Pangan,
Pengetahuan, dan Sejarah
Dalam buku terbarunya, End this Depression Now
(2012), Paul Krugman (peraih Nobel Ekonomi 2008) menulis pernyataan yang
menarik. Pada masa lalu suatu pemerintahan boleh gagal dalam mengelola
perekonomian, tapi pada masa sekarang merupakan keganjilan jika pemerintah
gagal mengurus perekonomian karena telah mewarisi dua hal pokok: ilmu
pengetahuan dan sejarah.
Pernyataan itu mungkin terlihat berlebihan, tapi
saya kira Krugman tidak sedang bercanda. Meskipun kompleksitas masalah kian
besar, ilmu pengetahuan terus disempurnakan sehingga selalu tersedia panduan
bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Berikutnya, sejarah juga menjadi guru
terbaik, di mana keberhasilan atau kegagalan penanganan pada masa silam bisa
dijadikan rujukan untuk mendesain kerangka solusi masalah yang lebih bagus pada
hari ini. Sayangnya, begitu banyak masalah rutin yang hinggap di negeri
seakan-akan ilmu pengetahuan dan sejarah itu tak pernah ada. Salah satunya
ritual kenaikan harga pangan saat puasa Ramadan dan Idul Fitri (Lebaran).
Karakteristik
Masalah
Terdapat
dua jenis penanganan pangan yang perlu dilakukan pemerintah demi mengatasi
problem-problem rutin tersebut.Pertama,penuntasan yang sifatnya struktural dan
membutuhkan perombakan kebijakan secara mendasar. Negara ini telah melenceng
terlalu jauh dari cita-cita konstitusi dengan menyia-nyiakan begitu banyak
sumber daya ekonomi domestik sehingga kesejahteraan makin sulit dijangkau, tak
terkecuali di sektor pertanian. Kebijakan liberalisasi sektor pertanian
pascakrisis ekonomi 1997/1998 merupakan hulu dari ragam soal pangan yang datang
hari ini sehingga pemerintah selalu terbentur tembok tiap memulai mengatasi
masalah.
Kedua,
penanganan yang sifatnya teknis dan bisa dikerjakan dalam jangka pendek/
menengah. Problem harga selalu bermula dari keseimbangan permintaan dan
penawaran barang sehingga manajemen pasokan merupakan upaya yang mesti
dilakukan pemerintah, tak terkecuali pasokan pangan. Menyangkut problem
struktural, liberalisasi pertanian membuat insentif petani melakukan produksi
menjadi rendah.
Sebelum
1997/1998 sekurangnya beras, jagung, dan kedelai bisa dicukupi oleh produksi
domestik. Dalam beberapa momentum, impor ketiga barang itu masih dilakukan,
tapi dalam proporsi yang tidak terlalu besar. Namun, begitu liberalisasi
dijalankan, sontak produksi jagung dan kedelai merosot, termasuk luas lahan
tanam. Hal ini bisa terjadi karena harga barang impor lebih murah dibandingkan
produksi domestik.
Masalahnya,
barang impor lebih murah bukan sebab efisien seperti dalam kasus gula, tapi
subsidi negara lain berlipat ketimbang yang diberikan pemerintah. Tiap tahun
sekitar 100.000 hektare lahan pertanian dikonversi ke industri, permukiman,
perkantoran, dan lain-lain. Sementara pemerintah hanya sanggup mencetak 40.000
hektare sawah baru. Hasilnya, peningkatan produktivitas panen tetap tidak dapat
mengejar laju penurunan luas areal lahan.
Data
berikut ini mungkin sedikit membantu membaca ketertinggalan Indonesia dalam
penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. AS memiliki lahan pertanian
sekitar 175,India 161,China 143,Brasil 58,Australia 50, dan Thailand 31
(semuanya dalam juta hektare). Sementara itu, lahan sawah yang dimiliki
Indonesia hanya sekitar 7,5 juta hektare (ditambah dengan 9,7 juta hektare
lahan kering).
Luas lahan
sawah yang dipunyai Indonesia itu mirip dengan Vietnam, yang penduduknya cuma
78 juta. Australia lebih fenomenal lagi karena bisa memiliki lahan 50 juta
hektare,tapi penduduknya hanya 19 juta. Jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk, luas lahan per kapita Australia yang paling tinggi (2,63).
Artinya,
satu orang penduduk menguasai 2,63 hektare. Sementara di AS luas lahan per
kapita sebesar 0,61, Brasil 0,34, China 0,11, India 0,16, Thailand 0,52,
Vietnam 0,10, dan Indonesia 0,03 (Kementerian Pertanian, 2011). Dari data ini
terlihat betapa rapuhnya ketersediaan lahan pertanian di Indonesia.
Kesigapan
Pemerintah
Berikutnya,
kebijakan teknis terkait pasokan menghendaki dua syarat penting: manajemen
distribusi dan kegesitan pemerintah. Manajemen distribusi pangan berbeda dengan
komoditas lain karena sifat barang pertanian yang spesifik: mudah rusak,
tergantung cuaca, dan musiman. Di luar itu, pemerintah mesti memikirkan posisi
tawar petani yang lemah sehingga aspek manajemen pembelian, distribusi, dan
penentuan harga menjadi penting.
Sebelum era
liberalisasi, Bulog memainkan peran yang amat vital yakni membeli komoditas
ketika panen dan melempar ke pasar ketika pasokan kering. Dengan pola ini,
petani terlindungi dari kejatuhan harga saat musim panen dan konsumen terjaga
dari harga yang mencekik ketika masa paceklik (atau saat datang bulan
puasa/lebaran seperti sekarang).
Tentu saja
untuk memerankan itu Bulog diberi kewenangan, anggaran,dan fasilitas (gudang)
yang memadai.Adakalanya Bulog bersinergi dengan koperasi untuk menopang mandat
strategis tersebut. Peran Bulog tadi tanpa disadari memperkecil kemampuan pihak
swasta (distributor) untuk mengontrol harga karena pasokan yang dipunyai Bulog
besar. Jika distributor hendak memainkan harga, Bulog dengan mudah dapat
meredamnya karena memiliki pasokan yang cukup.
Karena
itu,operasi pasar menjadi bermakna karena struktur pasar terdiversifikasi. Ini
berbeda dengan situasi saat ini,di mana penguasaan Bulog terbatas (baik dari
sisi stok maupun komoditas yang diurus) dan distributor swasta terkonsentrasi.
Tiap komoditas strategis hanya dipegang oleh sedikit pemain sehingga mereka
berpotensi menjadi penentu harga (price maker). Bulog tidak sanggup meredam
harga karena pasokan (beras) yang dimiliki sedikit.
Ini
diperparah lagi dengan kesigapan pemerintah yang amat lemah. Operasi pasar
dilakukan ketika harga-harga sudah membumbung tinggi, padahal semestinya
operasi pasar dilakukan ketika sinyal kenaikan itu sudah ada di depan mata.
Dengan kerangka analisis tersebut,bisa dibayangkan bila problem ini akan terus
berulang bila tak ada penyelesaian dalam dua pokok soal di atas.
Pemerintah
harus kembali menata produksi pertanian sehingga bisa mencukupi kebutuhan
domestik, minimal untuk komoditas strategis seperti
beras,kedelai,jagung,daging, minyak, telur, susu, garam, dan lainnya.
Liberalisasi perlu dikendalikan agar insentif petani menjadi meningkat, di
samping subsidi dan proteksi lainnya. Luas lahan harus ditambah secara drastis
sehingga sekurangnya luas lahan (sawah) per kapita pada level 0,5 (seperti di
Thailand).
Berikutnya,
manajemen distribusi perlu dibenahi dengan memberikan mandat yang lebih besar
kepada Bulog, baik dari sisi jumlah komoditas yang diurus maupun anggaran yang
diberikan. Selebihnya, pemerintah mesti gesit membaca pasar sehingga responsnya
tidak terus telat.
Jika ini
gagal, rakyat tentu ikut meratap bila Krugman menganggap pemerintah tak punya
kemampuan mempelajari ilmu pengetahuan dan membaca sejarah!
Ahmad
Erani Yustika
Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif
Indef
SINDO, 24
Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi