PERTUMBUHAN ekonomi di Asia
terbilang menakjubkan dalam satu dekade terakhir. Namun sayangnya, pertumbuhan
itu juga dibarengi dengan meningkat dan meluasnya ketidakseimbangan di sektor
lainnya. Karena itu, pendidikan menjadi kata kunci utama dalam membangun
keseimbangan ekonomi, sosial, dan politik. Pilihan terhadap bentuk dan sistem
pendidikan yang inklusif, terbuka, dan menghargai kesempatan setiap orang ialah
hal yang imperatif bagi usaha memerangi iski nan dan kebodohan yang dapat
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan.
Sistem pendidikan yang baik
setidaknya ditandai dua hal, yaitu dapat memberi peluang kepada setiap individu
secara adil dan dari sudut pembiayaan juga efisien.
Dalam konteks Indonesia, memberi
peluang secara adil sering digunakan sebagai bahan bagi kampanye sekolah gratis
yang tidak menguntungkan dari segi kualitas. Dalam beberapa kasus, itu justru
menimbulkan inefisiensi karena sering kali pembiayaan pendidikan dibuat secara
sembrono dan pukul rata. Padahal, makna sejati equality of access ialah
terciptanya kesempatan bagi siapa saja untuk secara sehat berkontribusi di
bidang pendidikan.
Laporan Asian Development Bank
(ADB) 2012 tentang maraknya praktik shadow education dicemaskan sebagai salah
satu isyarat ketidakberesan sistem pendidikan di negara-negara Asia. Shadow
education merupakan sejenis lembaga pendidikan seperti lembaga bimbingan belajar
atau private lesson yang bermunculan justru ketika sistem pendidikan tidak
inklusif dan pembiayaan pendidikan ditengarai kacau-balau. Shadow education
dikhawatirkan dapat menciptakan inefi siensi dan biaya tinggi di bidang
pendidikan.
Laporan Mark Bray dan Chad Lykins
dalam Shadow Education: Private Supplementary Tutoring and Its Implications for
Policy Makers in Asia (ADB: 2012) menyebutkan semakin banyak orangtua di
negara-negara Asia menghabiskan uang untuk pelajaran tambahan yang disediakan
pihak swasta, baik dalam bentuk private lesson maupun bimbingan belajar. Ada
banyak alasan mengapa shadow education terjadi--dengan kualitas pendidikan yang
rendah, salah satunya. Di beberapa negara seperti Hong Kong dan Korea, tempat
aturan tentang praktik jenis itu sangat ketat, shadow education bahkan tetap
terjadi dan peminatnya juga tinggi.
Di Korea, hampir 90% siswa
sekolah dasar paling tidak menerima mata ajar tambahan dalam praktik shadow
education. Sebanyak 85% siswa sekolah menengah pertama di Hong Kong juga
melakukan hal yang sama. Dalam jumlah yang lebih kecil, yaitu sekitar 65%,
siswa sekolah menengah pertama di India dan Kazakhstan juga memperoleh semacam
private supplementary tutoring itu. Data-data tersebut menunjukkan fenomena
shadow education menyebar secara merata dan intensif.
Di Indonesia sendiri, suka tidak
suka, praktik shadow education justru marak karena masyarakat seolah tidak
percaya pada sistem sekolah. Selain itu, shadow education muncul sebagai akibat
logis, salah satunya bermuasal dari kebijakan ujian nasional (UN). Fenomena
itu, dalam kerangka pembiayaan pendidikan, menjadikan para orangtua
(masyarakat) seperti berlomba-lomba mengha biskan dana pendidikan untuk
pencapaian sebuah nilai, bukan tujuan. Karena itu, memasukkan anak-anak mereka
untuk mengikuti bimbingan belajar dan memanggil guru les menjadi sebuah
kebutuhan yang tidak bisa dihindari.
Temuan sangat menarik juga
dikemukakan dalam studi Nathan (2002) bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan
para orangtua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka ternyata bukan
di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar yang mengajari anakanak
kita konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat, dan disiplin untuk tujuan
nilai atau skor, bukan tujuan dasar pendidikan. Sudah saatnya biaya pendidikan
dialihkan menjadi spend money to support goals, not scores.
Dalam studi Elmore dan Fuhrman
(2001) juga ditemu kan, efek pe ngujian semacam UN hanya membuat para guru
bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih banyak. Itu bukan untuk meningkatkan
mutu proses belajar-mengajar, melainkan hanya untuk nilai semata mata.
Mengingat jumlah guru berkualitas kurang memadai, wajar jika masyarakat ikut
menambah biaya pendidikan anak-anak mereka ke dalam skema shadow education.
Sangat jelas bahwa fenomena shadow education juga merupakan implikasi logis
dari skema pembiayaan pendidikan yang tidak fokus dalam peningkatan kapasitas
guru.
Jika dilihat manfaat dan
mudaratnya, praktik shadow education memang dapat meningkatkan kemampuan anak
anak dalam memahami dan mengerjakan soal-soal yang akan diujikan di sekolah
mereka. Pelajaran tambahan mungkin juga baik bagi perkembangan human capital
yang akan menyumbang pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Namun, mudaratnya juga
perlu dihitung secara cermat. Yakni, selain menandakan lemahnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kualitas guru dan sekolah, shadow education
membuat anak menjadi kekurangan waktu untuk bermain dan berolahraga. Padahal,
jika kita lihat manfaat bermain dan berolahraga bagi kesehatan fisik dan
meningkatkan ikatan kohesi sosial di masyarakat, pengaruh negatif shadow
education juga perlu dikaji secara mendalam.
Harus diakui juga, shadow
education hanya berlaku bagi orangtua dengan tingkat pendapatan yang memadai
atau kaya. Secara tidak langsung, shadow education dapat menciptakan disparitas
sosial yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin. Itu berarti secara
tidak sadar mereka telah menyumbangkan terjadinya praktik inefisiensi anggaran
yang dengan sengaja diciptakan untuk mengeruk uang negara bagi kepentingan
politik tertentu. Laporan ADB merekomendasikan agar negara-negara dengan sistem
pendidikan kualitas rendah mereformasi system of assessment and selection, yang
salah satunya diimplementasikan melalui praktik ujian nasional.
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 22 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi