Puasa dan Pendidikan Multikultural
TUHAN
mendeklarasikan diri-Nya sebagai rabb, atau pendidik, seperti yang tertuang
dalam salah satu ayat pada surah al-Fatihah, al-hamdu lillahi rabb
al-alamiin.... Kata rabb merupakan turunan dari kata rabaaatautarbiyah yang
bermakna mendidik dan pendidikan. Akan tetapi, Tuhan tidak kontak langsung
dengan manusia. Fungsi pendidikan Dia laksanakan melalui berbagai kewajiban
syar’i yang diperintahkan kepada umat manusia, baik yang berimplikasi hukum
wajib atau sunah.
Berbagai
kewajiban syar’i selalu berdimensi pendidikan. Banyak dimensi pendidikan bisa
disimpulkan dalam pelaksanaan salat, mulai membangun tradisi disiplin waktu,
membangun budaya bersih, hingga membina sikap kejujuran dan lainnya. Demikian
pula dengan ibadah zakat dan puasa, yang pada bulan ini semua umat Islam
menyambutnya dengan penuh sukacita karena penuh makna dan bahan ajar.
Akan
tetapi, di tengah-tengah kegembiraan menyambut bulan penuh barakah tersebut,
umat Islam Indonesia masih saja menghadapi kenyataan yang kurang elok bila
dilihat dari dimensi kebersamaan, yakni mengawali dan mengakhiri Ramadan dalam
hari dan tanggal berbeda karena penggunaan metodologi penetapan pergantian
bulan yang berbeda.
Pada 2012,
Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan pada Jumat (20/7) karena ijtimak terjadi pada
Kamis (19/7) pukul 11.00 WIB. Dengan demikian, Syakban sudah habis di Kamis
kendati posisi hilal Indonesia bagian Barat masih dalam 1,30 derajat di atas
ufuk. Berdasarkan hasil penglihatan dengan perhitungan (ru’yah bi al-hisab),
Kamis adalah hari terakhir Syakban dan malam Jumat sudah merupakan malam
pertama Ramadan. Karena itu Muhammadiyah menetapkan Jumat hari pertama Ramadan
dan hari pertama berpuasa bagi umat Islam.
Akan
tetapi, pemerintah dengan berbagai aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia
menggunakan metodologi lain, yakni melihat bulan dengan mata kepala (ru’yah bi
al-ain) atau dengan bantuan alat. Ramadan tiba jika bulan sabit (hilal)
pertanda awal Ramadan sudah kelihatan di akhir Syakban.
Kendati
tahu dari hasil perhitungan bahwa posisi hilal 1,30 derajat di atas ufuk,
sebuah posisi yang tidak mungkin terlihat oleh mata kepala dengan alat
sekalipun, Kementerian Agama memerintahkan seluruh Bagian Urusan Agama Islam di
Kantor kementerian Agama untuk memantau terbitnya hilal ketika terbenam
matahari di Kamis. Ternyata, tidak satu pun melaporkan bahwa mereka melihat
hilal. Oleh karena itu, Jumat belum masuk Ramadan dan belum wajib berpuasa
sehingga sebagian besar umat Islam Indonesia berpuasa pada Sabtu (21/7).
Peristiwa
itu sering berulang dan umat Islam Indonesia sangat jarang mengawali dan
mengakhiri puasa pada hari dan tanggal yang sama. Peristiwa tersebut bukan
sesuatu yang aneh bagi umat Islam Indonesia. Persoalannya ialah jika masih ada
anggota masyarakat muslim Indonesia yang belum mampu menghargai perbedaan
tersebut.
Padahal,
perbedaan itu sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari, setidaknya hingga
saat ini. Oleh karena itu, dalam sepuluh tahun terakhir ini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan para ahli pendidikan di
Indonesia melakukan kajian dan upaya-upaya teknis untuk mengembangkan misi
pendidikan multikultural dalam program pendidikan di Indonesia, baik formal
maupun nonformal. Program itu berupa pendidikan untuk membina para pembelajar
(learner) agar mampu menghargai perbedaan dan bisa hidup bersama dalam
keragaman.
Pendidikan
multikultural, seperti dikatakan Callary Sada (2004), merupakan sebuah reļ¬eksi
proses pendidikan keragaman dalam rangka meningkatkan pluralisme untuk
membangun kebersamaan. Senada dengan itu, HAR Tilaar (2004) menyebut pendidikan
multikultural sebagai sebuah upaya membina sikap untuk menghargai keragaman
etnik, budaya, dan agama. Fokus pendidikan multikultural bukan pada pengajaran
ragam budaya, tapi justru mendidik, membina, membiasakan, dan terus melakukan
kontrol dan perbaikan agar anak-anak bangsa ini bisa hidup dengan saling
menghargai dan menghormati keragaman demi tetap menjaga dan memperkuat serta
mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam meretas jalan menuju masyarakat
maju, mandiri, dan sejahtera ke depan.
Pandangan
menarik lainnya tentang makna pendidikan multikultural juga dikemukakan Will
Kymlicka (2000). Dalam bukunya, Multicultural Citizenship, Kymlicka menegaskan
bangsa sebesar Amerika dengan etnik yang beragam bisa tegak karena menjaga
pilar-pilar multikultural. Salah satu pilar itu yakni penghargaan terhadap
hak-hak individu dan kelompok serta toleransi masyarakat antara satu etnik dan
lainnya, antara satu penganut agama dan penganut agama lainnya. Sikap saling
memahami, menghargai, dan memberi kesempatan antara satu masyarakat terhadap
masyarakat lainnya untuk mengamalkan agama sesuai dengan keyakinan, dalam
konteks Indonesia, merupakan modal utama persatuan dan kesatuan.
Dimensi Sosial Puasa
Dengan
mayoritas masyarakat muslim, Islam sangat menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan (QS 3: 103). Namun karena yang melakukan praktik beragama manusia itu
sendiri, agama sering kali merupakan bagian yang paling sensitif bagi setiap
pemeluknya, yang jika merasa terganggu akan dengan mudah tersulut oleh konflik
sosial. Karena itu, salah satu ibadah yang diharapkan dapat menempatkan hati
dan pikiran manusia menjadi netral dari sensitivitas negatif, puasa diharapkan
dapat menjadi titik tolak pengembangan pendidikan multikultural di Indonesia.
Dengan
klasifikasi sebagai ibadah makhdhah, puasa secara sengaja diperintahkan Tuhan
kepada manusia agar kita dapat meyakini betapa besarnya dimensi sosial dari
puasa. Dimensi sosial harus dimaknai sebagai bentuk keterkaitan antara satu
makhluk dan lainnya agar di antara sesama manusia dapat saling menghargai satu
sama lain.
Beberapa
lesson learn dari puasa dalam konteks dimensi sosial dapat dilihat dari
perintah Tuhan agar manusia dapat menjaga lidahnya dari berkata yang membuat
orang lain sakit hati, atau kata-kata yang akan menimbulkan permusuhan dan
provokasi.
Larangan
Tuhan untuk berkata yang menyakitkan orang lain atau berkata provokatif yang
mengajak orang lain membenci seseorang atau satu golongan, kendati secara
syar’i tidak membatalkan puasa, dimensi sosial puasa menjadi tidak jalan dan
dapat mengurangi kualitas ibadah puasa. Itu merupakan sebuah proses pendidikan
multikultural yang sangat fundamental karena perintah ritual tersebut
benarbenar berdimensi sosial yang sangat esensial, terutama dalam meningkatkan
penghargaan dan respek terhadap hak-hak individual dan komunal.
Memperbanyak
sedekah sebagai salah satu ibadah ritual yang menyertai puasa juga merupakan
sebuah pendidikan bagi umat Islam agar memiliki komitmen kebersamaan untuk
membangun persatuan dan kesatuan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki
hak yang sama terhadap karunia-Nya sehingga makna kebersamaan dapat dilihat
juga sebagai inti pendidikan multikultural. Integritas sosial jenis itu tidak
hanya menghargai hak-hak individual dan komunal, tapi juga membawa mereka dalam
komunitas untuk hidup bersama dalam menikmati karunia Tuhan.
Selain
untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa, sedekah merupakan wujud integritas
sosial di bawah sebuah keyakinan bahwa semua umat manusia adalah satu,
sama-sama makhluk Tuhan, yang berhak atas semua karunia-Nya.
Demikian
pula dengan kewajiban zakat fitrah, yang merupakan pendidikan untuk membangun
kesadaran bahwa karunia Tuhan yang dia peroleh karena kecakapan dan keahliannya
bukan haknya penuh, melainkan ada hak orang lain yang perlu disampaikan. Ketika
menyampaikan hak-hak tersebut mungkin ada salah hitung, salah takar, atau
kelalaian lainnya sehingga perlu dibersihkan dalam rangka menyempurnakan
ibadahnya itu. Itu pelajaran paling berharga dalam mewujudkan idealisasi kita
sebagai muslim yang tidak sekadar sempurna dalam ibadah ritual, tapi juga
sempurna dalam ibadah sosial.
Membayar
zakat fitrah juga memiliki dimensi ganda, baik sebagai upaya membersihkan
muzaki dari hak orang lain yang mungkin termakan akibat salah hitung dalam
zakat harta atau zakat profesi maupun uang atau barang yang dikeluarkan itu
untuk kepentingan konsumsi mereka yang kurang beruntung.
Ibadah
puasa merupakan proses Tuhan mendidik kita semua untuk menjadi muslim yang baik,
yang pelaksanaan ibadah ritualnya sempurna, dan semakin baik pula hubungan
sosial dengan masyarakat tempat kita berada. Ibadah puasa merupakan salah satu
cara Tuhan mendidik kita semua untuk bisa menghargai orang lain.
Dede Rosyada
Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam
Kemenag RI
MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi