"THE
end (telos) of education is to produce good citizens, where 'good' here is
partly determined in light of the constitution of the state." Kutipan dari
karya Stephan Millett ini menjelaskan kaitan kepentingan yang erat antara
pendidikan dan ideologi sebuah negara. Pertama, penguatan ideologi bangsa akan
mengalami kesinambungan yang kuat jika melalui jalur pendidikan. Kedua, negara
berkepentingan dengan pendidikan bangsa untuk menciptakan warga negara yang
baik. Kata "baik" di sini merujuk pada nilai ideologi bersama.
Di belahan mana pun di dunia ini, terlepas
dari apa pun ideologinya, negara memiliki kepentingan dengan berbagai bentuk
pendidikan oleh warga negaranya. Kepentingan pada titik paling ekstrem adalah
agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak bertentangan dengan ideologi
negara. Pada titik paling sederhana, pendidikan dibutuhkan untuk lahirnya warga
negara seperti yang diharapkan oleh nilai ideologi bersama itu.
PKn Cenderung Politik
Dalam konteks di atas, dimunculkannya kembali
Pancasila dalam revisi kurikulum baru di semua jenjang pendidikan oleh
Kemendikbud harus diapresiasi secara positif. Pasalnya, pembelajaran mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) selama ini, yang di antaranya merupakan
hasil peleburan mata pelajaran Pancasila, menyisakan sejumlah masalah.
Pertama,
kompetensi yang diharapkan lahir dan dikuasai oleh peserta didik serta materi
ajar yang disampaikan guru lebih condong ke pengetahuan politik daripada
penguatan nilai kewarganegaraan. Tengoklah kurikulum PKn untuk anak kelas V SD.
Kompetensi dan materi ajarnya lebih banyak membahas struktur pemerintahan
daripada pengembangan nilai kewarganegaraan melalui sejumlah aktivitas
pembelajaran.
Akibatnya, peserta didik didorong lebih
"fasih" berbicara tentang politik pemerintahan dalam pengertian
sederhana daripada pembudayaan nilai kewargaan dan atau kewarganegaraan. Maka,
pertanyaan yang penting untuk diajukan, apakah pendidikan kita akan mencetak
politisi ataukah warga negara yang baik? Dalam kerangka ini, nilai ideologis
Pancasila yang mendasari bangunan kewarganegaraan dan kebangsaan Indonesia
tidak mampu secara maksimal disemai oleh PKn.
Kalaulah ada, hanya nilai sila ke-4 yang
dikembangkan oleh pembelajaran PKn. Nilai empat sila yang lain cenderung
terpinggirkan, untuk tidak mengatakan terabaikan sama sekali. Padahal, lima
sila itu merupakan satu kesatuan.
Kedua,
peleburan materi Pancasila ke dalam mata pelajaran PKn menjauhkan kesadaran
guru dari esensi penanaman nilai kewarganegaraan berdasar nilai-nilai
Pancasila. Guru dalam faktanya lebih banyak disibukkan target pencapaian materi
ajar daripada pembudayaan nilai ideologi melalui pembelajaran. Guru diburu
paket "kejar tayang" dalam pembelajaran. Sementara itu, materi ajar
PKn cenderung abai dan lalai terhadap penguatan nilai kewarganegaraan
Pancasila.
Akibatnya, pendidikan tak mempan menjawab
kecenderungan untuk memperkuat kepentingan pribadi-individual daripada
pengutamaan atas kepentingan kewargaan-kewarganegaraan bersama. Kuatnya
keserakahan ekonomi kelompok elite, maraknya terorisme dan kekerasan sosial,
merebaknya tawuran antarpelajar, serta tak kunjung pudarnya gerakan ideologi
yang ingin mengganti dasar negara, seperti diakui Mendikbud Muhammad Nuh (Jawa
Pos, 02/10/2012), bisa menjadi bukti pembenar. Atas dasar itu, pendidikan
nasional harus mampu membantu menyelesaikan problem sosial bangsa.
Guru sebagai Model
Nah, melihat kelemahan pembelajaran PKn selama
ini, minimal ada dua agenda penting yang mendesak untuk dilakukan. Pertama,
pentingnya dilakukan rekonstruksi buku ajar Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan (PPKn). Kompetensi yang diharapkan dimiliki peserta didik harus
lebih digerakkan ke orientasi agar mereka bisa menjadi warga negara yang baik,
bukan sebagai politisi. Maka, muatan tentang penguatan pendidikan kewargaan
harus diperkuat.
Pendidikan kita selama ini hanya banyak
mengurusi kebajikan pribadi (private virtues) daripada kebajikan umum (civic
virtues). Pendidikan kita lebih banyak membuat peserta didik terdorong untuk
berpikir atas kebajikan dirinya sendiri daripada penciptaan kebaikan bersama.
Di sinilah lalu muncul praktik keserakahan, kecurangan, korupsi, dan egoisme
personal untuk memuaskan kepentingan pribadi daripada kemaslahatan umum
(maslahah 'ammah).
Bila tidak disadari segera, praktik kecurangan
dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai rekrutmen hingga ujian nasional, akan
melenyapkan semangat dan roh penciptaan civic virtues yang justru dibutuhkan
oleh perjalanan bangsa ini ke depan. Praktik-praktik kecurangan itu hanya akan
menyuburkan pribadi-pribadi yang orientasinya ke dalam, yakni kepentingan diri
sendiri, daripada ke luar untuk kepentingan bersama.
Maka, rekonstruksi buku ajar PPKn harus
dibangun, meminjam istilah Tan dan Wong (2008: 3-12), di atas prinsip pencarian
seumur hidup terhadap pengetahuan dan praktik kebajikan bersama (the knowledge
and practice of virtue). Dengan begitu, tata pikir dan perilaku peserta didik
bisa diarahkan pada pencapaian kepentingan kewargaan secara lebih utama
daripada sekadar kepentingan pribadi.
Kedua,
rekonstruksi buku ajar PPKn harus segera disertai dengan penguatan kapasitas
guru. Karena posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional, guru
berperan sentral dalam penguatan nilai kewargaan yang dikembangkan oleh buku
ajar. Oleh karena itu, praktik pembelajaran yang dikenal dengan istilah
teaching through examples (mengajar dengan contoh/teladan) harus diperkuat.
Praktik pembelajaran itu memosisikan guru
tidak sekadar sebagai penyampai materi, akan tetapi sekaligus sebagai model.
Dengan kapasitas dan posisi guru yang demikian, peserta didik dengan segera
bisa menyerap, mengembangkan, dan sekaligus mempraktikkan karakter sebagai good
citizens sebagaimana yang dapat mereka contoh dari guru mereka.
Memasukkan kembali Pancasila ke dalam mata pelajaran
PKn merupakan sebuah ikhtiar akademik menarik di tengah mandulnya pembelajaran
kewargaan-kewarganegaraan dalam menciptakan warga negara yang baik. Sisanya,
penguatan materi ajar dan peningkatan kapasitas pendidik merupakan langkah
konkret dan mendesak untuk menerjemahkan kebijakan strategis dimaksud.
Akh Muzakki ;
Ketua PW LP Maarif NU Jatim, Dosen
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Anggota Dewan Pendidikan Jatim
JAWA POS, 15 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi