Di Indonesia, ada 3.000 lebih perguruan tinggi,
tetapi kebanyakan sebetulnya hanya further education, bukan higher
education, yang seharusnya melaksanakan tridarma perguruan tinggi.
Data Scopus (http://www.scopus.com)
menunjukkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi yang ada, hanya sekitar 20
perguruan tinggi yang mempunyai rekaman kinerja signifikan dalam penelitian.
Kinerja dalam pendidikan pun tidak terlalu istimewa: banyak perguruan tinggi
dan program studinya yang belum terakreditasi.
Selain masalah pendanaan, Satryo S Brodjonegoro
dalam tulisannya ”Dejawatanisasi Pendidikan” (Kompas, 8/3) mengemukakan bahwa
kemajuan pendidikan kita lamban karena tidak ada ruang kreativitas untuk
mengembangkan pendidikan sesuai dengan tantangan zaman. Seluruh kebijakan
ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan yang harus dipatu- hi,
baik oleh perguruan tinggi maupun para dosen dan mahasiswa. (Hal serupa juga
dialami oleh sekolah serta para guru dan siswa).
Setengah hati
Otonomi perguruan tinggi seharusnya melekat pada
perguruan tinggi itu. Namun, sejumlah peraturan perundangan mengatur hampir
segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di negara ini bahkan perguruan
tinggi swasta pun tidak otonom. Sebagai contoh, membuka program studi harus
seizin pemerintah. Contoh lain berkenaan dengan kenaikan jabatan dosen ke
lektor kepala atau guru besar: usul harus disampaikan kepada pemerintah untuk
diperiksa dan, bila semua syarat dipenuhi, diterbitkan surat keputusannya oleh
Mendikbud.
Baru-baru ini, persisnya awal Maret 2013, bahkan
ada Peraturan Mendikbud yang mengatur pemberian gelar doktor kehormatan (Dr HC)
oleh semua perguruan tinggi di Indonesia harus dengan persetujuan Mendikbud!
Yang tak kalah lucunya adalah perihal jabatan guru
besar tidak tetap, yang diundangkan sebagai Peraturan Mendikbud sejak 2012.
Berdasarkan peraturan itu, Mendikbud dapat mengangkat kalangan nonakademisi
yang dinilai memiliki tacit knowledge sebagai guru besar tidak tetap. Saat ini
ada beberapa orang yang telah menyandang sebutan tersebut.
Lupakan dahulu frasa ”tidak tetap”. Tampaknya kita
perlu menengok kembali makna di balik frasa ”guru besar”. Di Indonesia, jabatan
guru besar rupanya dianggap sebagai hak individu dosen, bukan sebagai strategi
perguruan tinggi menjalankan misinya. Sebagai contoh, ada dosen yang diangkat
sebagai guru besar hanya lima hari menjelang usia pensiunnya. Berkasnya
konon tidak diperiksa oleh tim Dikti, tetapi langsung disetujui oleh
menteri.
Secara umum, kriteria kenaikan jabatan dosen di
negara kita cukup unik: berdasarkan perolehan angka kredit (kum) dari kegiatan
tridarma dosen yang diusulkan, mengacu ke Peraturan Menpan. Untuk kegiatan
penelitian, misalnya, kum dapat diperoleh dari publikasi hasil penelitian sang
dosen. Lucunya, ada asas kepatutan yang membatasi jumlah publikasi dosen tak
lebih dari dua risalah per tahun. Jadi, dosen yang banyak publikasinya justru
akan dianggap tak patut.
Kemdikbud c/q Dikti pun membuat peraturan tentang
jurnal tempat publikasi hasil penelitian dosen, yang meliputi nama jurnal,
ukuran kertas, jumlah halaman, dan hal-hal kecil lainnya: seluruhnya 122
indikator.
Dunia pendidikan tinggi di negara kita memang unik.
Selain beberapa hal yang telah disebutkan, masih banyak keanehan lain. Sebagai
contoh, setiap perguruan tinggi di Indonesia, baik universitas maupun sekolah
tinggi, mewajibkan mahasiswanya menulis skripsi di tahun terakhir. Padahal,
skripsi merupakan warisan Belanda untuk program pendidikan tinggi setingkat
program magister, yang di Belanda sana pun sudah tak diberlakukan lagi.
Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia,
misalnya, skripsi hanya diperuntukkan bagi mahasiswa program honors, tidak
untuk semua mahasiswa program sarjana. Di China, sekalipun di Universitas
Beijing, tidak ada kewajiban menulis skripsi bagi para mahasiswa program
sarjana.
Dengan pemaksaan kewajiban menulis skripsi di
seluruh perguruan tinggi Indonesia, yang terjadi kemudian adalah fabrikasi
skripsi, termasuk maraknya layanan jasa penyusunan skripsi. Solusi dari
pemerintah kemudian malah mewajibkan mahasiswa memublikasikan skripsinya.
Contoh keanehan lain dalam dunia pendidikan tinggi
kita adalah adanya perguruan tinggi yang baru-baru ini didirikan oleh
pemerintah, belum mempunyai statuta, kampus, ataupun dosen, tapi sudah menerima
mahasiswa dan ada pula lulusan SMA yang mau kuliah di perguruan tinggi
tersebut.
Memang tidak semua perguruan tinggi di negara kita
buruk. Sayangnya, saat ini, status hukum perguruan tinggi di Indonesia masih
mengambang, termasuk nasib beberapa perguruan tinggi andalan bangsa. Bahkan,
Universitas Indonesia dibiarkan tidak mempunyai rektor definitif untuk sekian
lama.
Mau dibawa ke mana pendidikan tinggi kita, baik
oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat, sulit menjawabnya. Seperti halnya
diperlukan guru mbeling dalam melaksanakan Kurikulum 2013
(Sidharta Susila, Kompas, 7/3), mungkin diperlukan perguruan tinggi mbeling untuk
memajukan pendidikan tinggi kita!
Hendra
Gunawan ;
Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
KOMPAS, 02 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi