KEPRIHATINAN Presiden SBY saat memahami hegemoni
politik kepala daerah terhadap profesi guru belakangan ini patut memperoleh
perhatian. Kebijakan pendidikan terus-menerus dan susul-menyusul
mengambinghitamkan guru sebagai generasi bisu, inferior, dan menjadi bagian
bidak-bidak kekuasaan kepala daerah. Betapa besar kuasa kepala daerah atas guru
sehingga nasib pendidik senantiasa digenggam dalam arus kekuasaan.
Guru bisa menjadi bagian dari mobilisasi kekuasaan.
Tetapi bila ia beroposisi terhadap kekuasaan, karier bisa terancam: dipindah,
disingkirkan, dimarginalisasikan sesuai kehendak kepala daerah. Ada paradoks
nasib yang bisa dialami guru dalam arus kekuasaan kepala daerah. Bila menjadi
bagian mesin politik kekuasaan kepala daerah, kemungkinan guru memperoleh
kesempatan mendapatkan kekuasaan.
Meskipun, jabatan itu tak ada kaitan sama sekali
dengan dunia pendidikan.
Apakah guru memang benar-benar bisa membebaskan
diri dari arus besar pusaran politik kepala daerah? Selama ini guru
diperlakukan sebagai komoditas kebijakan pendidikan kepala daerah. Guru
diposisikan sebagai objek, bahkan dipersalahkan dalam segala kemerosotan mutu
pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang membawa dampak hegemoni politik
terhadap guru telah menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Karena itu, Presiden SBY memerintah Mendikbud,
Mendagri, serta Menpan dan RB di depan Ketua Umum PB PGRI selesai pembukaan
Kongres PGRI beberapa waktu lalu untuk mencegah keberlarut-larutan hegemoni
politik terhadap guru. Memerdekakan guru dari ketakutan terhadap hegemoni
politik kepala daerah akan bermakna pada peningkatan mutu pendidikan, bila tak
ingin mengulangi sejarah politik masa lalu, yang meletakkan guru sebagai mesin
politik partai berkuasa.
Pada masa lalu, hegemoni kekuasaan terhadap guru
merasuki kurikulum, bahan ajar, sikap perilaku, dan ideologi guru terhadap
kekuasaan. Kurikulum yang mendukung program pemerintah, bahan ajar yang membawa
harmoni bagi program pemerintah, dan perilaku guru yang memiliki loyalitas
tunggal terhadap kekuasaan, menjadi syarat utama guru semasa itu.
Niat baik pemerintah untuk meretas desentralisasi
guru mesti diikuti beberapa syarat yang memerdekakan nasib guru dari
hegemoni kekuasaan yang lebih besar seperti masa lalu. Hendaknya guru kembali
pada fitrah sebagai pendidik, yang tak terombang-ambing kepentingan-kepentingan
politik. Guru menumbuhkan kreativitas, menumbuhkan etos siswa dalam dinamika
zaman, dan memiliki kegairahan meningkatkan mutu pendidikan secara murni.
Bagaimana kita membebaskan guru dari hegemoni
politik kepala daerah agar dapat memberdayakan profesinya? Tiga tokoh pemerhati
pendidikan menjadi menarik untuk dikutip gagasannya. Pertama; gagasan Erich
Fromm. ìMencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan
menyembah berhala,î tulisnya. Inilah gagasan Fromm dalam pendidikan agar
individu tak kehilangan hakikat dirinya.
Kedua; gagasan Paulo Freire, yakni pendidikan yang
membebaskan, pendidikan yang memanusiakan. Jangan sampai berkembang
dehumanisasi dalam dunia pendidikan karena dikerdilkan lewat
ketidakadilan dan eksploitasi. Penerapan pendidikan yang membebaskan memerlukan
kekuatan politik: proyek-proyek pendidikan. Guru dan siswa sama-sama
menjadi subjek dalam tugas menciptakan pengetahuan.
Ketiga; gagasan pemerhati pendidikan yang lain,
yang tak kalah memikat datang dari Ivan Illich. Ia melihat celah alternatif
persekolahan. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah dipandang membunuh kehendak
banyak orang untuk belajar secara mandiri; pengetahuan diperlakukan ibarat
komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, diterima sebagai sejenis harta pribadi
oleh yang menerimanya, dan selalu langka di pasaran.
Mengembalikan Martabat
Kritik Erich Fromm, Paulo Freire, dan Ivan Illich,
merupakan katarsis bagi kita untuk menyelenggarakan pendidikan yang tak
terkungkung hegemoni politik. Kita tidak perlu mengembangkan skeptisisme dan
sinisme terhadap dunia pendidikan sebagaimana diulas Erich Fromm. Kita
tidak perlu melakukan revolusi membebaskan diri dari institusi
pendidikan— yang diidentifikasikan sebagai kaum penindas— untuk mengembalikan
humanisme seperti ditandaskan Paulo Freire. Kita juga tak perlu mengikuti
paradigma Ivan Illich, untuk ìmenggulingkan sekolah mapanî atau ìmembebaskan
kebudayaan dari sekolah.
Mestinya kita melihat kelemahan hegemoni politik
atas guru dan institusi pendidikan supaya bisa memberi sugesti untuk mencapai
mutu pendidikan yang diharapkan. Sudah waktunya kita tak memberangus institusi
pendidikan sebagaimana kritik tajam Ivan Illich. Ia berhasrat mengembalikan
martabat institusi pendidikan, memancarkan citra humanisme dan kebudayaan di
dalamnya.
Saat ini manajemen dan perlakuan terhadap guru
jelek dan tidak jelas arahnya. Jika pemerintah berkehendak memenuhi usul PGRI
supaya guru ditarik ke pusat atau setidak-tidaknya ke provinsi, pemerintah
harus menyiapkan sistem, perangkat, dan tenaga terpilih untuk mengurus.
Penyiapan itu supaya guru tidak keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya
yang sangat buas.
Sulistyo ;
Ketua
Umum Pengurus Besar PGRI, Anggota DPD Wakil Provinsi Jateng
SUARA
MERDEKA, 27 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi