SUKU Indian Dakota mengenal
sebuah peribahasa yang ber bunyi `apabila engkau sadar sedang menunggangi kuda
yang sudah mati, turunlah'. Kita tentu berpikir, peribahasa apa itu, bukankah
hal tersebut sudah jelas? Siapa yang mau tetap menunggangi kuda mati? Pada
kenyataannya lazim kita temui dalam dunia pemerintahan, bisnis, dan pendidikan,
banyak orang yang seharusnya sudah sadar bahwa sedang menunggangi kuda mati.
Namun, bukannya turun, ia malah melakukan hal-hal yang absurd.
Dalam dunia pendidikan, logika
kuda mati terlihat pada kengototan pemerintah menjalankan sistem ujian nasional
yang terus menuai kontroversi.
Ada dua masalah mendasar dalam
sistem ujian nasional yang diterapkan saat ini.
Masalah pertama ialah
penempatannya sebagai highstake standardized test--ujian standar yang bersifat
hidupmati bagi siswa, guru, sekolah, bahkan pejabat diknas daerah. Sifat ujian
seperti itu menyebabkan pendidikan di sekolah tereduksi menjadi sekadar
persiapan untuk lulus ujian nasional. Sekolah menjadi tak ubahnya bimbingan
tes.
Masalah mendasar kedua ialah
kualitas soal ujian nasional yang menekankan pada kemampuan kognitif rendah.
Ujian nasional dipenuhi dengan soal-soal dengan hafalan dan hitungan rumit,
tapi dengan tingkat penalaran rendah. Tak mengherankan saat pemerintah
membanggakan nilai ujian nasional yang naik dari tahun ke tahun, nilai
siswa-siswi kita justru terpuruk di tes pemetaan berskala internasional yang
lebih mengutamakan penalaran.
Semisal di tes PISA terakhir
untuk matematika, 50% siswa kita hanya mencapai level 1 (terendah), 25%
berikutnya mencapai level 2, lalu tidak ada satu pun yang mencapai level 5 dan
6 (tertinggi).
Tak kurang para praktisi
pendidikan, pakar SDM, anggota DPR, dan Wantimpres telah menyuarakan penolakan
pada ujian nasional. Bahkan Mahkamah Agung pun telah mengeluarkan putusan
menghentikan ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi
layanan pendidikan. Sayangnya, ketika banyak pihak telah menyeru pemerintah bahwa
ujian nasional adalah kuda yang sudah mati, pemerintah tak memilih turun
darinya, tetapi malah melakukan hal-hal yang absurd.
Misal, para petinggi Kemendikbud
berulang kali menyatakan bahwa, “Anak-anak tidak akan belajar bila tidak
dipaksa. Ujian nasional adalah alat rekayasa sosial memaksa anak belajar.
Proses belajar mengajar di sekolah tak akan berjalan bila tak ada ujian
nasional.“ Dalam analogi kuda mati, pemerintah malah membeli pecut yang lebih
besar untuk mengancam si kuda mati dan penunggangnya. Bukannya menyadari bahwa
pendidikan kita telah gagal membuat siswa senang belajar, pemerintah malah
menjadikan belajar sebagai keterpaksaan bagi anak-anak kita.
Mendikbud pernah menyatakan bahwa
konsep ujian nasional ialah yang terbaik secara akademik. Entah bagaimana
caranya membela sebuah uji standar untuk kognitif rendah sebagai yang terbaik
secara akademik. Itu seperti menurunkan standar kategori kuda pacuan sedemikian
rendah sehingga kuda mati bisa termasuk ke dalamnya.
Sering juga dikatakan bahwa ujian
nasional sudah baik, hanya pelaksanaannya yang masih penuh kecurangan yang
perlu diperbaiki. Tidak demikian. Ujian nasional bermasalah secara mendasar.
Kecurangan adalah konsekuensi dari penempatan ujian nasional sebagai ujian
berisiko tinggi bagi semua yang terlibat didalamnya. Mengganti kulit kuda mati
yang sudah bopeng bopeng dengan kulit baru yang mulus tak akan membuatnya
menjadi kuda pacu yang dapat berlari.
Baru-baru ini pemerintah juga
menyatakan akan mengintegrasikan ujian nasional sebagai tes masuk perguruan
tinggi. Salah satu alasan yang dikemukakan ialah demi efisiensi. Namun,
efisiensi tak seharusnya mengorbankan efektivitas. Penolakan telah disuarakan
sebelumnya oleh kalangan perguruan tinggi yang meragukan kredibilitas ujian
nasional.
Pada dasarnya ujian untuk
kelulusan proses belajar, ujian untuk pemetaan distribusi kualitas pendidikan,
dan ujian untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah tiga macam
ujian yang memiliki format dan sifat berbeda. Menggabungkan ketiga ujian
menjadi satu akan menghasilkan termometer rusak yang tidak menggambarkan
apa-apa. Hal itu layaknya mengumpulkan beberapa kuda mati dan berharap lari
mereka akan lebih kencang, lalu menyatakan bahwa kuda mati itu juga lebih hemat
biaya daripada kuda hidup karena tak perlu diberi makan.
Alasan lainnya ialah untuk
mengurangi tingkat stres siswa karena tak perlu ujian dua kali. Benarkah? Belum
tentu, karena dengan demikia ujian nasional akan memiliki risiko semakin tinggi
bagi siswa. Analoginya, bila dulu siswa harus balap mobil dua kali di jalan
raya, nanti siswa cukup balap mobil sekali saja, tapi di pinggir jurang!
Terakhir, pemerintah saat ini
sedang sibuk mempersiapkan perubahan kurikulum nasional yang akan diterapkan
mulai 2013. Kabarnya, kurikulum baru nanti akan memberi penekanan lebih pada
pendidikan karakter dan juga mem buat proses belajar lebih menyenangkan. Itu
merupakan niat per niat perubahan yang baik.
Namun, perubahan kurikulum sebaik
apa pun akan percuma apabila di ujungnya tetap diletak kan proses evaluasi yang
hanya menguji kognitif rendah dan diposisikan bersifat high-stake bagi pelaku
pendidikan (siswa, guru, sekolah). Proses perseko lahan tetap akan bersifat
teaching-tothe-test. Tanpa reposisi ujian nasional, kurikulum sebaik apa pun
pada tataran kebij jakan hanya akan berubah menjadi kurikulum berbasis ujian
nasional pada penerapan di lapangan.
Yang perlu diingat pemerintah,
ketika banyak pihak menyuarakan penolakan terhadap kuda mati, bukan berarti
mereka menolak naik kuda hidup. Mengkritik ujian nasional bukan berarti
antiterhadap segala macam bentuk ujian. Justru peran evaluasi dalam pendidikan
sangatlah penting untuk mengarahkan dan memperkaya proses pembelajaran, apabila
dirancang dan dijalankan dengan benar. Oleh karena itu, diperlukan penataan
ulang terhadap sistem dan model evaluasi dalam pendidikan kita.
Tempatkan kembali ujian nasional
sesuai dengan fungsinya, yaitu pemetaan distribusi kualitas pendidikan yang tak
perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa ataupun reward and punishment untuk
guru, sekolah, dan daerah. Lepaskan sifat high-stake dari ujian nasional karena
tak membawa efek positif bagi pembelajaran, tapi malah mengerdilkannya. Jangan
letakkan ujian nasional di ujung persekolahan agar ada kesempatan perbaikan
kualitas seusai pemetaan dilakukan.
Kembalikan wewenang menentukan
kelulusan siswa kepada para pendidik di sekolah sesuai amanat UU Sisdiknas dan
roh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tingkatkan kemampuan guru di sekolah
untuk menjalankan evaluasi pembelajaran bersifat autentik yang mendorong proses
pengembangan diri berkelanjutan, bukan karbitan.
Bukankah semua itu sulit di
lakukan? Tentu saja. Menunggangi kuda hidup yang sehat dan kuat memang lebih
sulit daripada menunggangi kuda mati. Namun, bukankah menunggangi kuda mati tak
akan membawa kita ke manamana?
Menurut teori gaya pengasuhan
(parenting style) yang sangat relevan dengan dunia pendidikan, sifat otoriter
pemerintah dalam memaksakan prakonsepsi tentang ujian nasional jelas
menunjukkan rendahnya kontrol dan minimnya kehangatan (warmth). Pemerintah
laksana orangtua yang lepas kendali atas emosi dan hanya menimbang kebutuhan
ijazah untuk anak-anaknya agar cepat bisa bekerja.
Kuda mati tak akan mampu membawa
siapa pun, bahkan untuk satu langkah ke depan. Membiarkan anak, guru, dan
sekolah tetap dalam pelana kuda mati sama artinya dengan menghilangkan harapan
dan mimpi siapa saja untuk berkelana sesuai dengan citacita yang mereka
idamkan. Jelas sekali kita membutuhkan kuda hidup yang baru. Laksana para
koboi, membiarkan siswa, guru, dan sekolah mencoba menaklukkan kuda baru
tersebut agar bisa ditunggangi sesuai harapan dan arah yang mereka inginkan.
Bagaimanapun juga, usaha
mendorong pemerintah untuk mengevaluasi dan mereposisi ujian nasional tampaknya
kini akan membutuhkan perjuangan yang lebih besar. Beberapa waktu lalu
Mendikbud mengeluarkan pernyataan, “Ujian nasional sudah sah keabsahannya,
jangan diganggu, tinggal kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.“ Maka,
pertanyaan ini pun kembali terngiang, quo vadis pendidikan Indonesia?
Kreshna
Aditya ;
Inisiator
Bincang Edukasi
MEDIA
INDONESIA, 15 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi