Puasa
Ramadan, Antara Tradisi dan Sains
TENTANG perbedaan awal Ramadan kali ini, saya
ingin mengemukakan pendapat salah seorang kawan. Dia mengatakan bahwa perbedaan
itu sebenarnya berujung pangkal dari definisi hilal, yang memang berbeda. Ada
yang mendefinisikan hilal secara tradisi, dan ada yang mendefinisikannya secara
substansi. Jika didefinisikan secara tradisi, hilal adalah bulan sabit yang
tampak oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi Muhammad SAW. Tetapi, jika
didefinisikan sebagai substansi, hilal adalah penanda datangnya "bulan baru".
Dengan demikian, kemunculannya bisa dihitung dengan metode sains modern, tanpa
harus mensyaratkan terlihat secara kasatmata.
Maka,
sebagaimana penetapan waktu salat, kita bisa memilih definisi tentang hilal.
Jika waktu salat dipahami secara tradisi, tidak bisa tidak, kita harus selalu
melihat matahari setiap mau menjalankan salat, sebagaimana Rasulullah
melakukannya saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal harus terlihat kasatmata,
tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk jika awan tebal menutupi ufuk barat selama
berhari-hari, sehingga hilal tidak kelihatan. Tetapi, jika kita memilih
substansi bahwa hilal adalah penanda datangnya bulan Ramadan, kita sudah bisa
memulai puasa Ramadan sesuai hasil perhitungan waktu secara saintifik, tanpa
terikat penampakan hilal. Persis seperti penentuan waktu salat yang cukup
melihat jam sebagai hasil hisab ilmiah, tanpa harus melihat matahari.
Dalam
konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan
perhitungan secara saintifik atau tidak. Sebab, semua pihak sudah sama-sama
pintar menghitung posisi bulan. Yang terjadi adalah ketidaksepakatan penentuan
definisi hilal tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal secara tradisi, dan
lain pihak mendefinisikan hilal sebagai substansi. Runyamnya, perbedaan yang
mestinya sederhana dan bisa diselesaikan secara teknis ini, lantas merambah ke
wilayah yang lebih politis dengan bumbu-bumbu ego pribadi atau ego kelompok,
yang semakin "kusut".
Maka,
ketika hal ini belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan agar
umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu. Ini
agar sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di
hadapan Allah. Juga biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan
secara keumatan itu mempertanggungjawabkan keputusannya kepada Allah, pada
waktunya.
Umat Islam
harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya dan tidak beragama secara
ikut-ikutan belaka. Sebab, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang tidak
berlaku rombongan, tapi sendiri-sendiri.
Pemimpin
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan
keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun
tidak menghadap Allah bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.
Dan mereka semua akan berkumpul menghadap ke
hadirat Allah. Lalu berkata para pengikut kepada pemimpinnya:
"Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu. Maka dapatkah kamu
menghindarkan kami dari azab Allah barang sedikit? Para pemimpin itu menjawab:
"Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami akan
memberitahukan caranya kepadamu. Kita ini sama saja, mau mengeluh atau
bersabar. Sedikit pun, kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri."
(QS. Ibrahim: 21)
Nah, dalam
berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, kita
tahu bahwa akhir bulan Syakban adalah sekitar pukul 11.25 wib. Di seluruh
Indonesia, hilal muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2
derajat, dengan tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain,
hampir dipastikan bulan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada
yang berbeda pendapat tentang hasil perhitungan ini.
Namun,
ternyata data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yakni,
ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan. Kalau,
soal awal Ramadan, semua berpendapat sama bahwa bulan Syakban sudah habis pada
Kamis, 19 Juli 2012. Dan, 1 Ramadan jatuh pada Jumat, 20 Juli 2012. Yang
berbeda itu, sekali lagi, adalah "awal berpuasa".
Ada yang
berpuasa pada 1 Ramadan (20/7) dan ada yang memulainya pada 2 Ramadan (21/7).
Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di lain pihak
berdasar substansi. Tentu saja, kita sebagai "pengikut" harus pintar
dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah itu
ternyata bersifat sendiri-sendiri..!
Semoga Allah membimbing kita semua di dalam ilmu dan ridha-Nya.
Agus
Mustofa
Penulis
Buku Serial Tasawuf Moden
JAWA POS,
23 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi