Seorang ibu menulis di jejaring sosial, ia
khawatir masa depan anaknya menghadapi Kurikulum 2013. Apalagi ia baru saja
menerima pesan dari senior, ”Jangan harap anak-anak bisa hebat seperti generasi
kita.” Lewat tengah malam, karangannya diunggah melalui ponsel pintar. Dalam
sekejap komentar berdatangan. Semua datang dari orangtua sibuk yang baru bisa
menulis tengah malam.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum sekolah yang
belum tentu berhasil (kalau tak ada kerja sama), apalagi pada tahun-tahun awal.
Namun, bukankah kita hidup dalam peradaban continuous improvement?
Ibarat membangun gedung tinggi, tak akan
pernah jadi bila galian fondasi berantakan. Pantas ibu tadi gelisah. Anaknya akan memasuki
”pintu awal kekacauan” dari sebuah perubahan yang belum tentu berhasil pula.
Apalagi bila yang mengganggu lebih banyak daripada yang membantu. Di peradaban
sosial media, kita sudah saksikan lebih banyak orang iseng ketimbang yang
benar-benar memikirkan perubahan. Tambahan lagi, orangtua tak punya waktu
mendidik anaknya. Sekolah adalah sebuah ”kawah penggodokan”, tetapi harap
maklum ia hanya salah satu dari tiga pilar pendidikan selain orangtua dan
lingkungannya.
Tiga Jalur Belajar
Ibu tadi gelisah karena ia berasumsi masa
depan anaknya 100 persen di tangan sekolah. Orangtua susah payah mengumpulkan
uang, bekerja hingga larut malam, demi anak. Anak juga dikursuskan di berbagai
tempat. Kebanggaan orangtua terletak saat anaknya dapat ranking teratas,
nilai-nilainya 10 semua. Namun, si ibu lupa, sekolah hanya mengisi 30 persen
dari ruang belajar anak. Dengan demikian, sekalipun mendapat nilai 10 dari
sekolah, kalau nilai pendidikan dari orangtua dan lingkungan nol, anak hanya
mendapat nilai setara 3,3.
Berbeda dengan anak tetangga yang nilai
sekolahnya biasa-biasa saja, sebut saja 6, tetapi orangtua aktif mengajak
jualan di warung. Ia bisa dapat nilai 8 dari orangtua (karena dibina langsung)
dan 9 dari gemblengan lingkungan sehingga rata-rata jadi 7,67. Maka, anak yang
di sekolah biasa-biasa saja bisa jadi sarjana hebat, ilmuwan gigih atau
wirausahawan hebat. Sementara anak sekolah yang diberi predikat genius hanya
bisa memajang ijazah, jadi ”penumpang” dalam kehidupan.
Jadi, Kurikulum 2013 hanya sepertiga dari
seluruh kurikulum kehidupan. Bagi saya, penyederhanaan mata ajar bukanlah
musibah, melainkan tuntutan untuk memberi ruang anak mengasah kreativitas dan
cara berpikir yang lebih simpel agar lebih siap menerima edukasi orangtua dan lingkungan.
Masalahnya, sudah siapkah orangtua dan lingkungan mendidik anak-anaknya?
Laporan Guru
Bangsa besar tak akan membiarkan generasi
penerusnya dibesarkan dalam lingkungan kacau. Karena itulah, sejak Confusius,
bangsa-bangsa Asia percaya keluarga adalah alat pendidikan yang penting. Oleh
karena itu, gelisahlah orangtua-orangtua yang tak mengerti cara membuat
kurikulum bagi anak-anaknya, apalagi bila tak punya waktu. Orangtua bisa
mendesain kurikulum anak dengan memerhatikan aspek-aspek perkembangan anaknya
yang berbeda dengan anak lain. Jadi, kalau mau berubah, Kurikulum 2013 tidak
boleh tanggung-tanggung. Harus ada program yang jelas pada orangtua, termasuk
mendesain dan eksekusi kurikulum untuk anak di rumah, beserta pembaruan laporan
kemajuan belajar (rapor).
Adalah tak tepat memberi laporan kemajuan
belajar semata-mata menulis angka. Orangtua butuh laporan verbal tentang
kemajuan anaknya, menyangkut upaya, kemajuan, disiplin, partisipasi terhadap
diskusi, pergaulan, minat, kepatuhan, kreativitas, metodologi, hubungan
vertikal-horizontal, sikap-sikap sosial, dan sebagainya. Saya menemukan laporan
seorang guru pada salah satu mata ajar yang diajarkan di sekolah anak saya
(grade 12) di Selandia Baru seperti ini: ”Anak Anda mengalami kemajuan yang pesat
meski awalnya terlihat bingung dan frustrasi. Ia terlihat kesulitan mengikuti
dan memahami arahan yang diberikan dan harus lebih terbuka terhadap saran-saran
yang saya berikan. Namun, ia seorang pembelajar yang antusias dan tahu apa yang
ia sukai. Mendalami riset hal-hal kontemporer akan membantu masa depannya untuk
menemukan lebih banyak ide dan tema-tema tulisan, juga mempertajam daya
kritisnya dalam komposisi. Jika ia ingin terus mendalami topik ini....”
Saya kira, sebagai orangtua, saya akan paham membuat
kurikulum orangtua kalau membaca laporan seperti itu. Lagi pula apa guna
mengetahui anak kita berada di nomor berapa di kelas bila kita tak tahu apa
yang harus diperbaiki. Saya berharap banyak pada Kementerian Pendidikan untuk
terus memperbaiki kelemahan-kelemahan kurikulum yang dirancangnya. Namun, saya
juga berharap banyak dari orangtua agar turut mengisi kekurangan pada
anak-anaknya, yang kelak akan bertemu kami di tingkat universitas.
Rhenald Kasali ;
Guru Besar FEUI
KOMPAS, 05 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi