DALAM sejarah para nabi, Nuh merupakan penyelamat
keberlangsungan umat manusia karena berhasil membuat perahu yang membuat
manusia terhindar dari badai besar siksa Tuhan. Akan tetapi, kita tak mungkin
dan tak bisa menganalogikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Mohammad Nuh seperti Nabi Nuh meski seolah dapat dikesankan bahwa dengan
kurikulum 2013 yang baru, seakan-akan dia akan menyelamatkan dunia pendidikan
Indonesia yang nyaris karam karena tak kunjung meningkat kualitasnya.
Kurikulum yang dibuat Mendikbud saat ini terhitung sudah
merupakan perubahan yang kesekian kalinya sebagai penyempurnaan dari kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Padahal, KTSP belum tuntas dilaksanakan baik
dari segi sosialisasi hingga proses implementasi di sekolah. Perlukah kurikulum
diubah atau disempurnakan?
Jika kurikulum dimaksudkan sebagai panduan atau roadmap
proses pembelajaran dalam rangka terciptanya kualitas pendidikan, perubahan
terhadapnya jelas merupakan keniscayaan. Dengan sifatnya yang sangat dinamis,
kurikulum memang sudah seyogianya berubah dan menyesuaikan perkembangan zaman
dan perkembangan anak didik. Keberanian Mendikbud untuk mengubah kurikulum
patut diapresiasi jika tujuannya ialah menjadikan anak-anak Indonesia lebih
beradab dan santun. Yang perlu dipastikan ialah seberapa siap para guru yang
akan menjadi ujung tombak perubahan itu?
Perubahan kurikulum itu perlu selagi masih ada pendidikan
karena pendidikan akan selalu ada selagi masih ada kehidupan. Dengan demikian,
jika setiap bentuk pendidikan formal perlu kurikulum, kurikulum itu perlu
diubah sesuai dengan kebutuhan zamannya. `Curriculum is a product of
time... curriculum responds to and is changed by social forces, philosophical
positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational
leadership at its moment in history' (Oliva, 1992:29). Sebagai sebuah
produk waktu, kurikulum pasti akan berubah sebagai respons terhadap berubahnya
masyarakat, landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, perkembangan
pengetahuan, serta perubahan lainnya.
Tetap perlu inovatif
Perubahan orientasi kurikulum 2013 yang akan lebih banyak
menekankan aspek pengembangan sikap dan perilaku anak jelas harus didukung.
Sudah saatnya para guru mempersiapkan diri dengan tuntutan itu, terutama dalam
menyiapkan beragam tool dan kreativitas dalam menjalankan
proses belajar-mengajar di kelas. Asumsi saya mengatakan, jika pada KTSP guru
disibukkan dengan pembuatan lesson design atau rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), dengan adanya buku pegangan guru dan siswa yang disiapkan sebagai
komplemen dari kurikulum 2013 tentu akan memudahkan guru dalam menjalani proses
belajar-mengajar di kelas. Meski demikian, tetap saja kreativitas dan inovasi
pembelajaran yang kaya strategi dan metode akan sangat dibutuhkan para guru.
Perubahan kurikulum secara esensial pasti akan mengubah pula
standar nasional pendidikan (SNP), yang pada akhirnya akan berkonsekuensi pada
perubahan standar isi, standar proses, dan standar kompetensi lulusan, standar
penilaian, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan dan standar pembiayaan. Semuanya sudah
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 dengan perubahannya (PP
No 32 Tahun 2013) tentang standar nasional pendidikan (SNP). Namun menurut
saya, di antara standar nasional pendidikan, yang sangat dominan dalam
peningkatan mutu pendidikan ada di dalam standar proses.
Itu artinya dari delapan standar yang sudah ditetapkan
pemerintah melalui UU Sistem Pendidikan Nasional, standar proses harus menjadi
titik fokus para guru dengan bantuan dari para fasilitator dan pengawas tingkat
nasional. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1
menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur utama mendidi mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Beban ‘profesional’ yang dimiliki seorang guru tentu saja
menuntut kesungguhan dan ketekunan dalam setiap usaha peningkatan proses
belajarmengajar di dalam kelas. Kapasitas dan kompetensi guru harus terus
dipacu dan ditingkatkan, baik peningkatan aspek kompetensi keilmuannya mau pun
kompetensi pedagogis, kepri badian, dan sosial seorang guru.
Karena itu, momen pember lakuan kuriku lum baru juga dapat
dimanfaat kan pemerintah dalam membuat assessment secara komprehensif un tuk
memetakan kemampuan guru berdasarkan ting kat kompetensi akademis, leader ship
dan sosial, untuk dan dalam rangka mening katkan standar proses belajar
mengajar di kelas, sekolah, dan ling kungan lainnya.
Peran pengawas
Sebagus apa pun perubahan kuri kulum pendi dikan, semuanya
akan sangat bergantung kepada kemampuan guru. Dalam banyak kasus, guru terkesan
berjalan sendiri tanpa proses pendampingan yang memadai, baik dari kepala
sekolah, teman sejawat, maupun pengawas.
Menurut pengalaman saya, misalnya dalam kasus KTSP, banyak
guru yang kemampuan kreativitasnya tidak terasah sehingga ketika mengajar
menjadi statis, apalagi standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar
telah tersusun dalam format SKKD. Dalam menyusun indikator, terlihat banyak
guru seolah hanya meng-copy-paste SKKD dan menjadi dokumen laporan, tetapi
sangat jauh panggang dari api ketika hal itu dipraktikkan di dalam kelas.
Seakan tak ada ketersambungan SKKD dengan indikator yang ditetapkan tiap guru.
Pengawas juga memiliki kelemahan yang sama dengan dalih minimnya waktu
kunjungan dalam menyupervisi dan sebagainya.
Kemampuan guru dalam memahami karakteristik mata pelajaran
juga amat lemah. Saya tak dapat membayangkan jika kurikulum baru di tingkat
sekolah dasar akan menggunakan pendekatan tematik-integratif, tetapi tanpa
pelatihan yang konstan dan terpadu, proses belajar-mengajar dari yang
seharusnya lebih menyenangkan malah akan menegangkan siswa dan guru itu
sendiri. Pemahaman tentang aspek pedagogis dari tematik-integratif tentu harus diimbangi
dengan melatih seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan di
lingkungan sekolah, terutama pengawas, kepala sekolah, dan para orangtua
terpilih dari komite sekolah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang serius
ingin membantu peningkatan mutu pendidikan.
Peran pengawas (supervisor) sangat signifi kan dalam
peningkatan standar proses. Standar proses meliputi persyaratan pembelajaran,
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran oleh guru baik di dalam
kelas maupun di luar kelas, termasuk di antaranya bagaimana harus disupervisi
dan dievaluasi. Untuk menjaga stabilitas keseluruhan proses itu, diperlukan
pengawas dan kepala sekolah yang kuat secara visi dan kompetensi, juga melalui
sebuah penahapan pengawasan yang disepakati bersama antara guru, kepala
sekolah, dan pengawas.
Beberapa kelemahan yang selama ini ada dalam mengawal
standar proses, menurut saya, ada lima hal. Pertama, belum ada standar baku
yang dijadikan sebagai tolok ukur atau persyaratan dalam sebuah proses belajarmengajar
sehingga hasilnya belum optimal. Kedua, rasio guru-siswa dan guru-rombongan
belajar juga masih jauh dari kriteria ideal untuk suatu tahap proses
belajarmengajar yang baik dan menyenangkan. Ketiga, masih banyak guru membuat
RPP secara serampangan karena kemalasan mereka dalam membaca.
Keempat, proses supervisi belum dilakukan secara berjenjang,
misalnya dimulai dari peer-teacher, kemudian meningkat menjadi pengawasan
kepala sekolah, hingga ke pengawas. Kelima, evaluasi hasil belajar peserta didik
dalam proses pembelajaran cenderung menggunakan domain kognitif, yang belum
semua teknik penilaian digunakan secara optimal. Itulah, antara lain,
kelemahan-kelemahan yang menghambat peningkatan mutu pendidikan.
Neni Hayati Nufus ;
Pengawas
SD Kecamatan Bekasi Utara
MEDIA
INDONESIA, 01 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi