Menanti
Generasi Perubahan
Setelah 12 tahun rezim Orde Baru tumbang tahun
1998, Indonesia justru terjerembab ke dalam sumur tanpa dasar. Karut-marut
kondisi bangsa ini justru seperti makin kusut. Panggung politik-hukum
mementaskan drama: politik transaksional, koalisi pragmatis yang justru lebih
banyak bertengkarnya, politik perkoncoan dan dinasti politik yang menyebar
masif, hingga perselingkuhan penguasa-pengusaha yang ramai-ramai menggarong
uang rakyat.
Apa yang salah? Fondasi bangsa ini, mulai dari
dasar negara hingga beragam aturan, sebetulnya telah tersedia walaupun harus
diakui masih banyak yang perlu disempurnakan. Akan tetapi, persoalannya bukan
saja tak ingin menjalankan aturan itu secara konsisten, melainkan justru ada
upaya mencari celah agar tidak terjerat aturan itu. Inilah babak yang paling
menyedihkan, yaitu kerusakan mental bangsa, yang telah diinisiasi oleh elite
pemegang kewenangan/kekuasaan di lembaga eksekutif, legislatif, juga yudikatif.
Bagi kita, hari-hari membosankan itu selalu
berulang setiap hari. Ada saja pejabat atau politisi yang menjadi tersangka
korupsi, ada bupati yang diseret ke meja hijau karena korupsi, dan ada pegawai
pajak yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena penggelapan pajak.
Jadi, jangan bertanya sudah berapa banyak anggota DPR, baik di pusat maupun
daerah, yang terbelit kasus korupsi.
Beberapa kasus yang menghebohkan antara lain kasus
suap cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun
2004 yang menyeret 24 anggota DPR dari berbagai partai politik, kasus suap
proyek wisma atlet SEA Games di Palembang dan kasus proyek kompleks olahraga
terpadu di Hambalang (Bogor) yang menyebut banyak politisi, serta proyek-proyek
lain di banyak daerah.
Kasus-kasus korupsi itu umumnya mengeruk dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang sejatinya dikucurkan untuk kesejahteraan rakyat.
Modus yang paling kentara adalah mengutak-atik proyek dengan imbalan fee di
Badan Anggaran DPR. Calo- calo anggaran mengutip uang rakyat bahkan saat masih
dalam pembahasan.
Kalangan eksekutif juga sama saja, baik di pusat
maupun daerah. Bayangkan saja, sampai awal pekan lalu, jumlah kepala daerah
(bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi, entah terdakwa atau saksi,
sebanyak 213 orang. Sungguh angka yang fantastis! Dari jumlah total 495 kepala
daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah bermasalah dengan kasus- kasus
korupsi. Para kepala daerah bermasalah itu sudah otomatis sibuk mencari jalan
untuk mengatasi masalah. Lalu, kapan waktunya bekerja mengurus rakyat?
Keropos
dan Akut
Para kepala daerah itu sesungguhnya jauh dari
harapan tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi,
berintegritas, populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat tanpa memikirkan
pamrih. Hal itu tentu saja menjadi contoh negatif yang diikuti bawahannya.
Tidak mengherankan, birokrasi kita sangat rentan dan keropos. Birokrasi yang
buruk ternyata tidak lepas dari cengkeraman politik. Problem birokrasi salah
satunya adalah akibat relasi birokrasi dan politik. Birokrasi buruk karena
selama ini selalu berada dalam subordinasi politik. Akibatnya, sebagai sebuah
entitas, birokrasi sangat sulit untuk profesional, netral, dan melayani
masyarakat.
Negeri ini pun hampir tenggelam ketika lembaga
yudikatif juga setali tiga uang. Hampir tidak ada lembaga penegak hukum yang
bersih. Kepolisian, kejaksaan, hakim, juga para pengacara seakan berlomba-lomba
masuk ke dalam lingkaran setan korupsi. Korupsi menjadi kanker yang akut di
negeri ini. Padahal, tidak ada dalam sejarah peradaban bangsa, negara mampu
menahan kanker korupsi. Hukum yang terbolak-balik sepertinya menjadi
pemandangan lazim. Penegakan hukum (law enforcement), kesamaan di muka hukum
(equality before the law), dan keadilan menjadi barang mewah yang harus
diperjuangkan. Hukum tebang pilih rasanya mulai terbiasa terdengar di telinga.
Kalau hukum saja karut-marut, jangan tanya lagi
soal moralitas atau etika bangsa. Moralitas terutama para politisi tidak mudah
ditemukan saat ini. Moralitas telah hilang sejak di jalanan hingga
gedung-gedung mewah mentereng di parlemen atau lembaga pemerintah. Di jalanan,
banyak pejabat justru dengan arogan menggunakan jalur terlarang untuk dilewati.
Antre di imigrasi bandara saja juga tidak mau. Mentang-mentang berkuasa, pamer
arogansi. Tidak ada rasa bersalah sama sekali.
Sementara itu, rakyat harus benar-benar bekerja
lebih keras untuk mendapatkan makan. Ekonomi dengan pertumbuhan terus meningkat
itu juga bisa dianggap sebagai transisi dari kolonialisasi menuju
neokolonialisasi. Gambaran proses transisi itu antara lain semakin
terperosoknya perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda
ekonomi neoliberal setidaknya dalam satu dekade belakangan ini.
Buntutnya, tidak hanya dominasi modal asing dalam
perekonomian kita yang makin meningkat, tetapi yang penting lagi adalah
kekuatan kapital itu cenderung menjadi faktor dominan dalam proses perebutan
kekuasaan dan perumusan kebijakan di negeri ini. Maka, pengorganisasian
kekuatan ekonomi rakyat untuk melembagakan demokrasi ekonomi harus secara jelas
ditujukan untuk mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme dan cengkeraman
neokolonialisme.
Salah
Desain Demokrasi
Ada apa dengan republik ini? Yang terjadi saat
ini, bangsa kita tengah mengalami disorientasi nilai. Kita rasanya mengalami
disorientasi mengenai hal-hal apa yang benar, apa yang baik, atau apa yang
indah. Kita juga mengalami disorientasi hidup berbangsa dan bernegara dengan
dasar kultural dalam berperikemanusiaan, berkeadilan sosial, dan memuliakan
hidup. Kita juga mengalami disorientasi atas hasil kreatif manusia dengan nilai
intrinsiknya, yang berubah menjadi pembendaan dengan nilai tukar uang.
Semakin runyam karena kita telah melakukan
kesalahan serius dengan institusi demokrasi. Desain demokrasi yang kita
kembangkan lebih memberikan peluang bagi kepemimpinan atas dasar kekuatan-
kekuatan alokatif ketimbang kekuatan-kekuatan otoritatif. Demokrasi lebih
memberikan ruang bagi kekuatan daya beli daripada kekuatan-kekuatan prestasi.
Demokrasi saat ini tidak punya kesanggupan untuk mengoreksi tradisi patrimonial
yang diwariskan rezim sebelumnya, bahkan bisa jauh lebih buruk.
Faktanya, demokrasi kita dikuasai orang-orang tua
(gerontokrasi), yang mampu menghipnosis anak-anak muda. Kaum muda tak mampu
menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan. Di tengah kondisi
tersebut, yang paling krusial adalah kemunculan pemimpin muda. Tidak sekadar
usia muda, tetapi yang sangat penting membawa visi perubahan. Generasi
perubahanlah yang dapat ”memudakan” kembali politik Indonesia.
Untuk menghadirkan generasi perubahan, diperlukan
creative destruction atas kejamakan politik hari ini dengan melakukan
transformasi institusional dan kultural. Tanpa ada generasi perubahan, mustahil
muncul pemimpin muda yang mampu menyegarkan atmosfer politik dan hukum republik
ini.
Tim
Kompas
KOMPAS,
24 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi