Tulisan
Boediono berjudul ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012)
menarik ditanggapi.
Kita
patut menyambut baik apa yang Boediono idealkan mengenai konsep pendidikan
untuk pembangunan, yaitu penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang punya soft
skills (warga negara yang baik) dan hard skills (pekerja yang baik). Banyak
pakar sepakat soft skills lebih penting daripada hard skills. Sejak 1995,
Daniel Goleman sudah mengunggulkan kecerdasan emosi (EQ) yang dikatakannya
berkontribusi 80 persen pada keberhasilan seseorang di dunia kerja. Kecerdasan
intelektual (IQ) hanya 20 persen.
Robert
Strenberg dari Universitas Yale memperkenalkan istilah successful intelligence
(SI) yang dianggap lebih penting daripada hard skills. Seorang dengan SI tinggi
akan meraih sukses karena mampu memotivasi dirinya untuk terus maju, mengontrol
emosi/impulse negatif, berani mengambil risiko, tidak menunda pekerjaan, fokus,
mampu memecahkan masalah, menerjemahkan pikiran dalam aksi nyata, percaya diri,
inisiator, serta mampu berpikir kreatif, analisis, dan praktis yang seimbang.
Berpikir Rendah
Kesadaran
akan pentingnya soft skills (selanjutnya disebut successful intelligence/SI)
telah mengubah paradigma tentang kecerdasan manusia, dari konsep konvensional
yang mendewakan kemampuan akademik, ke arah pentingnya memasukkan SI pada
ukuran kecerdasan. Bahkan, dengan memfokuskan pada penanaman SI, kemampuan hard
skills seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya.
Masalahnya,
membentuk SI jauh lebih sulit. Ironisnya, SI justru diabaikan pada sistem
sekolah konvensional. Hard skills bisa dipelajari dengan membaca buku,
menghafal, dan latihan berulang. Namun, mengajarkan siswa untuk cakap mengolah
emosi, berkarakter baik, punya motivasi, berpikir analitis, kritis, dan kreatif
perlu usaha besar, seni, dan teknik tersendiri.
Tantangan
terbesar pendidikan kita adalah bagaimana menerjemahkan konsep SI ke dalam
operasional sistem pendidikan. Data justru menunjukkan sistem pendidikan kita
belum berhasil membentuk SI. Misalnya, dalam kemampuan berpikir tinggi (higher
order thinking skills/HOTS), berdasarkan data TIMMS 2007 (Trends in
International Math and Science Survey), hanya 1 persen siswa Indonesia yang
memiliki kemampuan berpikir advanced (mengolah informasi, membuat generalisasi,
menyelesaikan masalah nonrutin, mengambil kesimpulan data). Bandingkan dengan
siswa Taiwan, Korea, dan Singapura yang mencapai rata- rata di atas 40 persen.
Sedihnya,
78 persen siswa Indonesia memiliki kemampuan berpikir rendah dan di bawah
minimal atau lower order thinking skills (LOTS). Untuk kategori ini, siswa
Taiwan, Korea, Singapura, Hongkong, dan Jepang di bawah 15 persen.
LOTS ini
akan membuat siswa tidak berpikir analitis, tanpa inisiatif dan mudah ikut
arus/diprovokasi. Rendahnya mutu SDM ini adalah hasil dari sebuah proses
sosialisasi dan pendidikan, meski pada dasarnya manusia punya potensi sama
untuk sukses.
Pertanyaannya,
mengapa sistem pendidikan kita belum menghasilkan SI tinggi? Untuk itu perlu
dikaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan SI. Proses belajar
yang berorientasi terlalu akademik melalui metode hafalan, latihan
berulang/drilling, instruksi terstruktur, dan pengajaran satu arah seperti yang
dilakukan di sekolah konvensional berpotensi negatif terhadap terbentuknya SI.
Orientasi
ini memang dikondisikan dengan memberikan serangkaian tes/ujian yang
membutuhkan jawaban baku (benar-salah, dan pilihan berganda). Cara ini hanya
dapat mengembangkan kemampuan berpikir rendah. Siswa, misalnya, mampu mengingat
tahun Perang Diponegoro tanpa mengerti konteksnya, apalagi menganalisis mengapa
perang bisa terjadi dan apa implikasinya. Menurut Albert Einstein, mengajarkan
manusia menghafal saja ibaratnya menyiapkan anjing terlatih yang tidak
memerlukan daya pikir tinggi.
Bloom
berpendapat, lebih dari 95 persen bentuk tes orientasi ini perlu kemampuan
berpikir rendah sehingga proses belajar diarahkan hanya untuk mendapatkan nilai
bagus. Artinya, sejak kecil kemampuan berpikir manusia Indonesia dibentuk hanya
untuk berpikir rendah; tepatnya, keterampilan memori jangka pendek (lupa
setelah ujian).
Masalahnya,
setelah siswa lupa semua apa yang dihafalkannya, mereka tak punya keterampilan
apa-apa lagi. Padahal, pada era Google ini, mudah sekali kita mendapatkan
informasi tanpa harus menghafal. Seharusnya siswa disiapkan untuk dapat
mengolah informasi untuk pemecahan masalah yang memerlukan kemampuan berpikir
tinggi. Sayangnya, kemampuan siswa hanya ”terkunci” pada ingatan berjangka
pendek. Hal ini dapat menjawab mengapa 78 persen siswa kita berada dalam
kategori berpikir rendah dan hanya 1 persen yang berpikir advanced.
Bentuk
jawaban tes umumnya hanya satu yang benar. Hal ini tidak memberikan peluang
bagi siswa untuk bersikap fleksibel terhadap keragaman pendapat dan adanya
wilayah abu-abu dalam dunia nyata. Akibatnya, siswa terbiasa berpikir
hitam-putih, tidak mampu berpikir alternatif/berbeda. Kehidupan masyarakat yang
tidak toleran terhadap perbedaan, merasa diri/kelompok paling benar yang kerap
memicu konflik adalah gambaran dari cara berpikir seperti ini.
Dampak
lain dari orientasi nilai adalah kemungkinan terbentuknya sifat ”takut salah”.
Sikap ini adalah sikap takut mengambil inisiatif, menghindari risiko, takut
berbeda, takut dikritik, dan mencari zona aman. Dalam kehidupan nyata, sikap
ini akan diwarnai oleh para individu yang ragu mengambil keputusan, mencari
pekerjaan yang aman (misalnya pegawai), menghindari tantangan serta rendahnya
jumlah entrepreneur sehingga sulit untuk punya daya saing pada era ekonomi
kreatif abad ke-21.
Harus Berubah
Dalam
perspektif neuroscience, terlalu berorientasi akademik bisa membahayakan
perkembangan otak, terutama pada anak-anak di bawah usia 14 tahun, yang 90
persen pembentukan otaknya terjadi pada masa ini. Proses pembelajaran yang
membosankan dan penuh beban akan membuat siswa mudah stres. Hal ini dapat
memicu depresi. Hasil studi Bremner menunjukkan, stres dapat membunuh sel-sel
otak sehingga memperkecil volume otak bagian hippocampus. Suasana stres juga
mengaktifkan bagian batang otak. Stres berkepanjangan akan memunculkan sifat
reptil yang reaktif dan impulsif tanpa berpikir. Maraknya perilaku bullying, tawuran,
sikap brutal tanpa empati, mungkin disebabkan dominannya peran otak reptil ini.
Kesimpulannya,
sistem pendidikan terlalu berorientasi akademik justru menghambat SI. Belum
lagi faktor lain menyangkut kurikulum, kualitas guru, fasilitas sekolah dan sebagainya.
Untuk mendukung SI, banyak negara maju yang tidak memberikan nilai, apalagi
ranking pada siswa tingkat rendah. Swedia, misalnya, tidak memberikan nilai
angka sampai kelas IX (hanya penilaian deskripsi verbal). Begitu pula siswa
kelas rendah di Finlandia. Kedua negara itu memang menduduki nilai teratas
dalam TIMMS dan PISA. Karena evaluasi siswanya menggunakan esai, reasoning, dan
pemecahan masalah, kemampuan berpikir tinggi yang dikembangkan.
Jalan
mewujudkan ”pendidikan sebagai kunci pembangunan” masih berliku. Namun,
tampaknya sebagian masyarakat sudah menyadari pentingnya sebuah perubahan,
seperti munculnya sekolah-sekolah alternatif/progresif dan home schooling.
Beberapa sekolah progresif telah memberikan harapan cerah.
Diperlukan
perubahan besar pada sistem pendidikan kita, terutama di kelas rendah. Dunia
akan terus berubah dengan kecepatan eksponensial. SI makin urgen dibutuhkan
agar anak kita dapat hidup sukses di zamannya nanti, yang keadaannya pasti jauh
lebih kompleks.
Ratna Megawangi ;
Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, IPB;
Pendiri Indonesia Heritage Foundation
KOMPAS, 15 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi