Tragedi
Diskriminasi Pendidikan
DEMO besar-besaran oleh ribuan santri dan alumni
pesantren serta warga masyarakat di Kota Sumenep menarik perhatian dunia
pendidikan dan politik pemerintahan. Tidak saja karena penyanderaan Wakapolres
oleh massa serta jatuhnya korban luka (Jawa Pos, 18 Juli), melainkan juga
potensi efek domino oleh kebijakan aparatur negara yang menimpa dunia pesantren
dan madrasah di seluruh Indonesia.
Demo yang
berujung pada kekerasan sosial di atas berawal dari keluarnya surat pengumuman
penerimaan brigadir brimob dan dalmas oleh Polres Sumenep nomor:
Peng/03/VI/2012 tertanggal 5 Juni 2012. Pada bagian II butir 2 dalam surat itu,
dijelaskan persyaratan lain bagi anggota masyarakat yang bisa mendaftar.
Butir itu
berbunyi: "Khusus untuk pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen
Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar
menjadi anggota Polri antara lain: (a) Ponpes Gontor Ponorogo, (b) Ponpes Al-Amien
Prenduan Sumenep, (c) Ponpes Mathabul Ulum Sumenep, (d) Ponpes Modern
Al-Barokah Patianrowo Nganjuk."
Lamaran
Moh. Azhari, alumnus Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah, ditolak oleh Polres
Sumenep. Pesantren Annuqayah sendiri merupakan sebuah pesantren besar di ujung
timur Madura. Penolakan itu tampak harga mati walaupun serangkaian langkah
penyelesaian diupayakan pihak Yayasan Annuqayah.
Dalam surat
pernyataan sikapnya nomor 11/SN.03/A/VII/2012 tertanggal 4 Juli 2012, Yayasan
Annuqayah menjelaskan bahwa pada 18 Juni 2012, pimpinan Madrasah Aliyah 2
Annuqayah telah mendatangi Polres Sumenep dan meminta klarifikasi atas
penolakan alumnusnya untuk mendaftar.
Juga, pada
20 Juni 2012, mereka melapor ke Dewan Pendidikan Sumenep. Keesokan harinya,
Yayasan Annuqayah dan Dewan Pendidikan Sumenep mendatangi Kapolres Sumenep
untuk meminta klarifikasi. Tetapi, hasilnya, diskriminasi jalan terus.
Sesat
Pikir
Penyelesaian melalui negosiasi dan klarifikasi
sudah dilakukan. Tetapi, akhirnya tetap saja tidak ada kata selesai. Bahkan,
kebijakan diskriminasi itu tetap diteruskan. Ini berarti ada sesat pikir basis
kognitif aparatur negara kita.
Lalu,
pertanyaannya, di manakah sesat pikir itu? Saya mencatat, minimal, ada tiga
poin. Pertama, sungguh janggal, surat pengumuman rekrutmen yang dikeluarkan
oleh Polres Sumenep tertanggal 5 Juni 2012 di atas menyebut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dengan kesalahan nomenklatur yang sangat besar.
Selain menggunakan kata "Departemen", surat itu juga menyebut istilah
"Pendidikan Nasional".
Padahal,
kata "Departemen" sudah sejak 2009 dihapus dari nomenklatur kabinet
pemerintahan. Penggantian nomenkaltur departemen menjadi kementerian ini
berdasar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan
Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang perihal serupa. Juga, istilah
"Pendidikan Nasional" sudah diganti menjadi "Pendidikan dan
Kebudayaan" sejak 2011.
Karena itu,
sangat tidak jelas instansi mana yang dirujuk oleh surat Polres Sumenep di
atas. Kondisi ini sungguh sangat absurd karena kesalahan dan ketidakjelasan itu
berasal dari aparatur negara sendiri.
Kedua, surat
oleh Polres Sumenep yang dijadikan sebagai dasar penolakan atas alumni
pesantren dan madrasah di atas sama sekali tidak menjelaskan nomor surat,
tanggal penerbitan, serta perihal surat oleh instansi yang disebut dengan
istilah "Departemen Pendidikan Nasional" itu. Padahal, hal demikian
lazim digunakan dalam tata persuratan dan dokumen negara. Akibatnya, semua
serba tidak jelas tentang apa dasar penolakan Polres Sumenep terhadap alumni
pesantren dan madrasah untuk mendaftar sebagai anggota kepolisian.
Lebih
ironis lagi, surat tersebut menyebut empat pesantren dan menolak yang lain. Apa
dasar perlakuan yang berbeda ini? Ini yang tidak jelas. Sebab, di surat itu
tidak ada pendasaran hukumnya yang jelas pula dengan nomor dan perihal spesifik
dari instansi yang berwenang. Juga, tidak jelas produk rezim mana dan tahun
berapa aturan hukum yang dijadikan sebagai dasar itu. Tentu, semua indikasi
diskriminasi ini harus dihentikan.
Ketiga,
titik lemah perujukan yang tidak jelas oleh surat Polres Sumenep di atas semakin
kelihatan saat dikaitkan dengan aturan perundang-undangan di atasnya. Sebut
saja UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Keagamaan. Tiga produk perundang-undangan tersebut secara
jelas dan tegas menolak diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan, termasuk
pesantren dan madrasah. Surat dikriminatif Polres Sumenep itu berarti batal
demi hukum.
Masalah
yang terjadi di Sumenep di atas bukanlah masalah lokal masyarakat setempat
semata. Bukan pula masalah individual Moh. Azhari yang alumnus pesantren
Annuqayah. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seantero nusantara ini
bisa menjadi korban kebijakan diskriminatif.
Polres
minta maaf memang baik. Namun, belum menyelesaikan masalah. Kebijakan naif di
atas terjadi pada aparatur negara yang menjadi pelaksana teknis aturan
perundang-undangan. Tentu, itu suatu ironi besar. Apalagi, jika aturan
perundang-undangan itu bukan produk kemarin sore, tentu ironi itu sulit untuk
sekadar diselesaikan dengan kata maaf. Perlu diseminasi dan up-grading basis
pengetahun aparatur negara yang menegakkan hukum agar hukum dan keadilan
berjalan seirama.
Akh
Muzakki
Ketua PW
LP Maarif NU Jatim,
Anggota Dewan
Pendidikan Jatim, Dosen Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel
JAWA POS,
23 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi