TULISAN Saudara Kreshna Aditya
berjudul ‘Kuda Mati Bernama Ujian Nasional’ di Media Indonesia (15/10) menambah
satu lagi mitos keliru tentang ujian nasional (UN) yang berkembang di
masyarakat. Dengan maksud untuk memberikan tanggapan atas tulisan tersebut,
artikel ini mengemukakan beberapa mitos yang santer di publik, tapi
sesungguhnya mitos yang keliru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) memandang setiap opini yang dilontarkan masyarakat sebagai bagian
dari partisipasi publik untuk kemajuan pendidikan nasional.
Sedikitnya ada sembilan mitos
keliru tentang UN yang berkembang di publik. Harus diakui, ada dua kutub berbeda
tentang UN, yang menentang dan setuju. Itu kenyataan dan pemerintah tentu harus
memilih satu di antaranya dengan pijakan yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Hal pertama tentang UN yang
keliru dipahami terkait dengan memaknai amar putusan Mahkamah Agung (MA),
sebagaimana ditulis dalam rubrik ini bahwa MA telah mengeluarkan putusan
menghentikan ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi
layanan pendidikan.
Itu pernyataan menyesatkan dan
telah berkembang menjadi mitos yang keliru. Dalam amar putusan MA, tidak ada
satu kata pun yang menyatakan penghentian pelaksanaan UN.
Terkait perbaikan sarana dan
prasarana, tentu akan terus berlanjut sampai kapan pun. Begitu juga dengan
peningkatan kualitas guru, karena sangat menentukan kualitas murid. Karena
itulah uji kompetensi dalam bentuk uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi
guru (UKG) dilakukan. Itu dilakukan untuk peningkatan kualitas dan
kesejahteraan.
Mitos keliru kedua tentang UN
sebagai satu-satunya alat untuk kelulusan. Kenyataannya, UN bukan lagi menjadi
satu-satu faktor yang menentukan kelulusan. UN hanya berkontribusi pada 60%
kelulusan, sisanya yang 40% berasal dari ujian sekolah. Itu pun harus disertai
dengan syarat bahwa seorang siswa hanya bisa mengikuti UN bilamana telah
menyelesaikan seluruh kewajiban dalam proses pendidikannya di sekolah.
Ketiga, mitos keliru yang
menyatakan bahwa UN hanya menguji kemampuan kognisi siswa. Pendapat tersebut
sepertinya benar semata-mata karena jawaban soal UN adalah pilihan berganda.
Pertanyaannya, apakah setiap jawaban berganda itu berlandaskan kekuatan hafalan
belaka? Kenyataannya tidak. Ujian dengan jawaban pilihan berganda itu juga bisa
dipakai untuk mengukur kemahiran analisis dan kemampuan sintesis. Pendekatan
itu pula yang ditempuh dalam UN, ada soal untuk mengukur kekuatan hafalan, ada
soal menguji kemahiran analisis, dan ada pula soal untuk mengetahui kemampuan
sintesis.
Keempat, mitos keliru tentang UN
tiga hari menentukan seluruh proses pendidikan. Faktanya, kelulusan seorang
siswa sangat bergantung pada sekolah dan dewan guru. Jika sekolah menilai
seorang siswa belum layak lulus, katakanlah karena masalah moral yang melebihi
tingkat kewajaran, sedangkan ia sangat pandai, pihak sekolah dapat mengambil
keputusan untuk tidak meluluskan siswa tersebut. Sudah ada contoh kasus yang
dilaksanakan sekolah.
Kelima, mitos keliru tentang UN
yang membuat stres murid dan guru serta orangtua. Dalam proses pembelajaran,
terminologi stres bukanlah berarti tekanan psikis yang mengarah ke
keputusasaan, melainkan merujuk ke fakta naiknya tingkat belajar di kalangan
peserta didik serta tenaga pendidikan dan kependidikan utamanya dalam
menghadapi ujian.
Kenyataannya, setiap ada ujian,
baik ujian sekolah maupun UN, tingkat stres tersebut naik. Hasil uji petik yang
dilakukan Kemendikbud terhadap sejumlah peserta UN menunjukkan pada umumnya
tingkat belajar para siswa naik sewaktu UN diselenggarakan.
Keenam, mitos UN meneror murid
dan guru serta orangtua. UN merupakan bagian dari proses pendidikan dengan
tujuan, antara lain, memetakan kualitas peserta didik, tenaga pendidik dan
kependidikan, satuan pendidikan, dan kebijakan pendidikan.
Oleh karena itu, sangat
keterlaluan mereka yang menyamakan UN dengan terorisme.
Ketujuh, mitos tentang UN adalah
termometer yang rusak. Menurut hemat kami, analogi itu tidaklah pas untuk
penyelenggaraan UN. Pengibaratannya terlalu menyederhanakan realitas. UN
bukanlah termometer, bukan pula barometer, melainkan multimeter. Yang hendak
diukur UN mencakup sejumlah aspek yang melekat pada peserta didik, tenaga
pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode
pengajaran, serta sarana dan prasarana, yang berujung pada intervensi yang
mesti dilakukan atas temuan dari multimeter bernama UN ini.
Kedelapan, mitos UN selalu bocor
dan penuh kecurangan. Fakta yang ada, beredarnya kunci jawaban yang tanpa kode
mata pelajaran dengan spekulasi amat tinggi dan belum tentu kebenarannya. Itu
diperoleh atas pengakuan beberapa siswa SMA di Jakarta Utara, yang tidak lulus,
dan mengakui mereka telah mengerjakan jawaban dari bocoran kunci jawaban yang
diperoleh.
Terhadap berbagai kemungkinan
tersebut, pemerintah bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai
penyelenggara terus melakukan perbaikan-perbaikan.
Pada pelaksanaan UN 2012,
Kemendikbud telah membuka posko pengaduan. Lebih dari seribuan laporan masuk ke
posko. Namun, hanya 30-an laporan yang bisa ditindaklanjuti di lapangan karena
pengaduan itu faktual dengan menunjukkan peristiwa dan lokus kejadiannya. Itu
pun setelah dilakukan pengecekan di lapangan terhadap laporan tersebut, tidak
terbukti telah terjadi kebocoran.
Kesembilan, mitos UN tidak
memberi manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Harus dipahami, dalam
pengambilan keputusan, diperlukan data yang mencerminkan realitas lapangan.
Untuk itu, data hasil UN berperan penting sebagai multimeter. Kementerian
sangat memanfaatkan data hasil UN untuk mengintervensi kebijakan. Di situlah
pentingnya UN jujur. Sekolah-sekolah yang UN-nya jujur niscaya mendapatkan
banyak manfaat karena Kemendikbud menjadi tahu apa yang sebenarnya diperlukan
sekolah itu.
Jelaslah kiranya, dari mitosmitos
tersebut, apa yang selama ini disuarakan sebagian masyarakat yang kontra terhadap
UN tidak sepenuhnya benar, termasuk yang ditulis Saudara Kreshna Aditya.
Pastinya, pemerintah tidak akan
menutup mata terhadap berbagai masukan. Karena itu, upaya perbaikan
terus-menerus dilakukan. Ada tiga hal yang terus-menerus diperbaiki agar UN kredibel.
Pertama dari sisi metodologi, menyangkut pembuatan dan sistem penilaian soal;
kedua, teknologi; serta ketiga, manajemen pelaksanaan.
Sukemi ;
Staf Khusus Mendikbud Bidang
Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi