Membela
Bahasa Indonesia di RSBI
Tidak surut animo orang tua memasukkan anak ke
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Padahal sekolah yang berlabel
RSBI ini sudah digugat agar dibubarkan. Gugatan diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi oleh Koalisi Anti-Komersialisasi Pendidikan dengan dukungan berbagai
unsur masyarakat. Sekolah ini dianggap inkonstitusional karena tidak membela
bahasa Indonesia.
Di lembaga RSBI, bahasa Indonesia terlihat makin
merosot harkat dan martabatnya; makin direndahkan oleh kehadiran bahasa selain
Indonesia, yaitu bahasa Inggris, sebagai bahasa pendidikan. Kehadiran bahasa
Inggris sudah membuat warga yang belajar di RSBI berkasta tinggi, seiring
dengan tingginya biaya RSBI. Sementara itu, warga masyarakat yang tidak mampu
memenuhi tuntutan biaya itu terpaksa memilih sekolah reguler yang berbasis
bahasa Indonesia, dan mereka pun rela menerima stigma kasta rendah. Cita-cita
bangsa untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia sudah tergadai demi
pendidikan bertaraf internasional.
Bilingual
Sistem RSBI diselenggarakan dengan mengadopsi
teori bilingualisme pendidikan. Secara teoretis, tidaklah salah sistem
pendidikan Indonesia dirancang berbentuk bilingual atau--bahkan--multilingual.
Manusia Indonesia yang terdidik dengan baik, seperti Sukarno dan kawan-kawan
pendiri kebangsaan Indonesia, memang tidak monolingual. Permasalahan RSBI
sekarang terletak pada perencanaan pemerolehan dua bahasa: bilingualisme
diakronis atau sinkronis?
Melalui sistem RSBI, anak sekolah sekarang
dituntut menuturkan dua bahasa seketika. Ketika anak hendak belajar berhitung,
misalnya, buku teks yang disuguhkan kepada mereka harus berbahasa Indonesia dan
berbahasa Inggris. Faktanya, sebagaimana didalilkan para penggugat RSBI, bahasa
Inggris lebih difokuskan. Bahkan, seperti dalam terbitan Yudhistira, judul buku
teks untuk anak sekolah dasar ini pun bukan lagi “Matematika”, melainkan
“Mathematics”.
Hopefully this book will help you to study; do not
forget to read the instructions; ask your teachers or your parents if there are
parts that you do not understand. Itu sekadar cuplikan dari kata pengantar
(tanpa bahasa Indonesia) yang ditulis penerbit Yudhistira (2009) dalam buku
Mathematics for Elementary School Year VI. Di dalam buku pendidikan dasar itu
tampak begitu besar tuntutan agar guru dan orang tua juga berbahasa Inggris
untuk membimbing anak belajar matematika.
Masih dari contoh buku Yudhistira tersebut,
terdapat pernyataan bilangan kubik adalah bilangan hasil perpangkatan tiga
(halaman 38). Pernyataan itu belum memberikan definisi terbaik dan penjelasan
arti “pangkat tiga”, tetapi anak sudah diajak buru-buru berbahasa Inggris untuk
memahami pernyataan “Cubic number is the result of cubing” (hlm. 39) yang tidak
lebih jelas. Ketika masih bingung dengan perintah ”Ayo kerjakan!” pada halaman
pertama itu, anak juga secara langsung diperintah dalam bahasa Inggris “Let’s
do it!” pada halaman berikutnya. Ketika itu, bisa jadi mereka hanya terbengong;
tugas latihan matematika itu tidak dikerjakan.
Kesibukan anak di ruang kelas RSBI akan berkutat
hanya pada tugas menerjemahkan teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris sebagai
bahasa target. Lembaga sekolah mereka pun berubah fungsi menjadi bak biro
penerjemahan. Ketika itu pula, rupa-rupa biaya bisa dimunculkan, misalnya
dengan mendatangkan penutur asli bahasa Inggris untuk mengajarkan materi
pendidikan kepada anak sekolah di Indonesia. Dari situlah komersialisasi
pendidikan mulai terjadi.
Tuntutan bilingualisme sinkronis dalam sistem RSBI
tersebut sulit dimasukkan ke akal sehat. Bayangkan, anak, yang hanya memiliki
satu mulut dan--tentunya--satu lidah, harus dipaksa meluncurkan tuturan dua
bahasa dalam setiap peristiwa komunikasi pendidikan. Dalam ruang pendidikan itu
cuma terlihat jelas mulut anak yang komat-kamit; tidak jelas perilaku atau
karakter bahasa mereka. Pendidikan bilingual yang dipraktekkan dalam RSBI itu tampak
bertolak belakang dengan gerakan pembangunan karakter bangsa.
Pengawasan
Sangat lemah pengawasan terhadap bahasa pendidikan
RSBI. Skema RSBI tentu masih bisa ditata ulang untuk membentuk karakter bangsa
Indonesia melalui pendekatan diakronis. Bilingualisme pendidikan tidak berarti
bahwa dua bahasa bisa digunakan sekaligus. Penggunaan dua bahasa atau lebih
sebagai bahasa pendidikan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pendidikan
dasar, terutama kelas-kelas awal sekolah dasar dan prasekolah, pendidikan perlu
diproses dengan berbasis bahasa ibu: bahasa yang diperoleh anak dari daerah
tempat tinggal masing-masing.
Perintisan sekolah agar berstandar internasional
mestinya dimulai dengan penggunaan bahasa ibu untuk membuka mata anak agar
melek aksara. Literasi awal yang tidak berbasis bahasa ibu, seperti praktek
RSBI sekarang, sama halnya dengan mencabut anak dari akar kearifan lokal.
Bahasa lokal--yang hidup di tempat tinggal anak (bukan bahasa yang hampir atau
telah punah)--perlu dirancang pemanfaatannya sebagai bahasa pendidikan
Indonesia secara linear dengan bahasa nasional.
Lembaga RSBI bisa jadi pelopor pemanfaatan bahasa
lokal dan nasional untuk pendidikan yang mutunya dirancang berstandar
internasional. Internasionalisasi pendidikan Indonesia tidak selalu identik
dengan penggunaan bahasa Inggris. Dalam kaitan dengan itu, sangat menarik
pengalaman dari seorang pendidik profesional yang disewa untuk mengajar pada
sebuah lembaga pendidikan di Surabaya. Walaupun berlatar belakang penutur
bahasa Inggris, dengan bersemangat sang guru membela bahasa Indonesia di ruang
kelas bidang studi non-bahasa. Sayang sekali, pendekatan pengajaran yang
berbasis bahasa Indonesia itu justru diprotes oleh siswa dan lembaga.
Pembelaan bahasa Indonesia di RSBI tidak berarti
mencegah penggunaan bahasa selain Indonesia. Pencegahan itu perlu dilakukan
hanya dalam konteks bahasa pendidikan. Sebaliknya, dalam konteks pendidikan
bahasa, lembaga RSBI perlu difasilitasi untuk membuka lebar-lebar ruang kelas
bahasa Inggris dan, jika perlu, bahasa internasional yang lain, seperti bahasa
(Cina) Mandarin. Pembukaan kelas mata pelajaran bahasa itu boleh dimulai di
sekolah dasar.
Semua siswa RSBI perlu diberi hak otonom untuk
memilih mata pelajaran bahasa tersebut sesuai dengan minat dan keperluannya.
Jika mereka berminat belajar bahasa Inggris untuk berhitung pada tingkat
lanjut, mata pelajaran bahasa itu untuk keperluan khusus (English for specific
purposes) perlu disediakan dan tidak dicampur aduk dengan mata pelajaran
berhitung atau matematika yang wajib diantar dengan bahasa Indonesia yang
sebaik-baiknya. Sepanjang penyelenggara RSBI sanggup melakukan pembelaan bahasa
Indonesia seperti itu, konsep RSBI tidak perlu dihapus oleh MK.
Tanpa pengawasan internal dan eksternal untuk
kembali berorientasi pada bahasa (pendidikan) Indonesia, penyelenggaraan sistem
RSBI akan tetap didominasi oleh pemangku kepentingan--termasuk orang tua
siswa--yang umumnya sedang dilanda gejala kekaguman (xenofilia) terhadap
pendidikan yang berstandar luar negeri. Gejala itu lebih mengkhawatirkan
apabila RUU Perguruan Tinggi yang baru-baru ini disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dilaksanakan, tanpa pengawasan, untuk mengundang lembaga pendidikan
tinggi berstandar luar negeri hadir di Indonesia.
Sekarang, siswa RSBI sudah patut dikhawatirkan
akan terdidik untuk menjunjung tinggi bahasa internasional, bahasa Inggris.
Kalau komitmen Sumpah Pemuda 1928 sudah dipelesetkan, negara dan bangsa
ini--cepat atau lambat--bakal terperosok dan jatuh. Waduh!
Maryanto
Pemerhati
Politik Bahasa
KORAN
TEMPO, 20 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi