Tak dapat disangkal, guru
merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.
Guru berpikir jauh ke depan,
bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak
telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum
baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum
lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.
Untuk pertama kali dalam sejarah,
dunia kerja dan sekolah diisi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil,
generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi
celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja”
(generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi
terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas,
yang muda pakai skype.
Generasi kertas bersekolah dalam sistem
linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar integratif,
lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan
tidak lagi memisahkan kelas (teori) dari lab.
Lewat studinya, The Institute for
the Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan mengalami
usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70
tahun, harus terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya.
Generasi yang terakses jaringan TI bisa lebih cepat dari orangtuanya
merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan dengan
celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan.
Ketika guru kolot yang baru belajar Facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum
muda sudah menjelajahi literatur terbaru di kampus Google.
Saat orang tua berpikir kuliah di
fakultas tradisional (hukum, ekonomi, kedokteran), generasi baru
mengeksploitasi ilmu masa depan (TI kreatif, manajemen ketel cerdas, atau
perdapuran kreatif). Cita-citanya menjadi koki, perancang busana, atau profesi
independen lain. Ketika geologiman generasi kertas menambang di perut bumi,
mereka merancang robot-robot raksasa untuk menambang di meteor. Bila eksekutif
tua rindu diterima di Harvard, generasi baru pilih The Culinary Institute of
America.
Bahasa
dan Fisika
Sulit bagi generasi kertas
menerima pendidikan yang integratif. Bagi kami, fisika dan bahasa adalah dua
subyek terpisah, beda guru dan keahlian. Satu otak kiri, satunya otak kanan.
Kita mengerti karena dibesarkan dalam rancang belajar elemen, bukan integratif.
Dengan cara lama itu, bingkai berpikir kita bahasa diajarkan sarjana sastra,
fisika diajarkan orang MIPA. Dari model sekolah itu wajar kebanyakan aktuaris
kurang senyum, ilmunya sangat serius, matematika. Namun, saat meluncurkan
program MM Aktuaria minggu lalu, saya bertemu direktur aktuaria sebuah
perusahaan asuransi lulusan Kanada yang punya hobi melukis dan mudah senyum.
Mengapa di sini orang pintar susah senyum?
Sewaktu mengambil program doktor,
saya menyaksikan Gary Stanley Becker (Nobelis Ekonomi, 1992) menurunkan rumus
matematika Teori Ekonomi Kawin-Cerai dengan bahasa yang indah. Mendengarkan
kuliahnya, saya bisa melihat dengan jelas mengapa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi bisa membuat keluarga-keluarga Indonesia berevolusi menjadi orangtua
tunggal.
Rendahnya komunikasi dan
pengambilan putusan dalam pen- didikan dasar jelas akan membu- at generasi baru
kesulitan meraih pintu masa depannya. Di Jepang, seorang kandidat doktor asal
Indonesia digugurkan komite penguji bukan karena kurang pandai, melainkan buruk
bahasanya. Ia hanya pakai bahasa jari dengan kalimat ”from this, and then this
…, this…, this…, and proof”. Waktu saya tanya, para penguji berkata, ”Sahabatku,
tanpa bahasa yang baik, orang ini tak bisa ke mana-mana. Ia harus belajar
berbahasa kembali.”
Tanpa kemampuan integratif,
kemampuan kuantitatif, anak-anak pintar Indonesia tak akan mencapai impiannya.
Jadi, kurikulum mutlak harus diperbaiki. Jangan hanya ngomel atau saling
menyalahkan. Ini saat mengawal perubahan. Namun, catatan saya, Indonesia butuh
life skills, yakni keterampilan melihat multiperspektif untuk menjaga persatuan
dalam keberagaman, assertiveness untuk buang sifat agresif, dan asal omong dalam
berdemokrasi. Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai
cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode
pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung.
Inilah saat guru dan orangtua
berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara
berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI
dengan rentang usia jauh lebih panjang.
Rhenald
Kasali ;
Guru
Besar FE UI
KOMPAS,
07 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi