HARI ini tahun pelajaran baru 2013 dimulai. Ada yang baru di
kelas 1, 4, 7, dan 10 di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK pada 6.325 sekolah di
295 kabupaten/kota, 33 provinsi, ditambah sekitar 1.488 sekolah mandiri, yang
akan mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Di kelas-kelas itu, pasti ditemukan bukan hanya baju seragam
dan sepatu baru, tapi juga suasana berbeda, kegairahan untuk menerapkan
Kurikulum 2013.
Peristiwa ini perlu dicatat atau mungkin diamati karena
Kurikulum 2013 berbeda daripada kurikulum sebelumnya. Di mana letak
perbedaannya? Ada empat komponen utama kurikulum; (i) standar kompetensi
lulusan; (ii) standar isi; (iii) standar proses; dan (iv) standar penilaian.
Merujuk pada empat komponen itu, sedikitnya ada dua
perbedaan yang bisa diamati. Pertama, buku yang digunakan berbeda. Ini penting
diamati karena buku yang berbeda akan berimplikasi pada cara penyampaian yang
berbeda. Materinya pun pasti berbeda.
Kini buku, baik pegangan guru maupun siswa, disiapkan
pemerintah dan diberikan gratis -kecuali sekolah yang ingin menerapkannya
secara mandiri. Maknanya, konten atau isi buku sudah bisa dipastikan
terkendali, tidak ada lagi isi buku yang mengundang kegaduhan, seperti isi buku
pada mata pelajaran bahasa Indonesia di Kabupaten Bogor atau kasus serupa di
tempat lain.
Dari sistem perbukuan seperti itu, manfaat yang diperoleh
siswa, antara lain, terjaminnya capaian komptensi minimal sebagaimana yang
ditetapkan pada kurikulum. Bagi guru, persiapan mengajar lebih mudah, demikian
juga dengan pola pelatihannya lebih terarah.
Kedua, berkait dengan pendekatan atau metodologi
pembelajaran. Kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan scientific
(ilmiah) mendorong peserta didik melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan
mengomunikasikan (mempresentasikan), sekaligus membangun jejaring. Guru,
termasuk di dalamnya lembaga penghasil guru (baca: LPTK), dituntut tidak hanya
melakukan reorientasi, tapi juga mengubah pola pikir (mindset) terhadap apa
yang selama ini dipraktikkan dalam proses pembelajaran.
Air
Mata Guru
Kurikulum 2013 memang menuntut guru untuk mengubah proses
pembelajarannya yang semula lebih dominan sebagai penceramah di depan kelas
menjadi fasilitator. Tentu, ini persoalan sendiri. Sebab, selama ini ada stigma
negatif yang berkembang di masyarakat dan juga kalangan guru bahwa tidak mudah
mengubah paradigma guru berkait dengan cara mengajar dan metodologinya.
Karena itulah, mengawali implementasi Kurikulum 2013,
dilakukan pelatihan berjenjang dari mulai pelatihan instruktur nasional, guru
inti, hingga ke guru sasaran ditambah dengan pendampingan. Kekhawatiran guru
tidak mampu menerapkan kurikulum ini perlu dicermati sehingga bisa menjadi
masukan untuk pola pelatihan berikut.
Semangat guru bisa, mau, dan ingin berubah bisa dilihat dari
hasil evaluasi terhadap pelaksanaan pelatihan instruktur nasional menunjukkan
bahwa nilai rerata yang dicapai dari pretest ke posttest mengalami kenaikan
cukup signifikan 20,60 persen. Kenaikan tertinggi ada pada materi rasionalitas
kurikulum (44,64 persen). Lainnya, materi analisis materi ajar (11,05 persen)
dan materi rancangan pembelajaran dan praktik (9,53 persen).
Hasil evaluasi ini menjadi bagian yang harus bisa
menyemangati implementasi Kurikulum 2013. Hilangkan jauh-jauh stigma negatif
terhadap guru. Sebab, sesungguhnya, sebagai seorang pendidik, tidak ada guru
yang tidak ingin peserta didiknya menjadi generasi lebih unggul dan lebih baik.
Saya teringat cerita Kiai Sahal Mahfudz, seperti ini,
sewaktu belajar di madrasah, beliau pernah bertanya kepada guru yang biasa
mengajar di kelas. Sang guru berusaha menjawab pertanyaan (yang tidak
disebutkan detailnya oleh Kiai Sahal) itu. Tiba-tiba mata sang pendidik
berkaca-kaca. Rupanya, sang guru sadar, penjelasannya kurang memuaskan. Guru
tadi mengakui tidak mampu memberikan pemahaman lebih baik daripada itu.
Esoknya, dengan penuh kasih, Sahal kecil digandeng
tangannya, menghadap kepala madrasah yang dipandang lebih senior dan lebih
mumpuni. Sang kepala sekolah juga ternyata tidak mampu menjawab secara
memuaskan. Mereka berdua pun memohon maaf. Pelupuk mereka sembab oleh air mata.
Sahal pun melanjutkan belajar dari satu pesantren ke
pesantren lain. Pertanyaan satu per satu kian terjawab. Makin lama makin luas
dan dalam. Sepulang dari pesantren dan Sahal pulang kampung, dua guru madrasah
itu didatangi. Mereka masih ingat pada pertanyaan yang pernah diajukan sang
murid bertahun-tahun silam itu. Kini giliran mereka minta penjelasan
jawabannya. Mereka mengangguk-angguk dan berterima kasih, setelah dijawab.
"Sekarang, masihkah ada sosok guru seperti itu?" tanya Kiai Sahal
Mahfudz yang kini ketua MUI dan rais aam PB NU itu.
Mari kita renungkan serta mari kita beri semangat para guru
dan peserta didik untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 mulai hari ini.
Sukemi ;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
JAWA
POS, 15 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi