PENDIDIKAN lalu lintas kerap hanya diingat untuk kembali
dilupakan. AQJ, putra musisi Ahmad Dhani, akhirnya pulang dari rumah sakit.
Akan ditentukan apakah bocah 13 tahun itu kena vonis pidana karena menewaskan
tujuh orang atau ada ''mukjizat'' sehingga dia tidak harus menjadi pesakitan di
meja hijau.
Kecelakaan lalu lintas (laka lantas) dengan korban
atau pelaku pelajar sesungguhnya bukanlah problem hukum semata. Selain sanksi
damai, tilang, atau vonis pidana, telah banyak hukuman diterapkan. Disuruh
menghafalkan Pancasila atau dijemur sambil menghormat bendera. Toh,
kasus laka lantas kian membubung. Penegakan hukum masih berorientasi pada
penindakan. Belum benar-benar pada pencegahan agar tidak semakin banyak pelajar
yang terlibat laka lantas.
Tingginya laka lantas pelajar tetap menjadi
keprihatinan saat peringatan Hari Korps Lalu Lintas pada 22 September. Pada
Januari hingga Juni 2013, laka lantas yang melibatkan pelajar dan mahasiswa
telah mencapai 200 ribu kasus. Dalam semester yang sama, tercatat 290 ribu atau
lebih dari 1.600 pelajar per hari ditilang polisi. Kondisi tersebut bisa
mengindikasikan begitu besarnya jumlah pelajar di jalanan sekaligus betapa
banyaknya pelanggar.
Dalam sebuah lomba debat tentang kelalulintasan di
Polres Sidoarjo, Jawa Timur, ada peserta yang mengusulkan dispensasi
persyaratan usia kepemilikan surat izin mengemudi (SIM). Mereka adalah pelajar
SMP yang rata-rata masih berusia 13 tahun. Seusia AQJ. Siswa-siswi itu berharap
ada SIM khusus pelajar. Batas usia kepemilikan SIM tidak perlu 17 tahun, tetapi
cukup 13 tahun. Syaratnya pun bukan KTP, melainkan hanya kartu pelajar.
Mereka beragumentasi, membawa motor sendiri
meringankan beban orang tua. Biaya transpor irit. Mereka juga merasa telah
mahir berkendara. Malahan, orang tua sendiri yang melatih. Sayangnya, mereka
belum paham benar bahwa spirit syarat pemegang SIM sebenarnya bukan melulu soal
keterampilan berkendara, tetapi juga kemampuan berlalu lintas serta kematangan
psikis.
Berlalu lintas menyangkut sikap disiplin, tertib,
peduli, dan tanggung jawab. Berlalu lintas meliputi aspek hukum seperti
mengetahui pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta memahami dan menaati rambu serta isyarat lampu lalu lintas
sampai markah jalan. Kemudian, kematangan sikap sosial seperti memberikan
kesempatan kepada penyeberang jalan dan tidak menyalahgunakan trotoar. Juga,
aspek psikologis. Yaitu, mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi diri
sendiri. Termasuk, kenyamanan orang lain seperti tidak main klakson atau gas
serta tidak memotong jalan atau kebut-kebutan.
Di jalanan, anak-anak berinteraksi dengan
macam-macam karakter, usia, dan profesi. Jalan raya menjadi semacam
laboratorium belajar. Semacam sekolah dengan para pengendara sebagai gurunya.
Ketika sering melihat orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, anak-anak
berkesimpulan bahwa melanggar aturan itu adalah hal biasa.
Apalagi, ketika di boncengan motor atau di dalam
mobil, anak-anak menyaksikan sendiri ayah, ibu, atau kakak mereka melanggar
lalu lintas. Lalu, lolos dari polisi lalu lintas dengan bangganya. Dalam teori
belajar behaviorisme, pengalaman yang menimbulkan efek senang akan cenderung
diulangi. Jalanan adalah pembentuk karakter. Orang dewasa merupakan model
terdekat. Anak-anak adalah imitator terbaik.
Pada 2010, Kepolisian Republik Indonesia dan
Kementerian Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dalam MoU tentang
pendidikan lalu lintas dalam pendidikan nasional. Pendidikan kelalulintasan
bisa berintegrasi dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn).
Bahkan, modul integrasi antara materi kelalulintasan dan PKn sudah terealisasi
untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA. Namun, masih sangat
kecil sekolah-sekolah yang telah melaksanakannya.
Sekolah-sekolah sebenarnya telah mendukung mulusnya
pencapaian tersebut. Secara intrakurikuler, pendidikan kelalulintasan bisa
terintegrasi dalam mata pelajaran. Bahkan bukan hanya PKn. Pendidikan
kelalulintasan bisa menjadi pendidikan karakter yang termuat secara
tematis-integratif dengan beragam mata pelajaran. Misalnya, penggunaan helm
dihubungkan dengan anatomi tubuh dalam pelajaran biologi. Materi sains dan
teknologi informasi disisipi bahaya berponsel ketika berkendara. Itu klop
dengan bidikan Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter.
Memang pertambahan jumlah kendaraan sangat jomplang
dengan penambahan kapasitas jalan. Kepemilikan kendaraan semakin mudah dan
murah. Menyerahkan sepenuhnya kepada polisi lalu lintas? Terlalu berat.
Seberapa pun polantas berguru ilmu traffic engineering, mereka
tetap kewalahan jika pertumbuhan jumlah kendaraan tidak terkendali.
Karena itu, perilaku pengendara wajib dipersiapkan
sejak dini. Pendidikan kelalulintasan bisa menjadi salah satu kecakapan hidup (life
skills) bagi gaya hidup (lifestyle) mereka.
Fathur Rozi ;
Wartawan
Jawa Pos
JAWA
POS, 30 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi