusak
gedung dan sarana ajar, termasuk laboratorium. Belum lagi kekerasan ala IPDN
dan Akademi Kepolisian.
Kerusuhan fisik seperti itu sudah terlalu jauh
dari gambaran pola pikir dan budaya akademis yang aktivitas utamanya bergelut
dengan ilmu serta nalar (rasio) dengan metode yang tersistem. Kini kampus tak
ubahnya menjadi komunitas kekerasan, kepentingan kelompok, serta komunitas
masyarakat yang tidak ilmiah dan tidak rasional. Lebih mengandalkan fisik
daripada nalar. Salah siapa?
Kalau banyak kecelakaan pesawat terbang,
kereta api terguling, dan jembatan jebol, orang dengan mudahnya menuding serta
meminta pertanggunganjawaban menteri perhubungan. Kalau banyak wabah penyakit,
yang dicecar adalah menteri kesehatan. Jika terjadi kerusuhan kampus, siapa
yang diminta mundur? Rektor atau ketua senat akademis universitasnya atau
Mendikbud?
Sebenarnya, tidak semudah itu menuding sang
menteri untuk bertanggung jawab. Sebab, kerusuhan tersebut bisa timbul karena
sistem yang ada saat ini tidak menciptakan iklim budaya akademis, budaya
kampus. Para pimpinan universitas, menurut saya, tidak begitu paham dengan
budaya akademis. Masih banyak perguruan tinggi yang hanya menerapkan budaya
lokal di mana ia berada. Kalau berada di Medan, ia pakai "budaya
Medan". Kalau ada di Jogja, pakai "budaya Jawa".
Sebenarnya, perguruan tinggi punya budaya
akademis yang khas dan universal, yang menjadi iklim kampus dalam menggeluti
dunia ilmiah. Iklim ini seharusnya sama di mana pun, di Amerika, Jawa, Inggris,
dan lain-lain. Budaya akademis disebut juga budaya ilmiah atau budaya
profesional.
Perguruan tinggi di Indonesia masih belum
terbiasa dengan budaya akademis, setidaknya belum mempratikkan budaya akademis
secara utuh. Budaya akademis pun tidak pernah diajarkan di perguruan tinggi
kita sehingga para dosen, guru besar, dan para pimpinan perguruan tinggi tidak
banyak tahu tentang budaya akademis. Akibatnya, budaya akademis bagaikan benda
maya yang kehadirannya tak jelas.
Mempelajari dan mengembangkan ilmu akan
mengalami kemudahan bila iklim di perguruan tinggi selalu berada dalam budaya
akademis. Seringnya budaya nonakademis yang mendominasi perguruan tinggi justru
mudah menghambat kegiatan akademis karena banyak bermain dengan emosi dan tata
cara yang tidak baku.
Kegiatan akademis bergelut dengan ilmu,
pendapat, gagasan, ajaran, seminar, penelitian, membuat media ilmiah, forum
diskusi, debat, dan lain-lain. Budaya akademis menuntut para civitas academica
jujur, tidak memihak, dan tidak membentuk grup-grupan atau kubu kepentingan.
Tidak asal bunyi, harus memakai alat bukti, referensi, dan alat ukur, serta
tidak memakai otoritas kekuasaan sebagai alat pembenaran. Ada kebebasan
akademis.
Budaya akademis akan membawa civitas academica
menjadi ilmuwan dan calon ilmuwan (para mahasiswa) yang mengerti cara bereaksi
terhadap berbagai masalah ilmiah dan publik layaknya seorang ilmuwan. Nah, bila
sudah menjadi pejabat publik, dia akan bisa bekerja secara profesional.
Segala macam masalah yang kontroversial harus
dibawa dalam forum debat atau forum diskusi. Di situ kita beradu argumentasi
secara rasional, bukan bertengkar secara emosional. Bukan pula apriori, show of
force, gagah-gagahan fisik, pamer kekuatan, dan tawuran. Yang begitu bukan cara
akademis, itu tak perlu sekolah. Demo bukan kegiatan akademis! Apalagi jika
bentrok fisik, merusak, menyiksa, dan membunuh di dalam kampus.
Nah, bagaimana para mahasiswa bisa berbudaya
akademis kalau dalam kampusnya sendiri tidak pernah mengenal budaya akademis?
Tidak ada forum debat yang sehat. Kalau di sana tidak tersedia forum sebagai
saluran nalar yang akademis, mereka akan mudah masuk dalam kegiatan demo
kekuatan fisik, berdasar pada jumlah orang, yang sama sekali tidak akademis.
Karena itu, para mahasiswa sejak pertama masuk
perguruan tinggi harus diberikan materi budaya akademis agar mengerti arah,
iklim, dan budaya yang kompatibel dengan ilmu yang akan dipelajarinya. Kalau
budaya akademis adalah sesuatu yang baru di perguruan tinggi itu, para dosen
dan guru besar juga harus mendapat penataran subjek yang sama. Tanpa perlu malu
atau gengsi.
Pendidikan adalah hari depan bangsa. Ia adalah
kebutuhan publik, kebutuhan bangsa, apa pun suku kita, agama, dan budaya kita.
Apa yang akan terjadi dengan bangsa ini bila pendidikan anak anak bangsa tidak
berada dalam arah yang benar? Kalau itu dibiarkan, bangsa ini akan hancur,
terpuruk penuh anarki. Anarki sudah merebak, jangan biarkan ia merajalela.
Djohansjah
Marzoeki ;
Guru
Besar Emeritus Universitas Airlangga
JAWA
POS, 17 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi