Pendidikan gratis laris manis jadi jualan di
berbagai ajang kampanye pemilu kepala daerah ataupun nasional. Program yang
berpihak pada rakyat ini memang menggembirakan. Namun sayang, sering kali
sekadar ”janji manis” bernuansa politis demi menggaet simpati masyarakat.
Ketika pemerintah pusat baru berani menjamin
pendidikan dasar gratis di tingkat SD-SMP, sesuai amanat UUD 1945, saat ini
saja tercatat 14 provinsi yang sudah mengklaim telah melaksanakan wajib belajar
12 tahun. Adanya kata wajib belajar tentu sah saja jika dituntut gratis.
Ada yang memang bisa berjalan karena didukung
dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun, yang sekadar
”janji manis” pada akhirnya meninggalkan beban di pundak pihak sekolah.
Tri Budi Ananto, Kepala SMKN 5 Mataram, Nusa
Tenggara Barat, mengatakan, wajib belajar 12 tahun sebenarnya dicanangkan
Pemerintah Kota Mataram sejak 2009. Namun, baru pada tahun ajaran 2012/2013 ada
kucuran dana semacam bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) dari pemerintah
setempat.
Sebelum ada Bosda, wajib belajar 12 tahun berjalan
maju-mundur. Awalnya, sekolah menggratiskan biaya sekolah buat siswa pemegang
Jamkesmas. Ketika tahun berikutnya dukungan APBD tak kunjung datang,
penggratisan pun tak lagi bisa penuh, hanya separuhnya. Itu pun khusus bagi
yang berasal dari keluarga pemegang kartu Jamkesmas.
Ketika Bosda mulai dikirimkan ke sekolah, kendala
tetap juga membayangi pelaksanaan pendidikan gratis. Kucuran Bosda tak selancar
yang diharapkan pihak sekolah. Alokasi Bosda untuk semester genap tahun 2013
belum juga kunjung diterima sekolah.
Jika pada semester ganjil dikucurkan Rp 150.000 per
siswa, untuk semester genap ini menurun jadi Rp 90.000 per siswa. Padahal,
sekolah sudah menggratiskan biaya bulanan siswa mampu ataupun yang berasal dari
keluarga miskin.
”Kami mendukung saja pencanangan pendidikan gratis
oleh pemerintah daerah. Namun, yang penting sekolah juga diberi dukungan dana
untuk merealisasikannya kepada masyarakat,” kata Tri.
Masyarakat yang telanjur percaya dengan ”janji
manis” yang bertebaran saat kampanye memang berhak menuntut. Sekolah jadi serba
salah. Ketidakpastian soal dukungan pendanaan inilah yang sering jadi biang
masalah.
Klaim daerah
Di sisi lain, meski anggaran sekolah gratis masih
bergantung penuh pada anggaran pemerintah pusat lewat bantuan operasional
sekolah (BOS), pemerintah daerah mengklaim seakan program itu milik daerah.
Padahal, BOS disebut sebagai bantuan dengan harapan pemerintah daerah menambah
alokasinya lewat APBD.
Kasmawati, Kepala SDN 2 Lamokato, Kabupaten Kolaka,
Sulawesi Tenggara, mengatakan, di daerah ini pendidikan gratis baru dicanangkan
sembilan tahun alias SD-SMP. Anggarannya masih bergantung pada BOS yang
dikucurkan Kemdikbud.
Besaran BOS untuk SD Rp 580.000 per siswa per
tahun. Di jenjang SMP Rp 710.000 per siswa per tahun. Sekolah mendapatkan
alokasi dana BOS sesuai dengan jumlah siswa.
Bisa jadi klaim daerah ini semakin menjadi-jadi
menjelang Pemilu 2014. Apalagi pemerintah pusat mulai tahun ajaran 2013/2014
bakal mencanangkan pendidikan menengah universal sebagai rintisan wajib belajar
12 tahun. Siswa SMA/SMK sederajat juga bakal dapat BOS seperti di SD dan SMP
dengan besaran Rp 1 juta per siswa per tahun.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh
memang belum bisa menjamin pendidikan di SMA/SMK sederajat bakal gratis seperti
di SD-SMP. ”Semestinya dengan adanya BOS tidak naik atau bisa lebih murah,”
ujar Nuh.
Menurut Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi
Guru Independen Indonesia (FGII), hitungan ideal untuk pendidikan bermutu di
jenjang SMA bisa berkisar Rp 4 juta per siswa per tahun. ”Jangan sampai
masyarakat diiming-imingi wajib belajar 12 tahun gratis, tapi dananya belum
cukup. Namanya dijanjikan, ya, tidak salah masyarakat menuntut. Namun, sekolah
yang akhirnya kelabakan,” kata Iwan.
Pendidikan gratis pun tidak sekadar dimaknai siswa
pergi ke sekolah dengan tidak membayar. Yang justru harus dipastikan, siswa
mendapat layanan pendidikan yang semakin bermutu.
Abbas Ghozali, pengajar UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, yang juga mantan Ketua Tim Ahli Pembiayaan Badan Standar Nasional
Pendidikan, dalam makalahnya, ”Implikasi Fiskal Pendidikan Dasar Gratis 2008
dan 2009”, mengatakan, pendidikan gratis memang dapat menimbulkan tafsir
beragam dan kebijakan operasional yang beragam pula. Oleh karena itu, kebijakan
pada tataran operasional sangat diperlukan agar kebijakan pendidikan dasar
gratis dapat dilaksanakan secara efisien dan konsisten untuk mencapai
tujuannya.
Menurut Abbas, penyelenggaraan pendidikan dasar
gratis merupakan sebuah konsep yang dinamis, dalam arti kandungan dalam paket
layanannya berevolusi sejalan dengan tuntutan daya tampung dan kualitas, dalam
batas kapasitas fiskal.
Pendidikan gratis dengan layanan pendidikan bermutu
itulah harapan masyarakat. Realisasinya tentu membutuhkan pendidik yang
berkualitas dan terjamin kesejahteraannya, sarana dan prasarana sekolah yang
sesuai standar nasional, hingga pembiayaan atau bahan dan alat pembelajaran habis
pakai.
Namun, tampaknya pendidikan gratis yang bermutu
masih jauh panggang dari api. Kondisi guru bukan hanya belum berkualitas
seperti yang diharapkan meski sudah disertifikasi. Hampir satu juta guru
berstatus honorer. Akibatnya, dana BOS pun terserap untuk gaji guru meski kini
dibatasi maksimal 20 persen.
Belum lagi ruangan kelas yang rusak mencapai
ratusan ribu. Di SD terdapat 173.344 ruangan kelas yang rusak dan di SMP
sebanyak 41.027 ruangan kelas.
Dari segi kualitas sekolah, jika mengacu akreditasi
juga masih memprihatinkan. Hampir 50 persen sekolah/madrasah berakreditasi C.
Sekolah ini memiliki titik lemah di sektor tenaga pendidik dan kependidikan,
standar kelulusan, dan sarana-prasarana.
Gratis versus kualitas
Kebijakan pendidikan gratis yang belum didukung
dengan komitmen pendanaan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas
sekolah, memunculkan pesimisme. Dengan cap gratis, sekolah jadi terjebak sulit
meningkatkan diri karena sumber dana yang terbatas dan tak pasti.
Tak heran jika sekolah pun kemudian memutar akal
untuk dapat dukungan pendanaan. Dengan adanya celah, partisipasi masyarakat
diperbolehkan, sekolah menggandeng komite sekolah untuk bisa menjadi pendukung
adanya pungutan kepada masyarakat.
Pendidikan gratis pun kini jadi abu-abu. Antara
janji manis kampanye dan realitas jadi tidak sejalan.
Ahmad Musyadad, Kepala Madrasah Ibtidayah Negeri
Jejeran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, jika mengandalkan BOS,
sekolah yang memiliki program khusus dengan penguatan siaga bencana, sekolah
sehat, dan sekolah hijau ini sulit merealisasikan program. Sekolah kemudian
melibatkan orangtua untuk merencanakan program yang dibutuhkan siswa, termasuk
siap untuk memberikan dukungan dana.
”Jika mau bicara ideal, dengan kondisi sekolah
kami, hitungan kebutuhan siswa sekitar Rp 1 juta per siswa per tahun.
Mengandalkan dana BOS masih kurang,” ujar Ahmad.
Pendidikan gratis sebenarnya bukanlah hal tabu jika
dimaknai untuk melayani masyarakat, bukan untuk sekadar menarik simpati sesaat
supaya menang pemilu kepala daerah. ”Wajib belajar sembilan tahun itu tugas
pemerintah. Itu harus diwujudkan, bukan lagi jadi jualan setiap kampanye,” kata
Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.
Dengan anggaran pendidikan yang semakin besar, yang
semestinya tidak dimanipulasi demi pencitraan terpenuhinya minimal 20 persen
dengan memasukkan gaji guru, pendidikan gratis bermutu di Indonesia bukan hal
yang sulit. Sayang, janji manis yang masih sering ditawarkan. Dan, korupsi tak
terkendali menggerus hak rakyat menikmati pendidikan gratis.
Ester
Lince Napitupulu ;
Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi