SELAMAT datang kurikulum baru 2013! Bersiaplah
wahai para guru untuk menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya; mandiri,
inovatif, dan kreatif. Kurikulum baru, konon katanya, akan menyediakan banyak
sekali ruang kebebasan bagi guru untuk berekspresi secara otonom. Kebebasan
yang tak sepenuhnya bebas itu pasti akan ditandai beragam kebingungan guru dan
anakanak jika pelatih an guru yang dijanjikan serta buku pegangan guru dan
siswa yang digadang-gadang pertama dalam sejarah kurikulum modern ini belum
dilakukan dan dibagikan.
Sejatinya kebebasan guru sudah dimungkinkan ketika
reformasi dicanangkan lebih dari satu dasawarsa silam. Kita ingat bagaimana
melalui undang-undang otonomi pendidikan kita berubah dari tersentralisasi
menjadi terdesentralisasi, serta memunculkan beberapa kebijakan di bidang
pendidikan seperti manajemen berbasis sekolah (MBS/school-based management),
rencana implementasi kurikulum berbasis kompetensi (curriculum-based
competence), dan kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum).
Namun, semua konsep tadi seperti senyap karena
implementasi dilakukan tanpa assessment, perencanaan, dan kebijakan anggaran
yang ngawur dan terkesan asal jadi. Akibatnya, sebagaimana diakui Surakhmad
(2002), otonomi pendidikan kita secara psikologis dan politis dirasakan amat
terlambat tetapi secara teknis terlalu cepat sehingga semua jenis kebijakan
menjadi meluncur tanpa arah yang jelas. Semua perundangan dan aturan datang
silih berganti tanpa ada evaluasi yang memadai. Akibatnya, terjadi tumpang
tindih antaraturan sehingga prinsip-prinsip otonomi pendidikan menjadi ikut
ternodai.
Kebijakan MBS sebenarnya merupakan bentuk nyata
keinginan kita untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik,
demokratis, dan manusiawi. Di berbagai negara, kebijakan jenis itu dalam
catatan Noble (1996) setidaknya mampu; 1) meningkatkan prestasi akademik
peserta didik (academic achievement), 2) meningkatkan pertanggungjawaban (accountability)
di antara para pengambil kebijakan, 3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment)
ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan
politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di
masyarakat benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan
sekolah.
Sementara itu, kebijakan kurikulum berbasis
kompetensi dan kurikulum berbasis sekolah seharusnya merupakan keharusan dan
kelanjutan dari kebijakan MBS. Namun dalam perjalanannya, lagi-lagi, menjadi
terseok dan dilupakan karena pendidikan lebih banyak berputar di arena politik.
Akibat logisnya, kontrol anggaran menjadi lemah dan bahkan sama sekali tak
memiliki basis filosofis yang kuat.
Sensitivitas itulah yang tak dimiliki para praktisi
pendidikan kita, termasuk rendahnya kualitas anggota parlemen kita dalam
menggiring anggaran yang pro pada kebijakan yang sesungguhnya baik itu. Bahkan
dalam satu dasawarsa terakhir, kita lebih sibuk memikirkan ujian nasional
sebagai alat ukur kualitas pendidikan ketimbang menghargai dan melihat proses
yang sesungguhnya terjadi di sekolah.
Proses pembelajaran
Jika ketiga kebijakan itu terus dikontrol secara
ketat dan tertib, baik aspek teknis maupun anggarannya, kita pasti akan
memiliki makna kebebasan guru yang sesungguhnya. Guru yang tidak terpenjara
oleh jenis kejar setoran seperti model evaluasi jenis ujian nasional yang menafi
kan peran dan kebebasan guru dalam menilai. Implementasi kebijakan MBS
sesungguhnya akan berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di kelas.
Beberapa riset tentang hal itu bahkan menyimpulkan
bahwa MBS berkorelasi positif terhadap kehadiran guru (attendance),
kepercayaan (trust), dan kepuasan terhadap guru (job satisfaction)
dalam mengajar. Kepercayaan merupakan aspek yang sangat penting dalam
pembelajaran di kelas, terutama ketika seorang guru mampu menunjukkan jati dirinya
sebagai guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif.
Ciri lain dari kebebasan guru juga dapat dilihat
dari dan berkaitan erat dengan pembelajaran yang demokratis. Pembelajaran yang
kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu strategi guru dalam
membelajarkan para peserta didik dengan melibatkan mereka dalam kelompok kecil
untuk melakukan aktivitas belajar guna meningkatkan interaksi yang positif.
Model cooperative learning dapat
meningkatkan ingatan (retention), penggunaan level alasan yang lebih
baik, kepercayaan diri, dan kemampuan dalam bersosialisasi di antara peserta
didik. Selain itu, cooperative learning dapat meningkatkan
motivasi belajar dan membuat peserta didik lebih mendalami materi pelajaran
yang dipelajari.
Kurikulum baru yang sesungguhnya juga tidak
barubaru amat, lebih banyak mengadaptasi kurikulum berbasis kompetensi.
Kurikulum itu berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada
peserta didik, serta pada keberagaman sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum
tersebut diharapkan dapat benar-benar membuat peserta didik mempunyai
kompetensi pada mata pelajaran yang diajarkan, yaitu tidak hanya sampai pada
ranah kognitif tingkat rendah, tetapi harus sampai pada ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik tingkat tinggi.
Untuk menjaring hasil kerja yang dilakukan peserta
didik, dalam melaksanakan penilaian, guru dapat melakukannya dengan berbagai
bentuk tes seperti tes tertulis, tes penampilan (performance), penugasan
atau proyek, dan kumpulan hasil kerja dan tugas peserta didik dengan disertai
komentar guru (portofolio).
Dengan memperhatikan rencana pemberlakuan dan
muatan kurikulum berbasis kompetensi seperti itu, di satu sisi guru memang
mempunyai kebebasan dalam melakukan pembelajaran, mulai menyusun silabus,
melaksanakan pembelajaran di kelas, sampai dengan melakukan evaluasi. Namun di
sisi lain, kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab dan volume tugas
yang lebih berat. Oleh karena itu, pemberlakuan kurikulum baru itu harus
diikuti pembaruan yang lain, seperti diseminasi kepada guru dan pengurangan
jumlah peserta didik maksimal dalam satu rombongan belajar.
Ahmad
Baedowi ;
Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 01 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi