Meski banyak digugat, pemerintah tetap mempertahankan Ujian
Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. Demikian penegasan dalam
Konvensi UN yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di
Jakarta beberapa waktu lalu.
Salah satu klausulnya menyebutkan bahwa pencapaian mutu
sekolah dapat dicapai dengan standar yang telah ditetapkan (baca: UN) dan
peningkatan standar secara berkala.
Di sini, tampak sekali betapa orientasi pendidikan kita
sejauh ini masih mengutamakan hasil akhir dari serangkaian proses belajar
mengajar. Jika demikian, apa bedanya sekolah dengan sebuah pabrik yang
memproduksi barang secara massal?
Seperti diketahui bahwa dalam sebuah pabrik pengecekan
kualitas (bagus atau tidaknya) setiap barang selalu ditentukan di akhir proses
produksi. Pola inilah yang tampaknya ingin diterapkan pemerintah untuk
mengendalikan mutu pendidikan kita melalui pelaksanaan UN.
Padahal, pola semacam ini tak akan mampu mengukur kemampuan
dan potensi akademis siswa secara holistik. Sebaliknya, siswa akan mengalami
keterasingan dari diri dan realitasnya sendiri, karena peran nilai (values),
perasaan (feelings), bakat (talents)dan kecerdasan diri (gifts)
yang beragam diabaikan.
Berbagai elemen, seperti daya nalar, berpikir kompleks, rasa
ingin tahu, sikap kritis, kreatif, kejujuran, dan kemampuan berkomunikasi
dikesampingkan dalam proses pendidikan.
Persoalan semakin runyam ketika pemerintah belum sepenuhnya
memberikan layanan pendidikan secara merata terutama bagi daerah-daerah.
Misalnya terkait dengan sarana prasarana belajar, fasilitas sekolah,
perpustakaan, tenaga pengajar (guru), materi pembelajaran, model dan kualitaspembelajararan.
Belum lagi ketika dihadapkan dengan fakta bahwa
masing-masing daerah punya tipologi sumber daya manusia (SDM), budaya, letak
geografis yang sangat beragam atau bahkan njomplangdengan daerah
yang sudah menikmati layanan pendidikan memadai. Untuk itu, tidak adil jika
kualitas pendidikan di daerah dengan akses layanan pendidikan terbatas itu juga
diukur sesuai kualitas standar nasional.
Kultur
Positivistik
Pada dasarnya, tujuan pendidikan adalah untuk membangun
siswa agar menjadi manusia seutuhnya (holistik). Tercapainya keutuhan ini
ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral (moral character),
sehingga mampu menjalankan perbuatan yang utama. Kemampuan seperti ini terletak
pada
kepekaan hati nurani, nilai, perasaan dan makna subyektif
setiap pribadi siswa. Namun, pelaksanaan UN telah membenamkan aspek-aspek itu,
baik dalam proses kegiatan belajar-mengajar maupun dalam mengevalasi hasil
belajar. Kenyataan inilah yang sudah sejak lama dikhawatirkan oleh Henry A
Giroux (1997) bahwa kultur positivistik telah mendominasi praktik pendidikan
modern.
Dalam kultur positivistik ini netralitas dan objektivitas
menjadi tolok ukur dalam praktik pendidikan. Demi mewujudkan itu diperlukan
reliabilitas, konsistensi dan prediksi yang bersifat kuantitatif.
Tak heran jika pedagogi yang diterapkan di sekolah belum
menyentuh pada pandangan serta problem-problem keseharian siswa sebagai bahan
pembelajaran. Orientasi pendidikan dipaksa berkiblat kepada standarisasi yang
dibuat dalam kerangka teknokrasi, bukan demi tujuan bagi proses demokratisasi.
Kemampuan siswa diukur dengan angka-angka kuantitatif yang
sering kali jauh dari potensi yang sebenarnya mereka miliki. Proses-proses
psikologi siswa, seperti eksplorasi diri, kritik nilai, kesempatan untuk
berefleksi, mengasah kepekaan hati nurani dan membangun karakter masih
terabaikan. Yang tampak hanya proses uniformitas pendidikan.
Siswa hendak dicetak seragam dengan menafikan potensi mereka
yang notabene sangat khas dan beragam.
Di sini, proses pendidikan hanya diarahkan sebatas agar
siswa dapat berpikir sederhana, menguasai materi, bahkan menghafal (memorisasi)
pengetahuan tentang nilai. Bukan kemampuan untuk mengamalkan atau
mempraktikkannya di lapangan sosial. Inilah yang menyebabkan kepribadian siswa
terpecah (split of personality).
Tidak ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, antara
teori dan praktik. Siswa berjiwa kerdil, tidak responsif dan kehilangan nilai-nilai
kemanusiaannya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerjemahkkan berbagai
bidang keilmuan ke dalam realitas sosial. Pendek kata, pendidikan tercerabut
dari problem riil yang seharusnya dapat dijawab dan diselesaikan.
Mengancam
Keberhasilan
Sekilas adanya UN memang tampak efektif untuk memotivasi
siswa dalam belajar. Namun, fakta yang terjadi justru menyebabkan siswa merasa
tertekan dan tidak bahagia.
Siswa seolah-oleh dianggap sebagai pribadi yang malas, suka
menghindari tanggung jawab. Jika tidak diintervensi dengan UN maka mereka akan
pasif sehingga harus dipaksa. Akibatnya, banyak siswa mengalami depresi dan
perasaan takut tingkat tinggi jika gagal dalam ujian.
Momentum UN menjadi momok yang mengancam keberhasilan siswa
dalam belajar. Dengan adanya ancaman, siswa tidak bisa mengembangkan
potensinya, mengalami ketumpulan berfikir, dan ketegangan jiwa (stress).
Prestasi siswa bukan meningkat menjadi lebih baik, melainkan akan mengakibatkan
penderitaan dan rusaknya kepribadian.
Lebih parah lagi, cara intimidasi dalam pendidikan ini akan
menyakiti siswa secara fisik, psikologi, dan sosial. Siswa yang terancam olah
UN akan merasa buruk di hadapannya sendiri. Mereka merasa melakukan sesuatu
yang salah, tapi tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuat. Jika cara-cara
ini terus menerus dilakukan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan siswa
kehilangan kepercayaan diri, selalu menyalahkan diri sendiri dan pertumbuhan
mental siswa akan terganggu.
Demikian pula, sekolah tidak lagi menjadi tempat bagi siswa
untuk mengembangkan gambaran diri secara positif, tetapi justru tampak
menyeramkan dan menakutkan. Target lulus 100 persen dalam UN sering kali
menyebabkan sekolah menempuh jalan pintas dengan melakukan cara-cara yang tidak
jujur untuk mendapatkan keberhasilan dalam ujian.
Inilah yang dinamakan Deighton (2008) sebagai kecurangan
akademik. Sekolah dan siswa terjebak dalam kubangan ketidakjujuran yang
diakibatkan oleh sistem pendidikan yang tidak lagi liberatif, melainkan sangat
represif dan intimidatif.
Niken Ulfah R ;
Pengajar di MTsN Model Sumberlawang,
Sragen
SINAR
HARAPAN, 04 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi