Belajar
di sebuah perguruan tinggi telah menjadi harapan setiap siswa-siswi setelah
menyelesaikan pendidikan tingkat SMA atau sederajat. Belajar di sebuah
perguruan tinggi menjadi impian yang sangat besar bagi setiap individu. Bahkan,
tidak sedikit yang melakukan kerja ekstra keras untuk dapat mengikuti dan
merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Semua itu dilakukan tidak lain agar
bisa sampai ke titik puncak, lulus dan memperoleh julukan 'sarjana'.
Sarjana
dianggap sesuatu yang prestisius oleh kebanyakan masyarakat. Ada banyak sekali
definisi sarjana. Sarjana adalah lulusan akademik atau perguruan tinggi yang
menempuh jenjang studi berdasarkan spesifikasi jurusan tertentu. Sarjana juga
bisa berarti seseorang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar
tertentu. Kebanyakan masyarakat beranggapan apabila kesarjanaan telah di
tangan, uang akan segera berdatangan (mendapat pekerjaan).Dewasa ini, jutaan
orang Indonesia sudah mempunyai gelar sarjana. Setiap tahun jumlahnya pun terus
meningkat. Lembaga statistik ITS mencatat bahwa populasi penduduk Indonesia
yang mencapai lebih dari 241.000.000 jiwa, 9.640.000 orang adalah sarjana.
Namun, di
balik kuantitas sarjana yang semakin meningkat, terdapat sejumlah tanda tanya
yang terlintas di pikiran masyarakat. Karena, peningkatan kuantitas sarjana
pada zaman sekarang, tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas atau mutu pada
setiap individu. Bisa kita amati bersama melalui data BPS yang mencatat bahwa
pengangguran di Indonesia tahun 2010 saja sudah mencapai jumlah 8,32 juta orang
dan 11,92 persen adalah bergelar sarjana. Lalu, bagaimana bila setiap tahun
jumlah sarjana terus meningkat?
Sarjana
selama ini menjadi mitos agar bisa meraih penghidupan layak (survival of live).
Meraih sarjana tak ubahnya sebagai pemenuhan naluri mempertahankan diri (self
preservation drive) daripada naluri ideologis untuk lebih peka terhadap situasi
sosial. (Sigmund Freud, 1979: XVII-XX). Sarjana diraih an sich hanya untuk
bekerja agar terpenuhi naluri dasar hidupnya kelak (makan, tidur dan
berhubungan seks/berkeluarga), bukan untuk mengabdi dan berbakti tentang masa
depan masyarakat banyak.
Gelar
sarjana yang memiliki amanat sebagai pembelajar, pengembang dan pengabdi
keilmuan kepada publik tak begitu tampak di pabrik para sarjana, yaitu kampus.
Yang ada, setelah memperoleh gelar sarjana, pertanyaan yang muncul 'kerja di
mana?' Dan, pekerjaan apa? Padahal, gelar sarjana yang sebenarnya mengusung
tugas menjadikan seseorang yang berintelektual. Karena, masyarakat butuh
perubahan. Dan perubahan hadir melalui kalangan intelektual yang mampu berpikir
demi kemaslahatan sosial.
Mitos
sarjana yang berorientasi hanya untuk meraih uang dan pekerjaan, maka dalam
proses meraih gelar sarjana tidak ada niat untuk menjadikan mahasiswa yang
peduli sosial. Akhirnya gelar sarjan diraih tanpa adanya proses pembelajaran
yang benar untuk menjadikan dirinya sebagai pengabdi masyarakat. Dan, parahnya,
akan melahirkan manusia-manusia yang berlogika pragmatis dan hedonis.
Plagiarisme
adalah contoh nyata bukti tak terbantahkan betapa orientasi pragmatis berjalan
beriringan dalam proses mencetak para sarjana. Bagi mereka yang berpikir pragmatis,
yang penting adalah gelar untuk bekerja, bukan gelar untuk belajar dan
mengabdi.
Sudah
jelas kiranya pokok permasalahan yang ada di Indonesia terkait minimnya
kualitas para sarjana adalah dikarenakan orientasi akan gelar sarjana. Gelar
sarjana hanya dimaknai pada bagaimana memenuhi kebutuhan hidup untuk kemudian
mati sebagai manusia yang tidak pernah merasa kekurangan memenuhi kebutuhan
hidup.
Sesungguhnya
ada tanggung jawab baru yang harus dipenuhi oleh seorang saraja. Tanggung jawab
itu menjadi sebuah keniscayaan karena seseorang dapat memperoleh fasilitas
pendidikan (kampus dengan segala fasilitas penunjang) yang mengantarkannya
menjadi sarjana bukan semata-mata karena prestasinya saja, tetapi juga karena
ada kontribusi yang diberikan oleh - dan sesungguhnya juga pengorbanan -
pihak-pihak lain.
Gelar
sarjana bisa mereka dapatkan karena pajak rakyat. Pajak itu dipungut dari
seluruh warga negara, termasuk para pedagang kecil di pasar-pasar pinggiran.
Karena itu, kaum sarjana memiliki kewajiban untuk membalas jasa rakyat yang
telah memberikan pajak yang digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan
mereka.
Fenomena
yang terjadi saat ini, lebih banyak sarjana yang tidak menyadari tanggung jawab
itu, karena tidak memahami dengan baik tentang asal muasal biaya pendidikan
yang mereka nikmati. Lebih banyak di antara mereka yang berpikir simplistis
bahwa mereka dapat memasuki dunia perguruan tinggi karena mereka adalah
manusia-manusia terpilih karena prestasi pribadi mereka belaka.
Memprihatinkan
Mereka
sesungguhnya adalah orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan diri sendiri.
Mereka tidak memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki keadaan. Mereka
meninggalkan orang-orang yang sesungguhnya telah memberikan pengorbanan untuk
kesuksesan mereka. Kapan mereka akan membalas pengorbanan rakyat jika mereka
hanya memikirkan kesuksesan pribadi dan tidak memiliki etos kejuangan untuk
melakukan perbaikan.
Sudah
saatnya pemerintah memberikan orientasi kepada semua elemen akademis dalam hal
ini kampus untuk sesegera mungkin mencetak kelompok sarjana intelektual, bukan
berpendidikan tinggi. Karena, kelompok intelektual selalu berdialektika dengan
segala problem kehidupan, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan,
keangkaramurkaan, ketidakpedulian dan seterusnya. Sarjana yang memiliki ghirrah
intelektual tak akan pernah menganggur karena banyak hal yang harus dipikirkan
dan harus dicarikan jalan keluar olehnya. Semoga sarjana kita masih layak
diharapkan aksinya.
Muhammad Abu Nadlir ;
Dosen STEBank Islam Mr Sjafruddin
Prawiranegara
Jakarta dan Peneliti The Fatwa Center
SUARA KARYA, 15 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi